(Keterangan Gambar : Buruh tembakau dalam "Djember Tempo Doeloe")
Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, sebuah keniscayaan bila sejarah hari jadi Kabupaten Jember di-revisi dan ditinjau ulang kembali. Sejarah hari lahir kota tembakau yang dikeluarkan Gubernur Jenderal De Graeff tersebut, sudah tidak relevan lagi dengan semangat nasionalisme dan patriotisme yang kita gelorakan.
Bagaimana tidak, Jember yang cukup kaya dengan
peninggalan cagar budaya mulai dari Tanggul sampai Silo,dengan mudahnya
menerima Bestuurshervorming Decentralisastie Regentschappen Oost Java,
warisan kolonial. Sebuah "akte kelahiran" produk penjajah yang
digunakan dengan memanipulasi usia kota yang sebenarnya sudah sangat tua.
Bagi
penulis, apa yang dilakukan pemerintah kabupaten dan DPRD kala itu merupakan bentuk
pelecehan pada sejarah dengan meng-alienasi dan mengabaikan
sumber-sumber historis yang lebih signifikan. Secara sarkastis
dapat disebut bahwa penetapan hari lahir Kabupaten Jember adalah tidak sah
karena merupakan "anak haram" yang diadopsi dari bangsa asing
(Belanda). Sebab bangsa itu selama 350 tahun telah membuat kita miskin,
menderita dan terbelakang. Penggunaan Staatblad dengan tidak langsung
telah memberikan pengakuan secara de facto dan de jure pada
penjajahan Belanda atas wilayah Jember khususnya.
Jember sebagaimana yang termaktub dalam Staatblad
Nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928, adalah wilayah hamparan lahan pertanian
dan perkebunan yang amat subur. Pada masa Mataram (Susuhunan Pakubuwono IV)
termasuk dalam wilayah Java's Oosthoek (Malang, Probolinggo, Lumajang,
Besuki (Situbondo-Bondowoso) dan Blambangan). Kabupaten Jember sebelumnya
termasuk dalam afdeling Bondowoso (Gewestelijk Besoeki), yang kemudian
ditetapkan sebagai wilayah setingkat kabupaten (regentschap).
Kemajuan perusahaan perkebunan di Jember
masa itu dikelola secara profesional dengan tenaga kerja melimpah dan mudah
dieksploitasi serta lahan yang subur membuat Belanda banyak mengeruk
keuntungan. Salah seorang pemilik perusahaan perkebunan tempo doeloe
yang banyak dikenang dan dikagumi kalangan persil (perkebunan) adalah George
Birnie. Birnie adalah keturunan Belanda - Scotlandia dan big
bos perusahaan perkebunan NV. Landbauw Maaschappij Out Djember yang memulai
usahanya sekitar tahun 1850 bersama dengan Matthiasen dan Van Gennep. Perkebunan milik Birnie mempunyai buruh
sekitar satu juta-an dengan lokasi berada Jember Utara dan lereng Pegunungan
Hyang - Argopuro. Birnie disebutkan menikah dengan wanita lokal
suku Madura bernama Djemilah yang kuburannnya terletak di tengah sawah
jalan raya Jember - Maesan (Bondowoso).
Namun
kemudian kehebatan serta kebesaran George Birnie merasuk menjadi mainset dan "Birnie memory" pada sebagian
masyarakat. Menurut seorang pengamat bola, nama Birnie telah
diabadikan sebagai trade mark dan spirit organisasi sepak bola di Jember
(PERSID) beserta komunitas supporternya. Istilah Bernie kemudian di-up
to date menjadi " Berni ", yang artinya "Jember Berani" dan sekarang
begitu akrab serta menyatu dengan insan sepakbola Jember.
Sehingga tak pelak lagi pengaruh Hindia
Belanda dalam perkebunan khususnya tembakau telah melahirkan afdeling class tersendiri dengan tipologi khusus serta menciptakan elan (semangat bergelora/kreativitas) sebagian masyarakat Jember. Sehingga lambang kabupatenpun
menggunakan daun tembakau. Di samping itu mentalitas warisan kolonial yang sangat
feodal masih tersisa di kalangan tertentu seperti penjuraan (penghormatan
berlebihan) antara atasan bawahan dengan model hubungan master-servant.
