Kode Iklan

Senin, 21 Januari 2019

BUKAN SEKEDAR MASA LALU


        Kehidupan manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah, sebab manusia adalah pelaku sebuah sejarah di muka bumi. Kehidupan manusia dan masyarakat bergerak dan terus berkembang. “Panta Rhei” kata Heraclitus, yang artinya, tidak ada yang tidak berubah, semua mengalir, masyarakat sewaktu-waktu bergerak dan berubah. Selain Heraclitus, Wertheim pernah menuliskan “History is a Continuity and Change” artinya, sejarah adalah peristiwa yang berkesinambungan dan berubah. Asumsi beberapa pakar di atas memberikan sebuah hipotesa kuat bahwa sejarah merupakan ilmu yang dinamis (berkembang). 


Sehubungan dengan perkembangan Ilmu Sejarah, sejak berakhirnya Perang Dunia II dalam bidang keilmuan, menuntut adanya revolusi yang pada saat itu didominasi oleh aliran Annales di Perancis sejak tahun 1920-an. Fernand Braudel (1995) mengungkapkan dalam bukunya The Mediterannean and the Mediterannean World in the Age of Philip II yang diterbitkan di London memberikan sumbangsih pemikiran bahwa perubahan dari sejarah strukturalisme itu beracuan pada unsur geografis. Berdasarkan pendekatan geografis tersebut melahirkan ide-ide tentang penulisan sejarah lokal

Pengamat pendidikan, Indonesia, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro menyampaikan, penulisan sejarah masih terpusat pada peristiwa besar dan orang-orang terpandang, seperti kerajaan dan orang besar bahkan menurut hemat penulis pada awalnya yang tertuang dalam Sejarah Nasional Indonesia adalah sejarah bangsa asing yang berkuasa di Nusantara yang kelak menjadi Indonesia. Alur penulisannya cenderung menempatkan bangsa pribumi sebagai orang kedua dan tidak sebagai pelaku utama.




Munculnya pendekatan post-kolonial sejak tahun 1950-an berbagai tipe sejarah lokal mulai berkembang. Sebuah permasalahan bermunculan dalam perjalanan sejarah lokal di Indonesia mulai dari definisi, aspek geografis, teori hingga korelasinya terhadap sejarah nasional. Sejarawan yang mempelopori sejarah lokal di Indonesia Taufik Abdullah mengemukakan bahwa pengertian sejarah lokal tidak selalu bersifat tunggal. Sejarah lokal memiliki pengertian dan dimensi yang beragam (Abdullah,1985:15). Abdullah menambahkan yang dimaksud sejarah lokal adalah ”sejarah dari suatu ”tempat”, suatu ”locality”, yang batasannya ditentukan oleh ”perjanjian” yang diajukan penulis sejarah”. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Carol Kammens (2003:ix) yang menyatakan bahwa ”local history is the study of the past events, or people or groups, in a given geographic area. The focus of the local history can be the place itself, the people who lived there or events that took place in a particular location". Artinya sejarah lokal adalah studi tentang peristiwa masa lalu, atau orang atau kelompok, dalam wilayah geografis tertentu. Fokus sejarah lokal dapat menjadi tempat itu sendiri, orang-orang yang tinggal di sana atau peristiwa yang terjadi di lokasi tertentu.

Di samping itu, sejarah lokal yang sering diwarnai oleh mitos (clouded in myth) sering mendorong sejarawan larut dalam anggapan. Maksudnya, peneliti larut dengan anggapan masyarakat lokal dimana peristiwa tersebut dipersepsikan selama ini. Nilai dan praanggapan kultural masyarakat setempat lebih dijadikan referensi dibanding referensi teoretis dan metodologis yang tersedia. Untuk itu pemahaman tentang metodologi dan teori yang relevan dengan topik yang diteliti menjadi sangat diperlukan dalam penelitian sejarah lokal (Abdullah, 1987:3).

Dalam menulis sejarah lokal kita harus menyelami ruh dari sejarah lokal itu sendiri, sebab sejarah lokal bukanlah sejarah kawasan (regional) maupun sejarah sosial melainkan sebuah kajian yang di dalamnya memiliki dua unsur utama yaitu lokalitas dan komunitas yang menghuninya. Jika lokalitas bisa didefinisikan dalam batas geografis, maka komunitas lebih menunjukkan definisi yang lebih beragam seperti keluarga, etnis atau lingkungan yang memiliki interaksi terbatas. Oleh  karenanya, sejarah lokal lebih menekankan pada lokalitas geografi (Philips,1995:2). Namun penulis menambahkan bahwa selayaknya sejarah lokal sebagai ilmu pembelajaran, seharusnya sejarah lokal tidak merusak  tatanan “rumah kebesaran” sejarah nasional.

Kita harus akui jika sejarah lokal berpotensi menimbulkan pertentangan dengan sejarah nasional, sebab manurut Irsyam setidaknya tiga komponen yang membedakan maupun sebagai identitas sejarah lokal terhadap sejarah nasional. Ketiga komponen tersebut adalah tradisi lokal, identitas lokal dan sumber lokal (Irsyam, 2017:19). Namun semua pertentangan itu tergantung kepada penulis atau sejarawan yang menulis sejarah lokal tersebut. Tentunya sebagai seorang sejarawan ada beban moral yang harus dipikul demi terciptanya sejarah lokal yang berkualitas dan dipercaya.

Berdasarkan paparan di atas, bisa kita pahami betapa pentingnya sejarah lokal. Peristiwa yang selama ini hanya dianggap sebuah masa, sejatinya bukan sekedar masa lalu saja. Karena sejarah lokal akan memberi pemahaman bagi masyarakat mengenai asal usul serta akar sejarah di sebuah lokalitas dan masa tertentu. Sehingga masyarakat lokal dapat lebih memahami sejarah di sekitarnya dan dalam lingkup global dapat memperkaya sejarah nasional.


Keterangan : Peninggalan era Kolonial Belanda dan Prasejarah di Jember yang menjadi aset       sejarah lokal.

                                              
                                                  OlehAprilia Nur Hasanah, S.Pd 

    (Anggota Bhattara Saptaprabhu dan guru Sejarah SMA Al-Hasan, Kemiri Panti - Jember)






0 komentar:

Posting Komentar