Setelah di-launching di toko buku Gramedia dan Toga Mas Jember khususnya, buku TOPOGRAPHIA SACRA, MENELUSURI JEJAK
SEJARAH JEMBER KUNO mendapat respon positif. Buku ini menurut pengakuan karyawan di dua toko buku ini “laris manis”,
yang menunjukkan indikasi bahwa masyarakat pecinta sejarah di kota Jember
sangat menunggu kehadiran buku-buku bermutu tentang Jember. Semoga masyarakat pecinta
sejarah di kota lain juga demikian adanya.
Buku dengan ukuran 14 x
20,5 cm dan jumlah 284 halaman disertai pula dengan foto-foto menarik yang
terkait tentang Jember. Buku ini diterbitkan oleh sebuah penerbit cukup
terkenal (Araska Group) berlokasi di Yogyakarta yang banyak menerbitkan
buku-buku sejarah bermutu. Sehingga diharapkan buku ini bisa menjadi buku
texbook atau buku babon, karena
merupakan rintisan penulisan historiografi pertama yang cukup lengkap tentang
Jember kuno.
Menurut seorang teman,
buku ini bisa disebut sebagai “Babad Jember Modern” yang tentunya ditulis
dengan metode dan kaidah penulisan historiografi modern dengan mengacu pada sumber
kepustakaan yang komprehensif hasil karya para pakar “masterpiece” di
bidangnya. Buku ini hadir di tengah gersangnya literasi historisitas Jember
yang masih dibelenggu kejumudan dan keengganan sejarawan menyentuh sejarah
kuno. Selain itu keberadaan buku ini sebagai penyeimbang atau antitesis pada
literasi “afdeling oriented” yang selama ini menjadi ‘trade mark’ penulisan
sejarah tentang Jember.
Di awal bab buku, gugatan
abadi terhadap hasil kompromi pemangku kebijakan Kabupaten Jember di masa yang
meloloskan hari jadi Jember bertanggal 1 Januari 1929, berdasarkan Staatblad
322 produk penjajah kolonial yang mengundang kontroversi dan menyimpang dari
kaidah hukum, baik positif maupun tatanegara. Secara ‘cetho welo-welo’ Belanda telah merendahkan martabat rakyat Jember
dengan Staatblad 322 karena di balik itu telah diberlakukan juga Indische Staatgeling, suatu
Undang-Undang Tanah Jajahan yang membelenggu kita. Anehnya para stakehoulder yang menggodok sejarah hari
jadi tidak faham atau mungkin terlalu naif dalam mencermati ini. Beruntung,
pemerintah Jember cepat sadar dan membentuk tim untuk merevieuw sejarah hari
jadi Jember. Penulis yang selalu getol mengkritisi tentang sejarah hari jadi Jember
juga dilibatkan dalam tim kajian tersebut. Selain itu, nama beberapa sejarawan Jember yang terlibat adalah Dr. Edi Burhan, Dr. Retno Winarni, Drs. Nurhadi Sasmita, Drs. Parwata, Y. Setiyo Hadi, Drs. Indra G. Mertowidjojo, Dra. Ratna Widoewatie dan Ria Sukariyadi.
Di bagian tubuh buku, mengupas
sejarah Jember yang dimulai pada peradaban hematite “rock shelter” pada sekitar
tahun 10.000 BC, yang diteliti oleh van Heekeren di gua-gua karst di Gunung
Watangan sampai dengan era Kerajaan Blambangan dan basis para lanun dan smokelaars
di Nusa Barong yang menjadi basis mereka sampai ditaklukkan VOC pada tahun
1777. Selain itu keunikan dan kekhasan Jember yang menjadi lokasi keberadaan
patung Buddha tertua berlanggam Amarawati dari India Selatan di Kutha Blater
menjadi misteri tentang peradaban “the lost word” di kawasan apa yang disebut
dengan “The Kingdom of O Valley” antara
lembah Gunung Raung dan gunung suci Argopuro.
Kemudian tentang potensi
kekayaan historis beberapa lokasi di Gunung Argopuro yang menyimpan peradaban era Megalitik dan klasik (masa purba-klasik) serta kawasan
Jember timur dengan beragam artefak masa nirlekha. Juga teka-teki tentang
prasasti-prasasti enigmatik dari situs
Batu Gong di Rambipuji dan Congapan di Karang Bayat Sumberbaru, menjadi
pertanyaan kunci dari para sejarawan sekelas W.F. Stutterheim dan M.M. Sukarto
Karto Atmodjo yang belum menemukan ‘sisik melik’, kaitannya dengan kerajaan
konsentris khususnya di Jawa pada era Klasik. Seperti keberanian penulis yang mencoba meng-link up ke pembabakan era Medang Mataram dan Kahuripan tentang keberadaan beberapa prasasti tersebut.
