(Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)
Keterangan Foto : Prasasti Congapan, Karang Bayat Sumberbarudan Situs Doplang, Kamal | Arjasa |
Di balik ironi sebuah kemustahilan bahwa Kabupaten Jember adalah kota yang masih bingung dalam me-rekonstruksi dan me-review sejarahnya sendiri, karena sudah terlanjur dilahirkan dengan “akte yang keliru” akibat kesalahan politis administrasi. Namun masih ada harapan dan peluang untuk merevisi "akte" tersebut dengan adanya beberapa temuan arkeologi berupa sumber-sumber tertulis maupun lisan yang dapat digunakan untuk menyingkap tabir misteri kesejarahan (historisitas) Jember.
Dalam penentuan
hari lahir kota yang dilakukan dengan cara ‘instan’ dan terkesan buru-buru dalam
menggunakan Staatblad Nomer 322 tanggal 1
Januari 1929 sebenarnya tidak terlalu aneh. Karena sejarah Jember sebagai suatu
entitas dan merupakan aspek integral dalam jati diri masyarakat kota ini telah
di-introdusir sedemikian rupa menjadi
salah satu instrumen yang dilekatkan pada kepentingan politik dan ideologi utamanya
pada masa kolonial. Sehingga deskripsi tentang penentuan sejarah (hari lahir) Jember
tetap dibuat kabur dan hampir tidak bisa ditelusuri, dimulai dari mana dan pada
masa apa. Pembiaran ini tampaknya terjadi sampai era sekarang. Kita tidak
menafikan atau mengingkari tentang sebuah eksistensi yang kuat dari kolonialis
Belanda di Jember. Tetapi yang jadi substansi adalah bentuk ‘pengakuan’ kita
pada eksistensi kolonial tersebut dan segala produknya khususnya di Jember. Sebuah
bentuk kesalahan elementer yang tidak bisa ditolerir. Bukankah dalam Preambule UUD 1945 ditegaskan bahwa
essensi kemerdekaan suatu bangsa adalah menentang dan tidak memberi ruang
pada penjajahan di manapun ?
Wacana tentang historisitas Jember
yang lama diperdebatkan telah terdistribusi selama ini menjadi terbatas pada
penceritaan bagaimana kota Jember terbentuk dan kekuasaan administratif Jember
sebagai kabupaten didirikan. Para ahli sejarah dan budayawan lokal
bahkan peneliti kolonial tidak bisa berbuat banyak dalam memberikan kontribusi untuk
menyingkap tabir sejarah Jember. Meskipun disebutkan beberapa peneliti dan
arkeolog Belanda telah mengadakan eksplorasi atau observasi. Sebagaimana di
kota-kota lain di Jawa, para sejarawan Belanda begitu intens mengadakan sigi
dengan banyak melahirkan tulisan dalam bentuk historiografi yang kemudian
dijadikan bahan rujukan. Namun secara holistik
tidak pernah sampai pada suatu kesimpulan yang mengungkap dan menguak sejarah
dan peradaban Jember lama. Hal ini dimungkinkan karena faktor keterbatasan
sumber-sumber sejarah baik lisan maupun tulisan itu sendiri. Atau Belanda lebih
terfokus dan asyik menikmati kekayaan alam perkebunan yang subur dan melimpah.
Kepentingan ekonomi yang melatarbelakangi imperialisme
Belanda khususnya di wilayah Java
Oosthoek dibarengi juga dengan ideologi dan politik. Wilayah timur yang
sangat subur sebagai sentra perkebunan dan pertanian telah lama digenggam erat
oleh pemodal asing (Belanda) sehingga akhirnya lebih menyisakan tulisan sejarah
kolonial. Sehingga historiografi tentang keberadaan sebuah pemerintahan kuno,
baik kerajaan Hindu, Budha dan kesultanan (Islam) tidak pernah ditemukan. Namun
rekam jejak pengaruh peninggalan fisik (cagar budaya) dari kerajaan-kerajaan
besar di Jawa masih bisa ditelusuri. Meskipun kondisinya sebagian sudah tidak
berbentuk lagi karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam meng-apresiasi
nilai-nilai peninggalan sejarah.
Sedangkan
monumen (fisik materiil) berupa bangunan peninggalan kolonial Belanda, kalah dengan
monumen “ mental-spirituil “ atau fakta mental (mental facts) yang ditinggalkan. Fakta mental bertalian dengan
prilaku, perasaan batin, kerohanian yang mendasari suatu karya cipta. Kalau
kita cermati bagaimana warisan tradisi kompeni ini masih tetap lekat pada stakehoulders komunitas perkebunan
hingga sekarang. Seperti penggunaan istilah-istilah serta tata etika yang
terkait dengan afdeling yang masih kental
dan berbau feodalistik. Meskipun tidak bisa kita pungkiri itu bagian dari
warisan budaya dan sejarah yang menunjukkan kecirikhasan Jember dibanding
daerah lainnya.
