Oleh : Zainollah Ahmad
Peranan Besar Aria Wirarāja Sebagai
Konseptor Ketatanegaraan
Nama Aria Wiraraja dikenal sebagai tokoh sejarah kontroversial yang banyak dipuja sekaligus dicemooh. Dipuja karena ia sangat lihai, cerdik dan piawai merancang strategi dalam melawan Jayakatwang dari Daha dan pasukan Tartar Mongol yang mengadakan invasi ke Pulau Jawa. Tapi ia dicemooh karena dianggap oportunis, tidak konsekwen dan pintar mencari peluang untuk keuntungan politik. Selain itu Aria Wiraraja juga banyak diklaim sebagai tokoh daerah Sumenep dan Lumajang serta Bali, tetapi selama ini belum ada bukti-bukti signifikan yang menunjukkan ia berasal dari tiga daerah ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam banyak naskah yang berkaitan dengan jatidiri Aria Wirarāja, bahwa nama seseorang mengandung tanda-tanda (alamat) tertentu (nomen sit omen) dan mempunyai arti khusus. Orang tua memberikan nama anaknya dengan maksud tertentu agar anak tersebut berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nama yang disandangnya. maka Di dalam Pararaton dikatakan bahwa Aria Wirarāja semula bernama Banyak Wide. Halaman 18 Pararaton (edisi Belanda) menyebutkan sebagai berikut :
Sebagaimana dijelaskan dalam banyak naskah yang berkaitan dengan jatidiri Aria Wirarāja, bahwa nama seseorang mengandung tanda-tanda (alamat) tertentu (nomen sit omen) dan mempunyai arti khusus. Orang tua memberikan nama anaknya dengan maksud tertentu agar anak tersebut berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nama yang disandangnya. maka Di dalam Pararaton dikatakan bahwa Aria Wirarāja semula bernama Banyak Wide. Halaman 18 Pararaton (edisi Belanda) menyebutkan sebagai berikut :
“ Hana ta wongira, babatangira buyuting Nangka, aran Banyak Wide, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon adhipatiaring Songenneb, angar ing Madura Wetan”.
Mengenai kedudukan atau jabatan dari
Aria Wirarāja, beberapa
sumber berbeda pendapat dalam menyebutkan tentang jabatannya. Misalnya
Mangkudimedja dalam buku Pararaton, Ken
Arok 2 menyebutkan bahwa besar
kemungkinan Aria Wirarāja adalah seorang “babatangan” (penasehat spiritual). Babatangan itu mungkin di zaman sekarang bisa diartikan
sebagai tukang membatang atau meramal, yakni sama dengan ahli nujum. Orang yang
kerjaanya menerangkan atau membukukan segala sesuatu yang sifatnya penuh
misteri atau rahasia.
Namun
begitu, semua ini barulah merupakan perkiraan dan dugaan belaka, sebab Dr. J.L.A.Brandes
sendiri juga belum yakin mengenai arti sebenarnya. Dugaan Brandes, mungkin yang
dimaksud adalah karereyan yang
artinya babatangan.
Sedemikian
tadi akhirnya terserah saja kepada yang ingin menyelidiki. Karena kenyataannya
banyak kata-kata kuna yang tidak kita temui lagi di zaman sekarang. Bahkan
adakalanya sudah berganti makna serta
maksud. Beberapa
catatan sejarah menyebutkan tentang alasan pemindahan atau mutasi Aria Wirarāja ke Sumenep. Seperti dalam Pararaton disebutkan kata “dinohaken” atau dipindahkan , yang
tentunya tidak terlepas dari situasi pemerintahan di Singhasari serta pandangan politik dari Keṛtanegara.
Tujuan
pengangkatan Aria Wirarāja menjadi adipati di Songennep pertama, untuk mengurangi kekuatan wangsa Râjasa, karena tokoh muda
ini dikenal sangat dekat dengan wangsa keturunan Ken Arok – Ken Dedes, yang di
kemudian hari menjadi penasehatnya. Kedua,
untuk lebih memperkuat kedudukan dan pengaruh Singhasari di Madura
karena penguasa sebelumnya, Nararyya
Kulup Kuda dirasakan kurang berhasil. Madura dianggap memiliki nilai penting
bagi Keṛtanegara karena letaknya yang bersebelahan dengan Pulau Jawa. Maka
haruslah dapat dikuasai untuk menjaga supaya tidak ada bibit perlawanan di sana
dan menjaga posisi Singhasari terhadap kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Penempatan Aria Wirarāja yang menjalankan fungsinya sebagai
penguasa di Songennep sangat mendukung program politik Cakrawala Mandala yang terus digalakkan.[1]
Persoalan mutasi politik terhadap Aria
Wirarāja ini menjadi menarik karena terdapat dua teori
yang membahasnya. Pertama, teori
klasik berdasarkan Kakawin Nāgarakṛetāgama
dan Pararaton. Menurut kedua kitab
klasik itu, mutasi politik itu terjadi karena ketidaksukaan Keṛtanegara terhadap Aria Wirarāja. Sedangkan teori kedua yang dipaparkan oleh sejarawan C.C. Berg
dari Universitas Leiden, mengatakan bahwa Aria Wirarāja dijadikan penguasa
Sumenep bukan karena dibuang, atau tidak disukai. Akan tetapi karena gerakan
politik Keṛtanegara saat itu yang berupaya membangun imperium besar Nusântara dan juga sedang menghadapi ancaman Ku Bilai
Khan dari Mongol (D.G.E. Hall,
1988). Sebagaimana diketahui, Keṛtanegara berdaya upaya untuk membesarkan
Singhasari sebagai kekuatan politik suprematif di
Nusântara. Ambisi politik ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjadi
penguasa tunggal Nusântara yang
merupakan kecenderungan ambisi umum raja-raja Jawa sejak era rajakula Syailendra dari kerajaan Mědang
Bhūmi Matarām. Selain
itu, politik ekspansif Keṛtanegara untuk menguasai Nusântara juga berkaitan
dengan makin meluasnya pengaruh kekuasaan Mongol di kawasan Asia Tenggara. Tujuan
dari Keṛtanegara mengadakan tindakan politik ekspansi adalah bagaimana nanti
agar Jawa mampu melemahkan kerajaan maritim terbesar di Nusântara yaitu
Sriwijaya sekaligus membendung serangan Mongol.
Menurut C.C. Berg,
Aria Wirarāja dijadikan sebagai penguasa Sumenep justru
menjadikan Madura sebagai basis pertahanan untuk
membendung kekuatan Mongol.
Keṛtanegara memang menggunakan strategi politik
pembendungan dengan menjadikan sejumalah daerah di Nusântara sebagai benteng ekspansi tentara Tartar Mongol.[2]
Teori
dari Berg merupakan suatu pendapat yang menarik yang tentu kontradiksi terhadap
teori klasik bahwa Aria Wirarāja dianggap sebagai oposisi, lalu dinohaken ke Songennep oleh Keṛtanegara. Dengan
posisi demikian malah Aria Wirarāja semakin kuat seiring strategi politik
Singhasari. Akan
tetapi teori dari Berg perlu dikritisi karena selain analisanya sangat pas
dalam konteks kekinian yaitu teori
detente dalam politik internasional, juga tidak melandaskan pada
naskah-naskah mainstream. Posisi dan
bargaining power Aria Wirarāja begitu kuat, tidak saja bagi Singhasari tapi
termasuk di mata Daha (Jayakatwang) sebagai
penguasa yang sedang mencari pijakan baru dan bersiap mengambil peluang
politik. Hal ini dibuktikan pada saat Raden Wijaya meminta proteksi kepada Aria Wirarāja, maka
atas “katabelece” Adipati Songennep, maka menantu Keṛtanegara ini diampuni
bahkan dihadiahi tanah hutan Tarik.
Beberap keterangan sejarah di bawah ini setidaknya bisa dijadikan sebagai informasi mengenai keberadaan dan posisi Aria Wirarāja, yaitu :
Beberap keterangan sejarah di bawah ini setidaknya bisa dijadikan sebagai informasi mengenai keberadaan dan posisi Aria Wirarāja, yaitu :
- Kidung
Harsa Wijaya,
mengatakan Aria Wirarāja pada masa Singhasari menjabat seorang demang.
- Kidung
Pañji Wijayakrama tidak menyebutkan dengan pasti apa
jabatannya.
- Demikian juga dalam
kitab Pararaton yang
diterjemahkan oleh Drs. Pitono (1966) dan Pararaton yang diterjemahkan oleh Ki Padmapuspita (1956), hanya menyebutkan Aria Wirarāja adalah seorang bawahan (hamba Keṛtanegara).
- Drs. Abdurrachman menyebutkan bahwa jabatan dan pangkat Aria Wirarāja adalah rakryān Děmung nayapati di kerajaan Singhasari.
Berdasarkan Prasasti Mula Malurung, Wisnuwardhana memerintah mulai tahun 1250 yang menguasai Daha dan Singhasari. Rasa
khawatir akan timbulnya sengketa kekuasaan jika kelak dia telah tiada,
menyebabkan ia buru-buru melantik puteranya Keṛtanegara sebagai raja muda di Daha. Hal ini rupanya
untuk mengokohkan kekuasaan keturunannya kelak.
Kemudian setelah masa pemerintahan raja Keṛtanegara, Aria Wirarāja “dinohaken” dan dimutasi sebagai pejabat yang lebih rendah (adipati). Pararaton menceritakan secara singkat dilantiknya Aria Wirarāja menjadi adipati di Songennep yang berkedudukan di Madura Timur.
Pararaton
tidak mencantumkan tanggal maupun tahun peristiwa di atas tersebut. Pararaton hanya menceritakan sesudah
Wisnuwardhana mangkat dan Keṛtanegara menggantikan menjadi raja, Wirarāja
dipindahkan ke Songennep.
Mengenai peranan Aria Wirarāja dalam membantu Sanggramawijaya (Raden Wijaya)
menaklukkan Jayakatwang, mengusir
tentara Tartar Mongol, sampai
tegaknya kerajaan Majapahit diceritakan secara lengkap dalam Pararaton. Kidung Pañji Wijayakrama, Kidung Ranggalawe dan Kidung
Harsa Wijaya.
Beberapa
prasasti seperti Kudadu (11 September 1294) dan Prasasti Sukamerta (29
Oktober 1295), menyebutkan peristiwa-peristiwa penting yaitu pengungsian
Sanggramawijaya ke Madura.
Peran Politik Kenegaraan Aria Wirarāja di Majapahit
Berdasarkan
hasil deskripsi sumber-sumber di atas, maka peranan Aria Wirarāja bukanlah hanya memberikan bantuan kekuatan pasukan dan pengerahan rakyat
Madura, akan tetapi jauh di balik itu, Aria
Wirarāja adalah seorang yang ahli strategi, dan inspirator berdirinya kerajaan
Majapahit.
Benarlah kiranya apabila ia disebut sebagai aktor intelektualis, sehingga pencitraan sejarah Majapahit tidak akan pernah luput dari peranan Aria Wirarāja serta orang-orang Madura pada awal
pendiriannya.
Selain
dari itu, kesetiaannya pada negara juga
tercermin dalam sikap diamnya ketika mengetahui puteranya Ranggalawe dibunuh secara kejam ketika mengadakan
pembangkangan terhadap Raden
Wijaya.
Demikian pula terhadap Nambi yang dianggap melakukan
pemberontakan dari Lumajang sendiri.
Meskipun masih terjadi penafsiran terhadap keberadaan Nambi dan Ranggalawe yang
disebut sebagai puteranya.
Dengan sikap diam dan kesabarannya ini merupakan loyalitas yang tinggi pada masa
tersebut, yang tercermin ketika pertama kalinya “dijauhkan” ke Songennep.
Kesetiaan
yang menonjol lainnya ialah ketika ia dengan rendah hati menolong Raden Wijaya yang terlunta-lunta dengan menjanjikan untuk
mengembalikannya sebagai raja.
Dengan berakhirnya
kekuasaan Keṛtanegara, dari
keterangan yang ditemukan pada beberapa prasasti terbukti
bahwa runtuhnya Singhasari bukan akibat dendam kesumat keturunan Sri Kertajaya, raja Daha seperti yang diuraikan dalam Nāgarakṛetāgama pupuh
XLIV/1-2, dan Kidung Harsa Wijaya. Namun
karena sikap semena-mena Sri Keṛtanegara terhadap Děmung Nayapati Aria Wirarāja. Sehingga Aria
Wirarāja merasa sakit hati, karena dilorot dari kedudukannya sebagai Děmung dan
dipindahkan ke Songennep sebagai adipati. Dendam Wirarāja terhadap Sri
Keṛtanegara dilampiaskan melalui Sri Jayakatwang, yang telah lama mengincar tahta Kaḍiri (Daha) sepeninggal Sri Wiswarupakumara. Mungkin sekali Jayakatwang
mengharapkan pengangkatannya sebagai raja bawahan di daerah Kaḍiri.[3]
Cukup banyak kiranya analogi terhadap
ketokohan Aria Wirarāja yang
dianggap anomali dan kontroversial, karena ada yang mengatakan ia adalah seorang oportunis, pandai mencari kesempatan dalam kesempitan.
Tapi karena begitu besar peran dan jasa-jasanya, maka banyak juga yang memuja
dan mengklaimnya. Ia menjadi founding
father sebuah peradaban terbesar monarki tanah air, yaitu Majapahit. Sebagai negarawan dan seorang politisi,
wajar jika sepak terjangnya banyak menuai pro dan kontra.
Setelah diangkat menjadi raja
Majapahit, Raden Wijaya segera memanggil Aria Wirarāja dan mengangkatnya sebagai salah satu Menteri
Pasangguhan. Setelah penobatan Raden Wijaya (Keṛtarâjasa) menjadi raja
Majapahit, Aria Wirarāja tidak kembali ke Madura. Dalam Piagam Kudadu, Wirarāja memegang kedudukan sangat tinggi dalam pura Majapahit. Pararaton menguraikan bahwa sejak
penobatan Keṛtarâjasa, adipati Wirarāja tetap tinggal di pura. Baru kemudian
setelah selesai pemberontakan Ranggalawe yang
berakhir dengan kematiannya, ia menagih janji untuk membagi kerajaan Majapahit
menjadi dua seperti yang dijanjikan oleh raja ketika Raden Wijaya mengungsi ke
Songennep.[4]
Selain itu tercatat tentang tiga mahamantri katrini dan para pemuka agama. Piagam Kudadu (1294 M) menyebutkan ada tiga orang menteri pasangguhan, yaitu Rakryān Menteri Pranaraja Mpu Sina, Rakryān Menteri Dwipantara Aria Adikara, dan Rakryān Menteri Makapramuka Aria Wirarāja. Dengan demikian, sejak 1294 M, Aria Wirarāja sudah tidak lagi sebagai Adipati Songennep dan tidak tinggal di sana.
Kidung Ranggalawe dan Kidung Pañji Wijayakrama menyebut Aria Wirarāja ayah
Ranggalawe. Ini berbeda dengan berita Pararaton yang menyebutnya sebagai ayah
Nambi. Kidung
Harsa Wijaya rupanya senada Pararaton, karena menyebut putera
Wirarāja yang dikirim kepada Raden Wijaya untuk membantu membuka hutanTarik bernama
Nambi, Peteng dan
Wirot.
Dalam buku Nāgarakṛetāgama dan Tafsir Sejarahnya, Slamet Muljana heran mengapa Ranggalawe tidak termuat dalam Prasasti Kudadu, sementara Aria Wirarāja termuat. Mengingat kedudukannya sangat tinggi akibat jasa-jasanya, Ranggalawe pasti mendapat pangkat tinggi dalam pemerintahan Majapahit. Demikian menurut keyakinan Slamet Muljana.
Menurut Kidung Pañji Wijayakrama, nama Ranggalawe merupakan hadiah Raden Wijaya kepada putera Aria Wirarāja, ketika diutus ayahnya membantu Raden
Wijaya membuka alas Tarik. Jadi Ranggalawe bukan nama sebenarnya. Slamet
Muljana meyakini Rakryān Menteri Aria Adikara pada
Piagam Kudadu sama dengan Ranggalawe. Nama resmi
Ranggalawe adalah Aria Adikara, nunggak
semi dengan ayahnya. Selain itu Slamet Muljana juga mengatakan, nama
Ranggalawe sebagai Aria Adikara termuat dalam Piagam Kudadu. Tetapi ada yang menentang analisa Slamet Muljana
sebagai tafsir yang kurang mendasar dan sangat lemah. Karena jika nama
Ranggalawe tercantum dalam Piagam Kudadu, seharusnya Nambi dan
terutama Lěmbu Sora juga
dicantumkan. Sora merupakan paman Ranggalawe, jasanya bahkan lebih tinggi
ketimbang Ranggalawe. Jika Ranggalawe menjadi menteri, Nambi dan Pu Sora juga harus jadi menteri, namanya harus dicantumkan dalam prasasti bersama dengan
Ranggalawe.
