Kode Iklan

Senin, 10 Juni 2013

Lakon Sejarah Hari Jadi JEMBER : Bhattara GUGAT !

     (Keterangan Gambar : Buruh tembakau dalam "Djember Tempo Doeloe")

     Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, sebuah keniscayaan bila sejarah hari jadi Kabupaten Jember di-revisi dan ditinjau ulang kembali. Sejarah hari lahir kota tembakau yang dikeluarkan Gubernur Jenderal De Graeff tersebut, sudah tidak relevan lagi dengan semangat nasionalisme dan patriotisme yang kita gelorakan.
Bagaimana tidak, Jember yang cukup kaya dengan peninggalan cagar budaya mulai dari Tanggul sampai Silo,dengan mudahnya menerima Bestuurshervorming Decentralisastie Regentschappen  Oost Java, warisan kolonial. Sebuah "akte kelahiran" produk penjajah yang digunakan dengan memanipulasi usia kota yang sebenarnya sudah sangat tua.
     Bagi penulis, apa yang dilakukan pemerintah kabupaten dan DPRD kala itu merupakan bentuk pelecehan pada sejarah dengan meng-alienasi dan mengabaikan sumber-sumber historis yang lebih signifikan. Secara sarkastis dapat disebut bahwa penetapan hari lahir Kabupaten Jember adalah tidak sah karena merupakan "anak haram" yang diadopsi dari bangsa asing (Belanda). Sebab bangsa itu selama 350 tahun telah membuat kita miskin, menderita dan terbelakang. Penggunaan Staatblad dengan tidak langsung telah memberikan pengakuan secara de facto dan de jure pada penjajahan Belanda atas wilayah Jember khususnya.
     Jember sebagaimana yang termaktub dalam Staatblad Nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928, adalah wilayah hamparan lahan pertanian dan perkebunan yang amat subur. Pada masa Mataram (Susuhunan Pakubuwono IV) termasuk dalam wilayah Java's Oosthoek (Malang, Probolinggo, Lumajang, Besuki (Situbondo-Bondowoso) dan Blambangan). Kabupaten Jember sebelumnya termasuk dalam afdeling Bondowoso (Gewestelijk Besoeki), yang kemudian ditetapkan sebagai wilayah setingkat kabupaten (regentschap).
    Kemajuan perusahaan perkebunan di Jember masa itu  dikelola secara profesional dengan tenaga kerja melimpah dan mudah dieksploitasi serta lahan yang subur membuat Belanda banyak mengeruk keuntungan. Salah seorang pemilik perusahaan perkebunan tempo doeloe yang banyak dikenang dan dikagumi kalangan persil (perkebunan) adalah George Birnie. Birnie adalah keturunan Belanda - Scotlandia dan  big bos perusahaan perkebunan NV. Landbauw Maaschappij Out Djember yang memulai usahanya sekitar tahun 1850 bersama dengan Matthiasen dan Van Gennep. Perkebunan milik Birnie mempunyai buruh sekitar satu juta-an dengan lokasi berada Jember Utara dan lereng Pegunungan Hyang - Argopuro. Birnie disebutkan  menikah dengan wanita lokal suku Madura bernama Djemilah yang kuburannnya terletak di tengah sawah jalan raya Jember - Maesan (Bondowoso).
     Namun kemudian kehebatan serta kebesaran George Birnie merasuk menjadi mainset dan "Birnie memory" pada sebagian masyarakat. Menurut seorang pengamat bola, nama Birnie telah diabadikan sebagai trade mark dan spirit organisasi sepak bola di Jember (PERSID) beserta komunitas supporternya. Istilah Bernie kemudian di-up to date menjadi " Berni ", yang artinya "Jember Berani" dan sekarang begitu akrab serta menyatu dengan insan sepakbola Jember.
     Sehingga tak pelak lagi pengaruh Hindia Belanda dalam perkebunan khususnya tembakau telah melahirkan afdeling class tersendiri dengan tipologi khusus serta menciptakan elan (semangat bergelora/kreativitas) sebagian masyarakat Jember. Sehingga lambang kabupatenpun menggunakan daun tembakau. Di samping itu mentalitas warisan kolonial yang sangat feodal masih tersisa di kalangan tertentu seperti penjuraan (penghormatan berlebihan) antara atasan bawahan dengan model hubungan master-servant. Karakter semacam itu seharusnya sudah harus terkikis habis sekarang.
     Kuatnya pengaruh hegemoni kolonial bukan hanya pada wilayah Jember Utara saja, sebelumnya di  masa Sultan Agung Hanyukrokusumo (1613 - 1645) dan era sesudahnya, perhatian Mataram sangat besar pada wilayah Jember Selatan khususnya Puger. Karena wilayah ini kaya akan hasil laut dan sarang burung. Selain itu Puger dengan Pulau Nusa Barong merupakan daerah yang sangat strategis untuk kepentingan pertahanan (militer).
