Oleh
: Zainollah, S.Pd dan Bambang Sutedjo, S.Pd
(Forkom
Bhattara Saptaprabhu)
Di masa
nirleka (masa sebelum adanya tulisan) daerah Jember telah didiami oleh
penduduk. Hal ini terlihat dengan banyaknya situs-situs benda cagar budaya yang
ditemukan di Jember seperti menhir (tiang atau tugu batu), dolmen (meja dari
batu utuh), sarkofagus (kubur batu), waruga dan batu kenong. Tempat-tempat yang
terdapat benda-benda era megalithik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari
batu besar) itu adalah Situs Doplang
dan Situs Klanceng di Desa Kamal Kecamatan Arjasa, Desa Tegalwaru Kecamatan Mayang, Situs Seputih, Desa Seputih
Kecamatan Mayang, Situs Srino, Desa Srino di Kecamatan Sukowono, dan lainnya.
Menurut Arkeolog M.M. Sukarto Karto Atmodjo
daerah Jember merupakan daerah topographia
sacra yakni daerah hunian yang memiliki tempat suci atau sakral. Dengan demikian membuktikan bahwa
masyarakat Jember sejak jaman dulu memiliki kemampuan local genius yang tinggi dan selanjutnya menjadi local development (pengembangan lokal). Karenanya
banyak arkeolog Belanda yang meneliti tentang jaman prasejarah di Jember
seperti salah satunya Dr. W.F.
Stutterheim dalam tulisannya yang berjudul “Oundheidkondige Aanteekeningen No. XLVI” dengan sub judul “de Oudste Insceriptie van Oost Java”
yang meneliti Prasasti Batu Gong di bawah bukit kecil di pinggir jalan raya
Kaliputih Desa dan Kecamatan Rambipuji.
Di
antara banyak situs atau prasasti yang bernama “Batu Gong” yang ditemukan
diberbagai daerah di Indonesia seperti Jambi, Malang, Sumbawa, Cirebon, dan
lainnya, prasasti-prasasti dan artefak
itu semuanya memang berwujud batu berbentuk gong utuh. Sedangkan yang berada di
Kaliputih Rambipuji, Jember lebih menyerupai batu persegi dan pada bagian sisi berbentuk
gong, namun dengan bulatan yang tidak halus karena ada kemungkinan patah atau
dipotong.
Penamaan Batu Gong karena bagian atas batu alam yang
cukup besar itu terdapat sebuah “pentol”
atau bulatan yang berbentuk gong, yaitu sebuah alat musik tradisional atau
orang Jawa menyebut “bende” atau “bande”.
Pendapat
dari sejarawan M.M. Sukarto Karto Atmodjo
Prasasti Batu Gong adalah peninggalan pada era Neolithikum
(batu muda) yang banyak melahirkan kebudayaan Megalithikum (bangunan dari batu besar). Penggunaan batu itu
sebagai kelengkapan dari ritual prasejarah yang kemudian diteruskan pada Masa
Hindu (kerajaan Hindu). Hal ini dibuktikan karena di bagian samping terdapat
sebaris tulisan dengan huru Pallawa (Pranagari) yang berbunyi “Parvvateswara” yang berarti “Raja
Gunung” atau “Dewa Gunung” yang diperkirakan dari Hindu aliran Syiwa.
Kalau kita bandingkan dengan keterangan lain terkait
pemujaan Hindu seperti pada Kerajaan Kutai yang menyebutkan bahwa raja
Mulawarman melakukan yadnya pada
suatu tempat suci untuk memuja Dewa Syiwa, dan tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara" (bandingkan dengan
“Parvvateswara”).
Masuknya
ajaran Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang sangat besar, yaitu
berakhirnya jaman prasejarah di Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam
kehidupan agama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab suci Wedha, dan
juga munculnya kerajaan-kerajaan yang mengatur kehidupan agama pada suatu
wilayah.
Dalam suatu penelitian atas prasasti yang ditemukan di Kaliputih Rambipuji tersebut, arkeolog Dr. W.F. Stutterheim berasumsi bahwa Prasasti Batu Gong Rambipuji merupakan prasasti tertua di Jawa Timur yang diperkirakan pada abad VI Masehi.
Kemudian berdasarkan cerita tutur, konon keberadaan prasasti tersebut pada awalnya berada di bukit kecil (gumuk) yang menjadi areal tanaman jati di sebelah barat jalan raya jurusan Balung–Kasiyan-Puger-Kencong dan Kecamatan Lumajang.
Dalam suatu penelitian atas prasasti yang ditemukan di Kaliputih Rambipuji tersebut, arkeolog Dr. W.F. Stutterheim berasumsi bahwa Prasasti Batu Gong Rambipuji merupakan prasasti tertua di Jawa Timur yang diperkirakan pada abad VI Masehi.
