Kode Iklan

Sabtu, 04 September 2021

NARARYA KIRANA, SIAPA GERANGAN?

Oleh : Zainollah Ahmad

LUMAJANG memiliki posisi dan peran strategis dalam historisitas sejak era Prasejarah, terutama pada masa Klasik (Hindu-Buddha). Kekuasaan monarki di
Reruntuhan Candi Gedong Putri, Candipuro, Lumajang.

Ujung Timur Jawa, bisa disebut berpusat di Lumajang (dulu Lamajang) dan beberapa kawasan penyangganya. Topografi alam Lumajang dengan hamparan tanah vulkanik yang subur akibat abu erupsi gunung Semeru dan Lemongan, telah menjadi lahan pertanian bagi masyarakat pendukung kebudayaan hidraulik agraris sejak dulu. Simbol alami Lumajang dengan Gunung Mahameru (Semeru) sebagai meru dari Jambhudwipa (India) identik dengan Bhatara Syiwa, dewa tertinggi dalam agama Hindu. Karena Mahameru dianggap pengejawantahan dari Bhatara Syiwa dalam mitologi Hindu Jawa Kuno. Mahameru adalah pusat alam semesta dalam kosmogoni orang India, yang dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh daratan (von Heine-Geldern, 1943). Bisa disimpulkan dalam konsepsi ini, Kerajaan Lamajang yang dipangku Gunung Semeru merupakan replika alam semesta, dan raja yang berkuasa ialah penjelmaan dewa tertinggi yang bertakhta di atas Mahameru.

Inskripsi Mula Malurung bertarikh 1177 Saka (=1255 Masehi) yang ditranskrip oleh epigraf Drs. Boechari, telah menjungkirbalikkan opini kesejarahan Singhasari. Di mana pada mulanya keterangan tentang kerajaan ini banyak bersumber pada Pararaton (Katuturanira Ken Angrok) dan Nagarakretagama. Di antaranya adalah keterangan tentang dinasti Rajasa, yang ternyata banyak bertentangan dengan data prasasti. Misalnya tentang perebutan kekuasaan dan pembunuhan balas dendam dalam keluarga Rajasa sebagaimana yang diceritakan Pararaton. Dalam inskripsi juga disebut bahwa kerajaan diperintah oleh tiga bersaudara berturut-turut, yakni Bhatara Prameswara, Prabu Gunging Bhaya dan Nararyya Tohjaya, sebelum Prabu Seminingrat naik tahta. Jadi sepeninggal Sri Rajasa, Kerajaan Singhasari dibagi dua, sebagian diperintah oleh Sang Anusapati, dan sebagian oleh Gunging Bhaya. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1248, ketika Sang Prabu Seminingrat naik tahta (Muljana, 1983).

Berkat perkawinannya dengan Nararyya Waning Hyun, Seminingrat dikaruniai beberapa anak, ada nama-nama para raja muda (yuwaraja) yang memerintah di beberapa wilayah, termasuk Nararyya Kirana yang memerintah di Lamajang (Lumajang).
Sri Jayawisnuwardhana, Sang Mapanji Seminingrat, menahbiskan Nararyya Kirana sebagai penguasa Lamajang bersama para saudaranya sebagai raja bawahan Kerajaan Tumapel. Prasasti ini terutama untuk menghormati Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wiraasta Basudewadhipa Anindita Parakrama Murdhaja, dengan nama abhiseka Sri Kertanegara, raja bawahan Kadiri (Muljana, 1983). Dia diangkat bersama para nararyya yang lain di Kadiri, Glang-Glang, Madura, Morono, Hring dan Lewa.

Lamajang adalah sebuah tlatah yang paling terkenal di antara beberapa nama di atas, karena sebelumnya menjadi kawasan penting pasca pemerintahan Airlangga, dengan temuan beberapa prasasti seperti Ranu Kumbala, Tesirejo, Pasrujambe dan sebagainya.
Kerajaan Tumapel memiliki pemerintahan vassal atau negara bagian yang dikenal dengan mandala (provinsi) yang dipercayakan kepada para anggota keluarga kerajaan (family of kingdom) di beberapa daerah di atas. Termasuk di antaranya adalah Lamajang. Namun prasasti Mula Malurung dibuat sebagai penghormatan dalam manusuk (penetapan) sima desa Mula dan Malurug di wilayah Kadiri kepada seorang tokoh bernama Pranaraja. 

Halnya dengan Nararyya Kirana, yang menjadi “bhre” di Lamajang, tidak ada keterangan tertulis siapa sebenarnya sosok ini, apakah laki-laki atau perempuan, memerintah kapan, apa peran signifikan selama ia memerintah di Lamajang. Namanya hanya dipatri dalam tamra prasasti Mula Malurung dan akhirnya dijadikan dasar rujukan untuk menetapkan Hari Jadi Lumajang, tanggal 15 Desember. Keberanian dari para penggali dan pencetus Hari Jadi Lumajang dengan menokohkan Nararyya Kirana, mungkin hanya fokus pada pengunduhan toponimi “Lamajang” saja dengan menafikan nama penguasa pertama “Kota Pisang” ini. Secara implisit, cukup nama Lamajang (awal dari nama Lumajang) saja yang diangkat. Padahal untuk mencari dan menetapkan hari jadi tidak melulu berkutat pada toponimi kota tersebut. Namun lebih pada peran kesejarahan, pride dan menghindari legacy peninggalan kolonial dan sebagainya.