     Ketika pecah huru-hara Blambangan melawan VOC, hubungan antara Puger dan Blambangan sangat erat dan saling bahu membahu dalam pertempuran. Bangsawan Puger seperti  Raden Mas Puger membantu Blambangan dalam kancah perang besar melawan penjajah. Kemudian dilanjutkan oleh perlawanan Sindhu Bromo di Pulau Nusa Barong yang menjadi pemimpin kaum ekstrimis (versi penjajah) dan para lanun dari Bugis untuk mengganggu kepentingan VOC.
     Sejarah kemudian membuktikan bahwa Belanda yang khawatir akan terjadinya pemberontakan para pejuang Puger, kemudian menguasai dan menjadikannya wilayah pemerintahan (Gewestelijk Poeger) yang meliputi Jember dan Bondowoso sekitar tahun 1792 - 1847 (Leiden : E.J. Brill, 1963). Kesimpulannya kalau dibanding Staatblad, pemerintahan Kabupaten Puger terlebih dahulu ada dibanding Jember.
      Bila demikian halnya telah terjadi kontradiksi dan ambigu dalam penggunaan sumber sejarah antara Kabupaten Jember dan Kecamatan Puger kalau sama-sama berdasarkan pada beleid kolonial. Dengan asumsi itu seharusnya pemerintah mengacu pada sumber literatur kolonial yang terlebih dahulu ada yaitu Kabupaten Puger (Regentschaap Poeger).
Sehingga untuk menghindari tumpang tindih, penggunaan Staatblad Kabupaten Jember seharusnya di-delete  dan diganti dengan "dokumen kolonial " Kabupaten Puger, ansich tidak termasuk Bondowoso.
Tapi seharusnya dua dokumen Belanda tersebut tidak digunakan dan tetap mengacu pada bukti-bukti manuskrip atau inskripsi kuno asli kita misalnya Prasasti Congapan yang ditemukan di Dusun Congapan, Karang Bayat (Sumberbaru) dengan candrasengkala " tlah sanak pangilanku" (1088 Saka) kemudian Prasasti Batu Gong di Dusun Kaliputih Rambipuji  bertuliskan "Parvvateswara" (Dewa Gunung) yang diperkirakan antara tahun 650-732 M, semasa dengan Kerajaan Mataram Kuno di Dieng, Jawa Tengah.
     Prasasti Butak yang bertahun 1294 pada masa pemerintahan Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) bisa dijadikan patokan hari lahirnya Jember. Piagam penghargaan R. Wijaya yang diberikan pada Macan Kuping sebagai Kepala Desa Kudadu atas jasa-jasanya itu secara implisit menyebut wilayah Jember dengan Tigang Juru (Jember, Situbondo-Bondowoso dan Banyuwangi/Blambangan). Sehubungan lokasi Jember lebih dekat dengan Lumajang (Lamajang) sebagaimana dimaksud dalam Piagam Kudadu telah diberikan kepada Aria Wiraraja yaitu meliputi Lamajang Utara, Lamajang Selatan dan Tigang Juru. Maka cukup valid bila Tigang Juru dimulai dari Jember ke timur, sehingga secara otomatis Kabupaten Jember berhak menggunakan ulang tahunnya yang dimulai tahun 1294, bersamaan dengan tahun dikeluarkan prasasti tersebut. Namun tidak diketahui secara pasti tanggal berapa Prasasti Butak ditulis, hal ini bisa disikapi dengan memberi tatenger permulaan tanggal dan bulan yaitu 1 Januari.
     Apa yang disebutkan dalam Kudadu Agreement, yaitu dibagikannya wilayah Tigang Juru kepada Arya Wiraraja (Banyak Wide), semenjak itu tlatah Lamajang dan Tigang Juru secara berkelanjutan diperintah oleh Aria Wiraraja sebagai Adipati (Bupati). Kemudian pada masa Hayam Wuruk daerah Majapahit Timur atau yang dikenal dengan nama Kedhaton Wetan atau Brang Wetanan dikuasai oleh puteranya dari garwo ampil (selir) yaitu Bhre Wirabhumi. Tokoh ini dikenal sebagai figur raja yang digadang-gadang menggantikan Hayam Wuruk, namun tertahan oleh saingannya yaitu Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) yang menyebabkan terjadinya Perang Paregrek.
     Wirabhumi selanjutnya menurunkan raja-raja Blambangan sampai dengan abad ke-17 yang melahirkan peristiwa heroik Puputan Bayu (18 Desember 1771) di bawah pimpinan Mas Rempeg Jagapati, Mas Ayu Wiwit dan Baswi melawan VOC (website : Osingkertajarasa).
      Ketokohan Aria Wiraraja menjadi mascot sejarah dan klaim atas figur sentralnya di wilayah 'Tapal Kuda' yang dulu bernama Tigang Juru dan Sumenep (Madura). Bagaimana tidak, karena di Sumenep Banyak Wide telah menjadi founding father berdirinya kabupaten di ujung timur Madura itu sejak masa Raja Kertanegara (1272 - 1292).