Kemudian berdasarkan cerita tutur, konon keberadaan prasasti tersebut pada awalnya berada di bukit kecil (gumuk) yang menjadi areal tanaman jati di sebelah barat jalan raya jurusan Balung–Kasiyan-Puger-Kencong dan Kecamatan Lumajang.
Dahulu
sekitar tahun 1968 organisasi massa KAMI dan KAPPI Jember pada saat ramainya
demonstrasi menentang G 30 S/PKI dan anasirnya, secara bersama-sama melengserkan Prasasti Batu
Gong dari atas bukit dan menggulingkannya sehingga berubah posisi agak ke
bawah. Kemudian massa mengubur batu prasasti itu agar tidak tampak lagi.
Digulingkan dan dipendamnya Prasasti Batu Gong dengan maksud agar tidak terjadi
pemujaan atau kultus ritual berlebihan yang mengarah pada kemusyrikan
(menyekutukan Tuhan), di mana saat itu sentimen SARA begitu gampang tersulut.
Selain itu berkembang juga cerita mitos di balik misteri Prasasti Batu Gong berasal dari beberapa orang sesepuh yang tinggal di sekitar wilayah Jatian Dusun Kaliputih. Di kala Prasasti Batu Gong masih berada di atas bukit, pada setiap hari Kamis Kliwon dan malam Jum’at Legi seringkali terdengar bunyi gong atau bende yang dipukul berulang-ulang. Sehingga kemudian Batu Gong menjadi tempat pemujaan oleh orang-orang tertentu. Tidak heran kalau terkadang ditemukan upo rampe atau sesaji yang diletakkan di sana sebagai praktek pemujaan.
Batu ini terbuat dari bahan batu kali (andesit) yang keras dan didapatkan di daerah itu. Pada awalnya keberadaan prasasti ini di bukit kecil di sebelah barat jalan raya, kemudian untuk mendapatkan bentuk asli dari batu ini maka kemudian digali dengan kedalaman lebih dari satu meter pada sekeliling batu.
Selain itu berkembang juga cerita mitos di balik misteri Prasasti Batu Gong berasal dari beberapa orang sesepuh yang tinggal di sekitar wilayah Jatian Dusun Kaliputih. Di kala Prasasti Batu Gong masih berada di atas bukit, pada setiap hari Kamis Kliwon dan malam Jum’at Legi seringkali terdengar bunyi gong atau bende yang dipukul berulang-ulang. Sehingga kemudian Batu Gong menjadi tempat pemujaan oleh orang-orang tertentu. Tidak heran kalau terkadang ditemukan upo rampe atau sesaji yang diletakkan di sana sebagai praktek pemujaan.
Batu ini terbuat dari bahan batu kali (andesit) yang keras dan didapatkan di daerah itu. Pada awalnya keberadaan prasasti ini di bukit kecil di sebelah barat jalan raya, kemudian untuk mendapatkan bentuk asli dari batu ini maka kemudian digali dengan kedalaman lebih dari satu meter pada sekeliling batu.
Pada
bulan Desember 1933 Dr. W.F. Stutterheim, seorang arkeolog yang banyak melakukan penelitian arkeologi di Indonesia, melakukan sigi tentang kekunoan
(oudheidkundig) di lokasi Prasasti Batu
Gong ini dan berhasil membaca aksara di Prasasti Batu Gong ini.
Menurut hasil penelitian Dr. Willem F. Stutterheim, diduga tonjolan pada prasasti sebagai Lingga. Kajian arkeologis dan
perbandingan aksara yang dilakukan Dr.
W.F. Stutterheim menyatakan keberadaan batu gong berasal dari masa sebelum
Majapahit lahir. Diperkirakan asal zaman keberadaan Prasasti Batu Gong lebih
tua dari Kerajaan Majapahit. Tonjolan dalam batu itu, oleh Dr. W.F. Stutterheim, ditafsirkan sebagai sisa kerucut yang awalnya
adalah sebuah Lingga (pasangan dari
Yoni menurut mitos Hindu Syiwa) yang dipotong seperti memotong nasi tumpeng.