Tokoh Nararyya Kirana dalam inskripsi Mula Malurung dijelaskan sebagai Saksat atmaja nira Nararyya Seminingrat (semata-mata anak dari Nararyya Sri Seminingrat), sama dengan para penguasa di lima tempat lain. Para penguasa di Glang-Glang (Wurawan), Morono, Hering, Lwa, dan Madura, yang memiliki missing link dalam catatan sejarahnya. Semuanya juga serba gelap, tidak ada sumber sekunder semisal babad, serat dan kidung yang menjadi catatan pendukung dari inskripsi Mula Malurung. Jika mengacu kepada leksikografi Jawa Kuna yang ditulis Petrus Joseph Zoetmulder, arti dari "nararya" (nararyya) adalah “yang (paling) mulia di antara orang-orang”. Sedangkan kata kirana bermakna “sorot cahaya, sinar matahari atau bulan”. Namun, pada kebiasaan masyarakat Jawa turun temurun, kirana diidentikkan dengan nama seorang putri atau anak perempuan, dengan kelaziman memberi nama anak perempuan mereka “kirana”. Dalam cerita Panji juga dikenal nama seorang putri Kerajaan Kadiri bernama Dewi Candra Kirana, istri dari Raden Inu Kertapati (Panji Inu Kertapati) dari Kerajaan Jenggala. Jelas nama Kirana mengindikasikan sebagai seorang perempuan. Sehingga ada hipotesis, Nararyya Seminingrat telah menyerahkan wilayah vassal kerajaan Tumapel kepada daerah otonom Lamajang dan Glang-Glang kepada dua orang putrinya, yakni Nararyya Kirana dan Nararyya Turuk Bali (istri Jayakatwang).

Untuk mendukung teori siapa di balik toponim “Lamajang” dengan lahirnya pemerintahan pertama Nararyya Kirana, gender kewanitaan seorang Kirana, “mungkin” merujuk kepada peninggalan arkelogis di Desa Kloposawit, Kecamatan Candipuro, Lumajang, yang disebut dengan Candi Gedhong Putri. Reruntuhan candi dari bahan batu bata kuno (batabang) dan batu cadas andesit ini ditemukan tahun 1897. Menurut catatan arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Gunadi Nitihaminoto (2012), yang meneliti temuan batu vulkanik yang memiliki ukuran beragam, berasal dari letusan Gunung Semeru antara tahun 1600-an, 1885, 1895 dan 11941. Erupsi berupa batuan beku dan padat menjadi penyebab utama kehancuran Candi Gedhong Putri. Nama “gedhong putri” rupanya banyak dikaitkan dengan sosok Nararyya Kirana, meskipun bekas bangunan kuno ini masih diselimuti oleh mitos dan folklor. Tidak ada argumentatif, mengapa reruntuhan peninggalan kuno ini dihubungkan dengan sosok Nararyya Kirana? Mungkinkah untuk meyakinkan masyarakat Lumajang bahwa Nararyya Kirana adalah seorang ratu yang memiliki peran sejarah dengan membangun monumen berupa kedaton atau candi? 

Penguatan Hari Jadi Lumajang (Harjalu) dengan pengukuhan bukti-bukti heuristik memang perlu dan harus, namun bukan berarti mem-fait accompli, mitos dan cerita rakyat (folklor) belaka.
Lumajang pasca Nararyya Kirana diperintah oleh Arya Wiraraja, yang lebih memiliki historisitas yang lebih “ceto welo-welo“ dibanding pendahulunya itu. Wiraraja memiliki peran signifikan dalam pentas sejarah lahirnya kerajaan besar, Majapahit sebagai cikal bakal negara nasional. Banyak sumber-sumber tradisi dan inskripsi mengupas data tekstual sebagai pendukung kesejarahan tokoh yang dianggap kontroversi ini.

Naiknya Arya Wiraraja sebagai penguasa otonom Lamajang - Tiga Juru tidak hanya mendapat dukungan dari para pendukungnya dari Madura dan para sahabatnya, namun juga para petinggi lama di perdikan Lamajang. Artinya, secara sah ia sudah mendapat dukungan politis dari orang-orang, Majapahit dan Lamajang - Tigang Juru itu sendiri. Arya Wiraraja memiliki basis pendukung di daerah kekuasaan barunya, karena leluhurnya adalah seorang pejabat di Lamajang. Terlebih jika memang benar Wiraraja adalah putra daerah Lamajang, dari Dusun Nangka sebagaimana yang dicatat Pararaton. Arya Wiraraja sangat mungkin keturunan dari seorang penguasa Lumajang semasa pemerintahan Nararyya Seminingrat, yakni Nararyya Kirana. Jika bukan keturunan keluarga Tumapel, amat sulit kiranya bagi Wiraraja mendapat akses kekuasaan tinggi di Tumapel dalam masa pemerintahan Kertanegara.
 