Karakter semacam itu seharusnya sudah harus terkikis habis sekarang.
Kuatnya pengaruh hegemoni
kolonial bukan hanya pada wilayah Jember Utara saja, sebelumnya di masa Sultan
Agung Hanyukrokusumo (1613 - 1645) dan era sesudahnya, perhatian Mataram
sangat besar pada wilayah Jember Selatan khususnya Puger. Karena wilayah ini
kaya akan hasil laut dan sarang burung. Selain itu Puger dengan Pulau Nusa Barong
merupakan daerah yang sangat strategis untuk kepentingan pertahanan (militer).
Ketika pecah huru-hara
Blambangan melawan VOC, hubungan antara Puger dan Blambangan sangat erat dan
saling bahu membahu dalam pertempuran. Bangsawan Puger seperti Raden Mas
Puger membantu Blambangan dalam kancah perang besar melawan penjajah.
Kemudian dilanjutkan oleh perlawanan Sindhu Bromo di Pulau Nusa Barong
yang menjadi pemimpin kaum ekstrimis (versi penjajah) dan para lanun
dari Bugis untuk mengganggu kepentingan VOC.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa Belanda yang
khawatir akan terjadinya pemberontakan para pejuang Puger, kemudian menguasai
dan menjadikannya wilayah pemerintahan (Gewestelijk Poeger) yang
meliputi Jember dan Bondowoso sekitar tahun 1792 - 1847 (Leiden : E.J. Brill,
1963). Kesimpulannya kalau dibanding Staatblad, pemerintahan Kabupaten
Puger terlebih dahulu ada dibanding Jember.
Bila demikian halnya telah terjadi
kontradiksi dan ambigu dalam penggunaan sumber sejarah antara Kabupaten
Jember dan Kecamatan Puger kalau sama-sama berdasarkan pada beleid kolonial. Dengan
asumsi itu seharusnya pemerintah mengacu pada sumber literatur kolonial yang
terlebih dahulu ada yaitu Kabupaten Puger (Regentschaap Poeger).
Sehingga untuk menghindari tumpang tindih, penggunaan Staatblad Kabupaten Jember seharusnya di-delete dan diganti dengan "dokumen kolonial " Kabupaten Puger, ansich tidak termasuk Bondowoso.
Sehingga untuk menghindari tumpang tindih, penggunaan Staatblad Kabupaten Jember seharusnya di-delete dan diganti dengan "dokumen kolonial " Kabupaten Puger, ansich tidak termasuk Bondowoso.
Tapi seharusnya dua dokumen Belanda tersebut tidak digunakan dan tetap mengacu pada bukti-bukti manuskrip atau inskripsi kuno
asli kita misalnya Prasasti Congapan yang ditemukan di Dusun Congapan,
Karang Bayat (Sumberbaru) dengan candrasengkala " tlah sanak
pangilanku" (1088 Saka) kemudian Prasasti Batu Gong di Dusun
Kaliputih Rambipuji bertuliskan "Parvvateswara" (Dewa
Gunung) yang diperkirakan antara tahun 650-732 M, semasa dengan Kerajaan
Mataram Kuno di Dieng, Jawa Tengah.
Prasasti Butak yang bertahun
1294 pada masa pemerintahan Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana (Raden
Wijaya) bisa dijadikan patokan hari lahirnya Jember. Piagam penghargaan R.