Huruf yang
terdapat di Prasasti Batu Gong mempunyai kesamaan dengan Prasasti Dinoyo (tahun
760 Masehi) di Malang yang merupakan peninggalan Kerajaan Kanjuruhan pada masa
Raja Gajayana yang berasal dari Abad ke-8 Masehi. Hurufnya juga tidak berbeda
dengan Prasasti peninggalan Raja Sanjaya dari Mataram Lama yaitu Prasasti
Canggal yang berangka tahun 732 Masehi. Prasasti Batu Gong Jatian-Rambipuji
mempunyai kelas yang sama dengan prasasti selain peninggalan Kerajaan
Tarumanegara seperti Prasasti Yupa pada masa Kerajaan Kutai (Raja Mulawarman)
di tepi Sungai Mahakam, Muarakaman Kalimantan Timur. Juga tidak berbeda dengan Prasasti Toek Mas dan Prasasti Mentyasih di Jawa Tengah yang
berasal pada sekitar tahun 650 Masehi era Mataram Lama.
Dengan
keterangan di atas, Prasasti Batu Gong Jatian-Rambipuji diperkirakan berasal
dari antara tahun 650-732 Masehi.
Keterangan tentang siapa yang membikin atau meletakkan
batu tersebut di lokasi ini masih menjadi misteri. Belum ada sumber yang komprehensif dan valid tentang asal-usul Batu Gong. Baik dalam literatur lama yang sudah dipublisir oleh para ahli, khususnya para sejarawan Belanda yang banyak melakukan kajian dan penelitian.
Seorang
arkeolog lain berkebangsaan India, Himanshu
Bhusan Sarkar, mengatakan bahwa Prasasti Batu Gong berasal dari abad V
Masehi yang kronois dengan prasasti-prasasti peninggalan Purnawarman dari
Kerajaan Tarumanegara di Bogor Jawa Barat. Prasasti yang dimaksud Himanshu Bhusan Sarkar kemungkinan
adalah Prasasti Ciaruteun yang terdapat gambar tapak kaki Raja Purnawarman.
Karena prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara cukup banyak
diantaranya Prasasti Tugu, Prasasti Pasir
Awi, Prasasti Tugu, Prasasti Batutulis, Prasasti Koleangkak, Prasasti Jambu,
dan Muara Cianten. Hal itu berdasarkan pada bentuk atau tipe tulisan yang
ditinjau dari segi paleografi (bentuk aksara kuno) ada kemiripan dengan
prasasti dimaksud.
Prasasti
Batu Gong berukuran panjang 218 cm, lebar 180 cm dengan tinggi 120 cm. Dengan
penemuan Prasasti Batu Gong menunjukkan bahwa pada abad V atau VII Masehi di
sekitar tempat ini sudah terdapat pemukiman (settlement)
yang relatif ramai.
Ada dugaan kuat sebuah masyarakat Hindu awal sudah terlahir di
Dusun Kaliputih Rambipuji dan nama (toponimi) Rambipuji kemungkinan terkait
erat dengan upacara ritual atau pemujaan atau pujian pada para dewa sehubungan
dengan adanya prasasti tersebut.
Prasasti Batu Gong merupakan kekayaan benda Cagar Budaya yang dimiliki Kabupaten Jember yang sekarang dalam posisi ex-situ tapi masih berada di areal tanaman jati milik Perhutani. Prasasti ini sudah selayaknya dilindungi dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab karena merupakan saksi dan salah satu sumber penting guna menyingkap tabir historis Kabupaten Jember yang masih kabur. Prasasti mempunyai nilai sejarah yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam khazanah ilmu pengetahuan sampai kapanpun.
Di antara bermacam sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dianggap sumber terpenting karena mampu memberikan kronologi suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat suatu prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.
Meskipun prasasti berarti "pujian", tidak
semua prasasti mengandung puji-pujian (kepada raja). Karena sebagian besar
prasasti diketahui memuat keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah
menjadi sima atau daerah perdikan. Sima adalah tanah yang
diberikan oleh raja atau penguasa kepada masyarakat yang dianggap berjasa.
Karena itu keberadaan tanah sima dilindungi oleh kerajaan kala itu.
Mengacu
pada pengertian prasasti yang menandai berakhirnya masa prasejarah suatu
bangsa, karena masa prasejarah suatu bangsa tidak sama, ada yang sangat singkat
dan langsung menapak masa sejarah. Namun adakalanya mengalami masa prasejarah
yang sangat lama dan panjang. Torehan dan tapak-tapak prasejarah masyarakat
Jawa diperkirakan masuk sejarah pada tahun 500 Anno Domini (Masehi). Lebih
belakangan dari masayarakat Kalimantan (timur) dengan torehan pada Prasasti
Yupa (400 AD). Meskipun data itu berdasar pada temuan prasasti yang selama ini
dijadikan acuan oleh para sejarawan. Dalam dunia ilmu sejarah keberadaan
prasasti adalah sebuah penanda yang paling mutlak dan sumber komfrehensif.