Mendukung hipotesa sejarawan M. Dwi Cahyono (2011), menurut pohon silsilah keluarga Tumapel, Arya Wiraraja kemungkinan adalah cucu kandung dari Sri Seminingrat atau Wisnuwardhana mengingat Nararyya Kirana dalam prasasti Mula Malurung dijelaskan sebagai “semata-mata anak dari Sri Seminingrat”. Jika Kirana dan Kertanegara adalah bersaudara, maka Arya Wiraraja tentu saja keponakan sah dari Maharaja Jawadwipa Mandala-Nusantara yang fenomenal ini. Dengan fakta terbarukan ini - meski sudah ada pendapat lama yang menyatakan hipotesa yang kurang lebih 'satu pandangan' - sudah semestinya pengecilan-pengecilan terhadap pribadi seorang Wiraraja (yang diprakarsai babad Pararaton dan sejenisnya ) ini berakhir sampai di sini. Bagaimanapun sebuah babad yang ditulis satu-dua abad pasca sebuah peristiwa terjadi, seringkali bias dan sarat kepentingan penguasa berikutnya.

Pada kesimpulan akhir, sosok Nararyya Kirana adalah missing link, masih misterius dan dianggap kontroversial, dengan begitu sangat mungkin Hari Jadi Lumajang ditinjau ulang (review), karena masih ada celah terbuka untuk menafsir kembali peran kesejarahannya. Terlebih dengan adanya gugatan terhadap hari jadinya, terkait dengan peran dan ketokohan Nararyya Kirana dalam sejarah, dan bukan sekadar pada penggunaan toponimi Lumajang.

Stop Press : BABAD BUMI SADENG


BABAD BUMI SADENG, Mozaik Historiografi Jember, Era Paleolitikum Hingga Imperium

Buku yang memotret jejak sejarah salah satu tlatah di Pojok Timur Jawa sebagai kawasan yg disebut Lansekap Suci. Dalam hal ini Jember telah meretas peradaban (civilization) Paleolitik di Pegunungan Sporadis Selatan (Southern Plateau Zone) yang termasuk kebudayaan paling tua di Jawa Timur. Kawasan ini menyimpan jejak arkeologis purba di Bukit Sadeng dan Gunung Watangan yang terkenal dengan tradisi hematite dalam sistem pemakaman. 

Sedangkan di zona utara lereng Pegunungan Argopuro terdapat deposit arkeologis Era Neolitikum yang terkenal dengan tradisi monolith silinder (batu kenong) dan berbagai bangunan megalit lainnya .

Pada Masa Klasik, Bukit Sadeng di Puger yang kini tergerus tambang gamping dan pabrik semen, diduga tempat bernama Lang-piya, yakni rest area wisata raja di atas gunung. Populer dalam teori kepindahan Holing oleh raja Kiyen pada abad ke-7 Masehi, menurut sejarawan Van der Meulen. Selanjutnya disusul peradaban Buddha Kuno, dalam kajian J. Fontein dengan bukti temuan fenomenal arca-arca Buddha perak, termasuk tinggalan arca Buddha Amarawati di Kotta Blater yang pernah diteliti Pierre Dupont.

Menginjak pada Klasik Madya, nama Sadeng mencuat dan dikenal sebagai rival tangguh Majapahit. Sehingga tahun 1331 Masehi, Rani Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Gadjah Mada serta Ra Kembar turun tangan menumpas Sadeng yang mengadakan perlawanan dengan gigih.

Kemudian pasca masuknya Islam ke Jember pada sekitar abad ke-18, kawasan ini dirundung pergolakan panjang dan konflik politik akibat intervensi VOC di Java's Oosthoek. Dimulai dari perebutan hegemoni dan pralaya Blambangan, perang Nusa Barong, tewasnya Adipati Puger, pembangunan basis militer pantai selatan, pemberontakan Aria Galedak hingga eksploitasi kolonial abad ke-19.

Lalu, Jember ternyata memiliki tinggalan arkeologis yg cukup melimpah dan masih tercover jejak-jejaknya meski nyaris musnah.

Publik penyuka sejarah bisa memburu buku ini di toko buku nasional (Gramedia, Gunung Agung, Togamas, dll.nya). Juga bisa didapatkan secara daring di Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Shopee, Bukabuku, Bukukita dll.nya.

Penulis        : Zainollah Ahmad
Pengantar   : Drs. Didik Purbandriyo
Tebal buku  : 284 halaman
Kertas isi     : Bookpaper
Penerbit       : Matapadi Pressindo, DIY
 ISBN            : 978-602-1634-38-7
 
#salamliterasi