Wijaya yang diberikan pada Macan Kuping sebagai Kepala Desa Kudadu atas
jasa-jasanya itu secara implisit menyebut wilayah Jember dengan Tigang
Juru (Jember, Situbondo-Bondowoso dan Banyuwangi/Blambangan). Sehubungan
lokasi Jember lebih dekat dengan Lumajang (Lamajang) sebagaimana dimaksud dalam
Piagam Kudadu telah diberikan kepada Aria Wiraraja yaitu meliputi Lamajang
Utara, Lamajang Selatan dan Tigang Juru. Maka cukup valid
bila Tigang Juru dimulai dari Jember ke timur, sehingga secara otomatis
Kabupaten Jember berhak menggunakan ulang tahunnya yang dimulai tahun 1294,
bersamaan dengan tahun dikeluarkan prasasti tersebut. Namun tidak diketahui
secara pasti tanggal berapa Prasasti Butak ditulis, hal ini bisa disikapi
dengan memberi tatenger permulaan tanggal dan bulan yaitu 1 Januari.
Apa yang disebutkan dalam Kudadu
Agreement, yaitu dibagikannya wilayah Tigang
Juru kepada Arya Wiraraja (Banyak Wide), semenjak itu tlatah Lamajang dan Tigang
Juru secara berkelanjutan diperintah oleh Aria Wiraraja sebagai Adipati (Bupati). Kemudian pada masa
Hayam Wuruk daerah Majapahit Timur atau yang dikenal dengan nama Kedhaton
Wetan atau Brang Wetanan dikuasai oleh puteranya dari garwo ampil
(selir) yaitu Bhre Wirabhumi. Tokoh ini dikenal sebagai figur raja yang
digadang-gadang menggantikan Hayam Wuruk, namun tertahan oleh saingannya yaitu
Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) yang menyebabkan terjadinya Perang
Paregrek.
Wirabhumi selanjutnya menurunkan raja-raja
Blambangan sampai dengan abad ke-17 yang melahirkan peristiwa heroik Puputan
Bayu (18 Desember 1771) di bawah pimpinan Mas Rempeg Jagapati, Mas Ayu
Wiwit dan Baswi melawan VOC (website : Osingkertajarasa).
Ketokohan Aria Wiraraja
menjadi mascot sejarah dan klaim atas figur sentralnya di wilayah 'Tapal
Kuda' yang dulu bernama Tigang Juru dan Sumenep (Madura). Bagaimana tidak,
karena di Sumenep Banyak Wide telah menjadi founding father berdirinya kabupaten di ujung timur Madura itu sejak masa Raja Kertanegara (1272 - 1292).
Dalam Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1255 M, Kertanegara sebagai putera mahkota (Nararya Murdhaja) memerintah di suatu daerah di bawah bimbingan sang ayah, Wisnuwardhana (Marwati Djoened Poesponegoro, 1992 :339).
Dalam Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1255 M, Kertanegara sebagai putera mahkota (Nararya Murdhaja) memerintah di suatu daerah di bawah bimbingan sang ayah, Wisnuwardhana (Marwati Djoened Poesponegoro, 1992 :339).
Tak pelak, Banyak Wide kemudian
"dibuang" ke wilayah ujung timur Madura akibat sikap kritisnya terhadap
Raja Singosari tersebut. Sejak itu pula Ia menjadi Adipati Sumenep pertama,
dalam Prasasti Mula Malurung, Aria Wiraraja juga disebut sebagai cikal
bakal lahirnya Kabupaten Lumajang. Maka tidak heran kemudian terjadi perebutan
"hegemoni" ketokohan Aria Wiraraja sebagai orang yang
"mbaurekso" antara Lumajang dan Sumenep. Bahkan sejarah kota
Banyuwangi (Blambangan), Jember maupun Tigang Juru (daerah Tapal Kuda) tidak
bisa dipisahkan dari ketokohan Aria Wiraraja. Karena bagaimanapun klaim sejarah
daerah tersebut tetap melandaskan pada sumber-sumber historiografi yang sama.
Sumber-sumber yang digunakan seperti Prasasti
Butak, Prasasti Mula Malurung, Pararaton, Negarakretagama dan Kidung
Harsya Wijaya adalah bahan rujukan yang sama-sama digunakan oleh
kabupaten yang ada di sekitar tapal kuda.