Di Jawa
Timur abad keemasan prasasti antara abad ke 8 sampai 14 masehi dengan sumber
pembuatan oleh kerajaan-keraaan Hindu-Budha dan Islam. Prasasti-prasasti itu
tersebar luas dan diwariskan oleh Kerajaan Medang (Dinasti Isyana), Kahuripan,
Kediri, Singosari, Majapahit, Demak dan Mataram. Persebaran prasasti itu hampir
secara merata di setiap kota dan kabupaten.
Dari
hasil analisis, kajian dan telaah pegiat sejarah Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu, dapat diambil asumsi dan
kesimpulan bahwa keberadaan Prasasti Batu Gong Rambipuji sebagaimana yang
diungkap tiga orang pakar arkeolog yaitu Dr.
W.F. Stutterheim, M.M. Sukarto Karto Atmojo dan Himanshu Bhusan Sarkar terdapat kesimpulan yang hampir sama. Meski
pengungkapan dan hasil analisa para pakar tidak banyak diekspose mengingat sumber-sumber
itu masih sulit untuk didapatkan.
Dengan ini penulis memperkuat hasil analisisis
interpretatif bahwa Prasasti Batu Gong diperkirakan sangat terkait dengan :
- Kerajaan Kanjuruhan di Malang, di mana Prasasti Dinoyo yang bertahun 760 yang dibuat pada masa Dewasimha (bukan Rani Shima dari Holing) karena ada kemiripan dengan bentuk Yoni – Lingga. Sehingga di Jember sudah terbentuk komunitas masyarakat Hindu Syiwa.
- Kerajaan Bhumi Mataram (Mataram Lama) di dataran tinggi Dieng, di mana Rakai (Yang Dipertuan) Sanjaya (Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya) telah menorehkan Prasasti Canggal tahun 732 Masehi dengan bentuk type dan tahun. Ada kemungkinan sama dengan peninggalan Prasasti Batu Gong. Analisa ini karena pada masa Kerajaan Mataram Lama (Dinasti Sanjaya) banyak ditemukan prasasti : Canggal, Toek Mas, Sojomerto, Hampran, Mentyasih, Turun Hyang A-B, Kalasan dan Kelurak, dll. Pada masa itu raja-raja Mataram Lama baik Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya meluaskan pengaruhnya sampai ke Jawa Timur. Tulisan “Parvvateswara” yang berarti Dewa Gunung adalah bentuk pemujaan terhadap Dewa Syiwa dengan symbol Gunung Mahameru di India.
- Analisis ke tiga adalah Prasasti Batu Gong berhubungan dengan Raja Kediri Kameswara I (1180 – 1190) atau disebut Panji Asmarabangun yang meletakkan prasasti di lereng Gunung Semeru (sebagai Mahameru) yaitu Prasasti Ranu Kumbolo. Prasasti ini menunjukkan kegiatan raja dalam mengadakan perjalanan lawatan suci (tirtayatra) ke wilayah timur. Prasasti yang dibuat tersebut mengindikasikan bahwa Raja Kameswara I mempunyai perhatian khusus pada Lumajang dan kawasan timur.
Sementara keberadaan beberapa prasasti dan percandian di
Jember berada pada ketinggian yaitu bukit Kaliputih Rambipuji (Prasasti Batu
Gong), lereng gunung Argopuro (Prasasti Congapan) dan Percandian Dewi Rengganis
di Gunung Argopuro) yang sekarang masih ada jejak-jejak arkeologi di sana.
Menurut guru besar arkeologi dari Universitas Indonesia
(UI), Dr. Agus Aris Munandar, mengatakan bahwa keberadaan prasasti dan candi di
atas gunung semakin menunjukkan bukti-bukti pemujaan nenek moyang terhadap
gunung.
Manusia jaman dulu mempunyai kepercayaan bahwa roh-roh bersemayam di tempat ketinggian.
Sejarawan dari Universitas Gajah Mada, Dr. Sri Margana
mengatakan, ritual-ritual di tempat ketinggian dan gunung berapi itu adalah kebiasaan
masyarakat lama sudah sangat akrab dengan alam. Ketika teknologi belum
berkembang, manusia lebih peduli dengan alam, lebih pandai membaca tanda-tanda
alam dan sadar dengan gejala-gejala dan bahaya.
Situs Batu Gong adalah fakta suatu
peristiwa sejarah yang cukup penting di Jember pada masa lalu, kita tidak bisa
mengabaikan begitu saja. Apa yang telah diwariskan para leluhur meskipun hanya
berupa seonggok batu andesit, tapi bisa mengungkap suatu kejadian penting.
Tugas kita selaku
pegiat sejarah adalah menjaga dan melestarikan tinggalan tersebut serta
menelaah dan mengkaji untuk ilmu pengetahuan yang akan berguna bagi generasi
mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar