Kode Iklan

Jumat, 01 Februari 2013

Menguak Peradaban Yang Hilang


      Peradaban (civilization) adalah  ukuran  suatu bangsa dalam mencapai kesempurnaan akal pikiran, budi dan daya sebagai bentuk reaksi terhadap adanya tantangan alam. Setiap bangsa tidak sama dalam mencapai taraf dan tahapan peradabannya. Kondisi geografis, pola pikir dan karakter sangat menentukan peradaban, termasuk interaksi dengan bangsa lain. Peradaban dan kebudayaan akan terus berkembang seiring makin kompleksnya tantangan kehidupan yang dihadapi manusia. 
Kemajuan teknologi adalah bagian peradaban sebagai wujud terciptanya kemampuan mengadaptasi manusia dengan kebutuhan.
       Namun peradaban tidak selalu berbanding lurus atau identik dengan kemajuan dan kemahiran teknologi, bahkan kadang sebaliknya. Ada kecenderungan semakin maju suatu bangsa makin tenggelamlah peradaannya. Peradaban negara-negara seperti Mesir, Yunani, Irak, dan lainnya yang sangat adiluhung pada masa-masa sebelum Nabi Isa lahir (tahun Masehi) kini hanya teronggok berupa Piramida, Sphinx, Obelisk, Parthenon dan Colosseum.  Kehebatan nenek moyang mereka dalam membangun sebuah Piramida tidak bisa dibandingkan dengan pembangunan Menara WTC atau bangunan modern lainnya. Karena essensi dan substansinya sudah berbeda. Susunan ribuan kubik batu di mana sebuah batu hanya bisa bergeser bila ditarik dengan tenaga 15.000 orang atau sama dengan 1000 ekor kuda benar-benar pekerjaan yang sangat fantastis dan menakjubkan.
      Di bumi pertiwi keajaiban itu bisa dilihat pada bangunan Candi Borobudur, Candi Prambanan dan candi-candi lain yang pembuatannya begitu indah dan mempesona. Seorang Gunadharma sebagai seorang arsitek mampu menerjemahkan gagasan dari Samarottungga dalam mencipta, rasa dan karsa sebuah Bhumisambarabudara. Luar biasa, bagaimana mungkin sebuah batu kali dipotong dengan rapi, simetris dengan bekas "sayatan" seperti pisau tajam yang mengiris roti. Teknologi metalurgi macam apa yang digunakan para ponggawa Wangsa Syailendera dalam memahat, mengiris, memotong kerasnya batu-batu kali itu lalu kemudian merekatkan satu sama lain. Para empu pada masa itu telah mampu membuat baja sejenis karbon dengan kualitas lebih baik dari bahan baja pedang katana dari Jepang. Bahkan mungkin hanya bisa ditandingi oleh pedang pasukan muslim dalam Perang Salib dari baja dengan teknologi nano sekitar 500 tahun kemudian. Konon para pande besi juga telah menciptakan keris dahsyat dari batu meteor hanya berdasarkan wangsit dan laku tirakat. Maka lalu lahirlah karya masterpiece seperti keris Mpu Gandring, Kiai Condong Campur, Kiai Sangkelat dan Kiai Nagasasra-Sabuk Inten.  
        Kebudayaan kita dengan kemampuan menciptakan candi dari batu kali yang kokoh dengan keahlian metalurgi sejak abad ke-5 berkembang makin sempurna. Namun seiring makin jauhnya manusia dari essensi peradaban utamanya pada peng-agung-an mahakarya mereka kemampuan itu sudah tidak dimiliki oleh generasi berikutnya. Andaikata para arsitek modern membuat dan "mengolah" batu menjadi candi maka kita yakin hasilnya tidak akan se-estetis candi-candi masa lampau. Belum lagi aura dan wibawa bangunan itu hanya kelihatan seperti "benda mati" yang abstrak. Benarlah kalau kita menyebutya sebagai peradaban yang hilang (lost civilization). Zainollah, S.Pd - Koordinator Forum Bhattara Saptaprabhu



0 komentar:

Posting Komentar