Sementara
itu proses penjajahan Belanda yang panjang dengan tujuan mengeksploitasi sumber
daya alam khususnya di Jember hampir tidak pernah mengalami hambatan dan rintangan
dari rakyat. Kecuali perlawanan rakyat dalam perang kemerdekaan (revolusi
fisik) tahun 1945-1949 dalam kerangka mempertahankan kedaulatan.
Pada
masa kekuasaan kaum kolonial di Jember sebelum kedatangan para kapitalis
perkebunan, tatanan masyarakat yang primordial, solid dan komunal belum
terbentuk, yang diharapkan melahirkan kepemimpinan yang kuat dengan kekuasaan
yang terpusat. Setidaknya memunculkan rasa egalitarian dan solidaritas dalam
menghadapi penindasan bangsa asing. Namun semangat kedaerahan itu tidak tampak
karena belum ada faktor pemersatu seperti persamaan nasib dan kepentingan. Rakyat
kala itu hanya menjadi subordinat dari kekuasaan Kerajaan Mataram dan Blambangan
saat melawan VOC yang wilayahnya termasuk Jember (Blambangan barat).
Menurut
pendapat para ahli, masyarakat Jember terbentuk secara utuh dan ‘sistemik’
akibat dibukamya lahan perkebunan pada tahun 1860-an, yang kala itu membutuhkan
sumber tenaga kerja murah. Sumber tenaga kerja ini kemudian banyak didatangkan
dari Pulau Madura yang daerahnya gersang namun penduduknya memiliki etos kerja
sangat tinggi. Komunitas imigran Madura ini kemudian banyak mendiami Jember
bagian utara yang merupakan sentra perkebunan.
Sedangkan
komunitas pendatang dari wilayah kulon (Jawa) banyak berdomisili di wilayah Jember
bagian selatan. Keberadaan masyarakat di wilayah Jember selatan berasal dari
daerah Mataraman, yaitu Tulungagung, Ponorogo, Trenggalek, Blitar, Kediri dan
sebagian Jawa Tengah. Gelombang migrasi itu
sebagian besar karena diakibatkan
perang dan konflik yang terus menerus di daerah-daerah kekuasaan
Kesultanan Mataram. Baik itu perang suksesi kesultanan maupun perlawanan
terhadap campur tangan hegemoni Belanda maupun Inggris. Selain itu faktor
terpenting adalah daya tarik Jember sebagai kota industri perkebunan yang begitu
berkembang pesat.
Di
tempat baru ini dua kultur kebudayaan yang berbeda akhirnya menyatu dalam
proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan yang melahirkan budaya pendhalungan. Meskipun ada pendapat
bahwa peleburan dua budaya ini tidak terjadi, karena mereka tetap dengan
identitas etnis masing-masing. Kecuali dalam dialek bahasa percakapan
sehari-hari masih banyak ditemukan. Sehingga kekhasan Jember sebagai “kota
baru” tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkebunan itu sendiri yang
menyebabkan para imigran berdatangan dan kemudian bermukim.
Sementara
di daerah pesisir pantai selatan tepatnya wilayah Puger sebelumnya telah dihuni
oleh masyarakat suku pendatang dari Sulawesi yaitu suku Mandar dan Bugis
(Makassar) yang merupakan etnis pelaut dan kebanyakan berdiam di kawasan
pelabuhan dan pesisir.
Menurut pendapat Tri Candra dalam
makalah International Conference on Urban History, di Surabaya, August
2004, mengurai bahwa proses kapitalisasi oleh perusahaan perkebunan partikelir
belanda di daerah Besuki (baca Jember) merupakan suatu penanda fase pertumbuhan
dan berkembangnya secara nyata Jember sebagai kota. Pada titik inilah kemudian
Jember lahir sebagai kota industri perkebunan. Ia adalah sebuah kota yang lahir
dari sebuah proses modernisasi kota-kota Hindia Belanda, sebagai akibat dari
sistem perusahaan bebas yang dianut sebagai prinsip umum ekonomi sejak masuknya
kapital besar, periode akhir abad XIX. (Candra, Tri: 2004).
Tak Jauh
beda dengan Tri Candra, Edy Burhan Arifin
menjelaskan sejarah perkembangan pesat peradaban Jember sebagai wilayah
industri perkebunan ditentukan oleh semakin merebaknya perusahaan swasta
belanda di wilayah Jember utara dan Jember tengah.