Dalam Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1255 M, Kertanegara sebagai putera mahkota (Nararya Murdhaja) memerintah di suatu daerah di bawah bimbingan sang ayah, Wisnuwardhana (Marwati Djoened Poesponegoro, 1992 :339).
     Tak pelak, Banyak Wide kemudian "dibuang" ke wilayah ujung timur Madura akibat sikap kritisnya terhadap Raja Singosari tersebut. Sejak itu pula Ia menjadi Adipati Sumenep pertama, dalam Prasasti Mula Malurung, Aria Wiraraja juga disebut sebagai cikal bakal lahirnya Kabupaten Lumajang. Maka tidak heran kemudian terjadi perebutan "hegemoni" ketokohan Aria Wiraraja sebagai orang yang "mbaurekso" antara Lumajang dan Sumenep. Bahkan sejarah kota Banyuwangi (Blambangan), Jember maupun Tigang Juru (daerah Tapal Kuda) tidak bisa dipisahkan dari ketokohan Aria Wiraraja. Karena bagaimanapun klaim sejarah daerah tersebut tetap melandaskan pada sumber-sumber historiografi yang sama.
Sumber-sumber yang digunakan seperti Prasasti Butak, Prasasti Mula Malurung, Pararaton, Negarakretagama dan Kidung Harsya Wijaya adalah bahan rujukan yang sama-sama digunakan oleh  kabupaten yang ada di sekitar tapal kuda.
     Pada galibnya sejarah hari jadi kota-kota kabupaten yang ada di Nusantara khususnya di Jawa meng-akomodir dari sejarah pra maupun masa kolonial. Banyak yang melandaskan pada penemuan prasasti dan inskripsi seperti Lumajang (Prasasti Mula Malurung-1255 M), Nganjuk (Prasasti Anjukladang-937 M), Malang/Malangkuceswara (Prasasti Ukirnegara-1198) dan Sumenep (Kitab Pararaton -1269) dan peristiwa sejarah seperti Banyuwangi (Puputan Bayu, 18 Desember 1771). Hari lahir Kota Banyuwangi yang disatukan dengan Blambangan merujuk pada peristiwa heroik Puputan Bayu di masa VOC (Belanda) yang sangat dramatis dan membawa emosi kita bagai diaduk-aduk sehingga pada akhirnya menumbuhkan jiwa  patriotisme.
      Namun yang menjadi masalah adalah penetapan sejarah hari jadi Kabupaten Jember, karena terjadi  kesulitan untuk menentukan kapan wilayah ini ada dan kapan namanya tercetus. Berdasarkan kajian toponimi, daerah ini tidak pernah secara tegas disebutkan dalam kitab-kitab rontal, keropak, prasasti atau sumber-sumber inskripsi kuno pada era kerajaan Hindu-Budha maupun kerajaan Islam.
Mungkin inilah yang menyebabkan para pengambil keputusan hari lahir Jember merasa absurd dalam mencari akar sejarah Jember, sehingga mencari jalan pintas dan instan dengan berpedoman pada Staatblad warisan kolonial.
     Sehingga pada akhirnya, kita tidak mendapatkan kesan dan kebanggaan apa-apa selain sikap menyayangkan dan skeptis kepada pengambil keputusan yang gegabah dalam menetapkan hari lahir Kabupaten Jember. Sangat disesalkan sekali para akademisi, sejarawan dan budayawan yang punya akses serta peran dalam menetapkan hari jadi tidak mengoptimalkan upaya dan pemikirannya.
      Toponimi Jember masih mengacu pada folklore atau cerita rakyat ataupun folktale (dongeng) yang menimbulkan perdebatan berkepanjangan. Pemunculan istilah jember, jembar maupun jembret sangat kental dengan budaya pendhalungan Jawa-Madura. Masing-masing menginterpretasikan sendiri sesuai kehendak mereka dan akhirnya diterima sebagai nama yang diakui bersama sampai sekarang. Sehingga kemudian nama Jember (Djember) akhirnya disebutkan secara formal dalam administrasi Hindia Belanda pada sekitar abad ke-18 dan otomatis termasuk kabupaten termuda di Pulau Jawa, dibanding kabupaten lain yang rata-rata berusia lama (selain kabupaten hasil pemekaran).
     Menurut penulis, penetapan hari jadi Kabupaten yang tergesa-gesa serta tidak melalui telaah dan penelitian ilmiah secara mendalam, telah menyebabkan pendustaan bahkan  pembohongan sejarah terhadap publik.
Bagi penulis dan teman-teman dari Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu, yang sangat intens dan concern melakukan telaah dan studi kesejarahan meminta agar pemerintah kabupaten meninjau kembali keputusan yang dikeluarkan terkait dengan hari ulang tahun kabupaten tercinta ini.
(Oleh : Zainollah, S.Pd & Tim Bhattara Saptaprabhu)  



(Keterangan Gambar : Masjid lama di pusat kota Jember)




0 komentar:

Posting Komentar