Pada galibnya sejarah hari jadi kota-kota
kabupaten yang ada di Nusantara khususnya di Jawa meng-akomodir dari sejarah
pra maupun masa kolonial. Banyak yang melandaskan pada penemuan prasasti dan inskripsi
seperti Lumajang (Prasasti Mula Malurung-1255 M), Nganjuk (Prasasti
Anjukladang-937 M), Malang/Malangkuceswara (Prasasti Ukirnegara-1198)
dan Sumenep (Kitab Pararaton -1269) dan peristiwa sejarah seperti
Banyuwangi (Puputan Bayu, 18 Desember 1771). Hari lahir Kota Banyuwangi
yang disatukan dengan Blambangan merujuk pada peristiwa heroik Puputan Bayu
di masa VOC (Belanda) yang sangat dramatis dan membawa emosi kita bagai
diaduk-aduk sehingga pada akhirnya menumbuhkan jiwa patriotisme.
Namun yang menjadi masalah adalah penetapan sejarah hari jadi Kabupaten Jember, karena terjadi kesulitan untuk menentukan kapan wilayah ini ada dan kapan namanya tercetus. Berdasarkan kajian toponimi, daerah ini tidak pernah secara tegas disebutkan dalam kitab-kitab rontal, keropak, prasasti atau sumber-sumber inskripsi kuno pada era kerajaan Hindu-Budha maupun kerajaan Islam.
Namun yang menjadi masalah adalah penetapan sejarah hari jadi Kabupaten Jember, karena terjadi kesulitan untuk menentukan kapan wilayah ini ada dan kapan namanya tercetus. Berdasarkan kajian toponimi, daerah ini tidak pernah secara tegas disebutkan dalam kitab-kitab rontal, keropak, prasasti atau sumber-sumber inskripsi kuno pada era kerajaan Hindu-Budha maupun kerajaan Islam.
Mungkin inilah yang menyebabkan para pengambil keputusan hari lahir Jember merasa absurd dalam mencari akar sejarah Jember, sehingga
mencari jalan pintas dan instan dengan berpedoman pada Staatblad
warisan kolonial.
Sehingga pada akhirnya, kita tidak
mendapatkan kesan dan kebanggaan apa-apa selain sikap menyayangkan dan skeptis kepada
pengambil keputusan yang gegabah dalam menetapkan hari lahir Kabupaten Jember. Sangat
disesalkan sekali para akademisi, sejarawan dan budayawan yang punya
akses serta peran dalam menetapkan hari jadi tidak mengoptimalkan upaya dan
pemikirannya.
Toponimi Jember masih mengacu pada folklore
atau cerita rakyat ataupun folktale (dongeng) yang menimbulkan
perdebatan berkepanjangan. Pemunculan istilah jember, jembar
maupun jembret sangat kental dengan budaya pendhalungan
Jawa-Madura. Masing-masing menginterpretasikan sendiri sesuai kehendak mereka
dan akhirnya diterima sebagai nama yang diakui bersama sampai sekarang.
Sehingga kemudian nama Jember (Djember) akhirnya disebutkan secara formal dalam
administrasi Hindia Belanda pada sekitar abad ke-18 dan otomatis termasuk
kabupaten termuda di Pulau Jawa, dibanding kabupaten lain yang rata-rata
berusia lama (selain kabupaten hasil pemekaran).
Menurut penulis, penetapan
hari jadi Kabupaten yang tergesa-gesa serta tidak melalui telaah dan penelitian
ilmiah secara mendalam, telah menyebabkan pendustaan bahkan pembohongan sejarah terhadap publik.
Bagi penulis dan teman-teman dari Forum
Komunitas Bhattara Saptaprabhu, yang sangat intens dan concern melakukan
telaah dan studi kesejarahan meminta agar pemerintah kabupaten meninjau kembali
keputusan yang dikeluarkan terkait dengan hari ulang tahun kabupaten tercinta
ini.
(Oleh : Zainollah, S.Pd & Tim
Bhattara Saptaprabhu)
0 komentar:
Posting Komentar