Beberapa peristiwa
penting di masa Majapahit seperti Pasadeng 1331 M dan Paregreg 1401-1403 yang menyisakan misteri besar dan
polemik dikupas secara kritis. Teka-teki tentang lokasi keberadaan ibukota
Blambangan ketika di Jember, tepatnya di Kedawung menjadi ulasan yang tidak
pernah kering untuk dicermati, termasuk dalam buku ini. Nama Kedawung seperti di-faith acompli oleh sejarawan lokal berada di Kutha Kedawung Paleran, yang sebenarnya harus dikaji ulang kembali. Selain itu perdebatan terkait dengan eksistensi kerajaan Lamajang dan Tigang Juru yang masih dini dan dianggap belum "ber-nomenklatur" oleh penulis. Tapi sudah mendapat klaim luar biasa karena adanya 'vested interest' dengan mendistorsi fakta sejarah yang belum jelas. Menariknya, wilayah Blambangan yang sangat luas tersebut masih bisa disebut utuh dengan adanya beberapa daerah vassal yang berselisih dan terpecah-pecah dengan ketidakjelasan wilayahnya.
Selain itu, hal yang
tak kalah menarik adalah hasil analisis penulis tentang peristiwa ‘pilgrim’
Rajasanegara (Hayam Wuruk) pada tarikh Sasangka
Nagarawi – 1281 Saka atau 1359 Masehi, yang jatuh pada tanggal 18 September
1359 ketika raja ini menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Cakru atau
Kasogatan Bajraka (identifikasi menurut Dr. Nigel Bullough). Beberapa tempat yang disinggahi di antaranya seperti Sadeng, Sarampwan, Kunir Basini, Kutha Bacok, Renes, Balung, dsb.nya. Ada juga tempat yang diidentifikasi sebagai lokasi yang kontroversi karena memiliki kesamaan nama seperti Lurah Balater yang disamakan dengan Kutha Blater. Atau Kunir Basini (Puger) yang disamakan dengan Kunir (Lumajang).
Peristiwa penting
ini menunjukkan bahwa Jember bernilai strategis secara politis, ekonomi dan militer
di mata pusat (Majapahit). Karena kunjungan ke tatar Sadeng ini cukup lama
dengan melewati sekitar 25 titik lokasi yang berada di Kabupaten Jember.
Beberapa abad kemudian seorang yang mempunyai nama samaran Ameng Layaran alias Bujangga Manik dari tatar sunda, juga ikut ‘journey’
ke wilayah Jember dan singgah di kawasan selatan Jember yang eksotik. Ia sangat tertarik dengan, Cakru, Srampon (Sarampwan), Padang Alun dan Sadeng, dll.nya sebagai
daerah-daerah yang mempunyai memori historis bagi penguasa sebelumnya.
Pada bagian akhir buku dijlentrehkan
juga tentang temuan-temuan arkeologi yang terkait dengan peninggalan era
Majapahit atau (mungkin juga Blambangan) yang selama ini tidak pernah diekspos,
karena ini merupakan hasil ekspedisi dari teman-teman Forum Komunitas BHATTARA SAPTAPRABHU. Last but not least, pada
akhirnya juga mitos akan tetap menjadi bagian yang tidak pernah terpisahkan
dari suatu daerah, termasuk Jember. Keragaman mitos seperti Bande Alit, Situs
Beteng Semboro, Sembah Demang dan Damarwulan, dan lainnya sangat kental dan
masih terpatri di sebagian masyarakat bagi yang mempercayainya.
Dengan terbit dan
beredarnya buku ini, terima kasih kepada masyarakat
pecinta sejarah khususnya warga Jember di manapun berada, atas atensi dan
kepedulian pada sejarahnya. Juga apresiasi
kepada penerbit Araska Group yang telah menerbitkan naskah ini dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Juga tidak lupa ucapan terima kasih dan apresiasi kepada
rekan-rekan Forum Komunitas BHATTARA SAPTAPRABHU dan rekan pegiat sejarah lainnya yang ikut memberikan sumbangsih. Kepada teman-teman dan group di
media khususnya FACEBOOK dan jejaring sosial yang juga turut mem-publish buku dalam status penulis.
Terlepas dari segala kelebihan dan
kekurangan konten buku, penulis
menyampaikan permohonan ma'af. Untuk itu, saran terutama kritik yang konstruktif sangat diharapkan. Semoga buku
ini bisa menambah khazanah pengetahuan serta mengangkat nama kota Jember
tercinta. Amien. (Bhattara Saptaprabhu, 2015).
0 komentar:
Posting Komentar