Dengan begitu ada
alasan mengapa Ranggalawe tidak diangkat jadi menteri pasangguhan, tentu karena masih muda, belum layak dimajukan
sebagai menteri pasangguhan. Maka
paling tinggi sebagai menteri ring
pakirakiran bersama Nambi dan
Sora. Sementara tiga menteri pasangguhan
dalam Piagam Kudadu adalah tokoh-tokoh terpilih, tokoh senior yang sangat
dihormati oleh Raden Wijaya. Aria Adikara dalam Piagam Kudadu adalah ayah Ranggalawe
atau kakak kandung Sora. Kesimpulan ini didukung berita Pararaton yang menyebut Aria Adikara bersama Ranggalawe, Sora dan
tiga putera Wirarāja yaitu Nambi, Wirot, dan Peteng sebagai ksatria Singhasari yang
berjuang bersama Raden Wijaya. Sehingga Ranggalawe belum tercantum dalam
Prasasti Kudadu, demikian pula Nambi dan Sora. Ada kemungkinan karena Raden
Wijaya belum membentuk Dewan Menteri
Pakirakiran, karena negara masih dalam keadaan darurat. Sementara
untuk memilih Mahāpatih, bukan perkara mudah dan tidak asal tunjuk, karena
harus berdasarkan pertimbangan yang matang.
Dalam hal ini sang raja masih sulit menentukan siapa yang bakal
menduduki kursi Mahāpatih. Apakah Sora atau Nambi maupun Kěbo Anabrang. Sementara waktu, Raden Wijaya hanya
mengangkat tiga menteri pasangguhan,
yaitu tiga tokoh senior yang sangat berpengaruh, dan segera dicantumkan dalam
prasasti pertamanya.
Berdasarkan
beberapa penafsiran, maka Aria Wirarāja ayah
Nambi, sementara Aria Adikara ayah
Ranggalawe, Lěmbu Sora merupakan adik kandung Aria Adikara.
Diperkirakan pada tahun 1295 M, Aria Wirarāja berusia 60 tahun, Aria
Adikara 50 tahun, Lěmbu Sora 45, Ranggalawe 25 tahun, Nambi 40 tahun, dan Kěbo
Anabrang 45
tahun. Sehingga dari semua pengikut Raden Wijaya, Aria Wirarāja yang paling senior. Maka
sangat pantas jika menjabat rakryān menteri
makapramuka atau pemimpin para menteri.
Selain karena
faktor usia, kedudukan Aria Wirarāja dalam susunan awal pemerintahan Majapahit karena terikat kontrak politik dengan Raden
Wijaya. Salah satu kontrak politik yang harus
segera dibayar Raden Wijaya yaitu memutuskan siapa yang menjadi Mahāpatih
Majapahit.
Ini sesungguhnya tersulit bagi Raden Wijaya ketika harus memilih apakah Mahāpatih
Majapahit dari
keluarga Wirarāja atau Adikara. Bagaimanapun juga keluarga Aria Adikara berperan besar mendampingi perjuangan Raden
Wijaya.
Sebagai catatan penting, Banyak Wide atau
yang dikenal juga dengan nama Aria Wirarāja ini
merupakan tokoh yang mempunyai ikatan batin dengan beberapa tempat yang ia
besarkan, seperti Sumenep dan Lamajang. Namun selain kedua tempat, Pulau Bali
juga mempunyai kedekatan dengan tokoh ini dan diabadikan dalam Babad Manik
Angkeran yang merupakan pedoman bagi para keturunan
Aria Wirarāja yang menamakan dirinya Aria Wang Bang Pinatih. Oleh karena itu, dikemukakan juga
beberapa versi dan kelahiran tokoh Aria Wirarāja sesuai dengan tradisi tulis
dan lisan setempat.
(Sumber foto : Wikipedia)
[1]
Lihat J. Padmapuspita, Pararaton, 1966, hlm. 27 dan 70., Slamet
Muljana, Pemugaran Persada Tanah Leluhur
Majapahit, 1983, hlm. 111-113.
[2]
Sejarawan D.G.E. Hall, seorang profesor emeritus sejarah Asia Tenggara dan London University, menyebutkan beberapa
daerah yang disinyalir sebagai bentangan pertahanan alami Singhasari seperti Pahang (Malaysia), Bakulapura
(Kalimantan), serta Madura dan Bali. Secara geopolitik, Madura merupakan basis
strategis untuk membendung serangan Mongol terutama yang lewat dari Laut Jawa.
[3]
Lihat Slamet Muljana, op.cit., 1983, hlm. 107.
[4]
Slamet Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 2005, hlm. 202.
Dendam Wirarāja terhadap Sri Keṛtanegara dilampiaskan melalui Sri Jayakatwang, yang telah lama mengincar tahta Kaḍiri (Daha) sepeninggal Sri Wiswarupakumara
BalasHapusNoted.