Semenjak
wilayah Java Oosthoek diserahkan oleh
raja Mataram Sri Susuhunan Pakubuwono II kepada VOC pada tahun 1743 akibat
ketidakberdayaannya melawan ‘kaum pemberontak’, maka wilayah yang kaya dengan
sumber daya alam ini menjadi incaran negara-negara imperialis pesaing Belanda,
yaitu Inggris dan Perancis. Hingga kedua negara bertetangga di Eropa itu
terlibat perang lama dan panjang. Peperangan negara Inggris-Perancis yang
terjadi di tahun 1803 – 1814 itu akhirnya tetap mengukuhkan Belanda sebagai
penguasa di Hindia Belanda. Wilayah Java
Oosthoek kembali dikuasai Belanda sebagai daerah sapi perahan dan pemasok
bahan pokok terbesar. Jember sebagai kawasan bufferzone yang relatif
tidak bergolak, tetap menjadi ajang konflik kepentingan politik di masa itu. Kepentingan
penjajah VOC untuk mencaplok wilayah Kerajaan Hindu Blambangan karena sangat potensial
dengan alamnya yang kaya dan memiliki pelabuhan-pelabuhan yang ramai (Panarukan
dan Ulupampang) telah menimbulkan perang teramat dahsyat (Puputan Bayu
1771-1772).
Jember adalah salah satu wilayah kekuasaan
Kerajaan Blambangan semenjak pemerintahan Prabu Tawang Alun. Daerah Kedawung di
Jember pada masa perang Puputan Bayu adalah ibukota Kerajaan Blambangan di
Segitiga Emas (Golden Triangle) yaitu Lamajang (Lumajang), Kedawung (Jember)
dan Kuta Lateng (Banyuwangi). Tak pelak, wilayah Jember menjadi medan
pertempuran sengit antara pasukan Blambangan dibantu laskar keturunan Untung
Suropati (Pasuruan) melawan VOC. Basis pertahanan pasukan Blambangan yang
dipimpin Wong Agung Wilis berada di
Kedawung, dan benteng yang terakhir dipertahankan oleh panglima perang
Blambangan Harya Lindu Segara berada
di Pulau Nusa Barong (Puger). Sebagaimana yang ditulis oleh sejawaran Dr. I Made Sudjana, MA dalam
salah satu bukunya (Nagari Tawon Madu, Sejarah Poltik Blambangan Abad 18 :
2001).
Selanjutnya Pulau Nusa Barong menjadi
basis perlawanan para pejuang di wilayah selatan Jember. Muncul nama-nama tokoh
perlawanan seperti Sindu Bromo, Sindu Kopo, Juragan Jani dan para “lanun” dari Bugis serta
Mandar yang menunjukkan kegigihannya dalam melawan penjajah Belanda. Disebutkan
bahwa bekas-bekas peralatan perang itu masih ditemukan di pulau tersebut.
Tanah Jember
yang sangat subur, dengan relief yang didominasi dataran rendah yang terhampar
luas sangat potensial untuk lahan perkebunan dan pertanian. Sehingga bermunculanlah para investor asing datang ke
wilayah ini atas peluang dari kebijakan “Politik Pintu Terbuka” (De Open Deur Beleid) Belanda yang
diperjuangkan kaum liberalis dan humanitaris.
Pembukaan lahan perkebunan
di Jember yang dimulai sekitar tahun 1800-an dan mencapai puncaknya pada masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di
tahun 1860. Suatu sistem untuk mencari keuntungan besar (batig slot) yang dicetuskan oleh
Johannes van Den Bosch. Daerah baru
ini kemudian telah disulap menjadi ladang “emas hijau” yang banyak memberikan
kontribusi kemakmuran kaum penjajah semenjak kebangkrutan bangsa itu akibat Perang Jawa (Perang Diponegoro 1825 –
1830). Dampak dari perang akbar itu telah menguras pundi-pundi Gulden Belanda
selama bertahun-tahun.
Rentang
waktu penjajahan yang cukup lama dengan menjadikan Jember daerah yang “tidak
bertuan” dan praktis hanya diperintah oleh para adipati yang dipilih serta
tunduk pada Belanda, menyisakan pemikiran
bahwa sejarah kota itu adalah bentukan kolonial. Bukti-bukti tentang
peninggalan purbakala dan masa kerajaan Hindu-Budha serta Islam hanya dianggap aksesoris saja dan tidak banyak
memberikan peranan sebagai pengungkap sejarah yang sebenarnya. Memang,
dibanding daerah lain Jember sangat minim monumen-monumen bersejarah. Kalaupun
itu ada, peninggalan dan situs bangunan bersejarah sudah hamper rata dengan
tanah, utamanya peninggalan masa kerajaan. Beberapa peninggalan cagar budaya
dan sejarah yang sudah tidak berbentuk lagi adalah Situs Beteng di Sidomekar
Kecamatan Semboro Tanggul, Candi Deres di Purwoasri Kecamatan Gumukmas, Situs
Gondosari di Kecamatan Wuluhan, dan lain-lainnya.
Sumber-sumber
sejarah menyebutkan tentang peradaban Jember Lama pada era kerajaan Hindu-Budha
dengan bekas bangunan candi, prasasti dan petirtaan dan benteng di beberapa wilayah. Seperti Kerajaan
Majapahit Kulon yang berpusat di Trowulan masih menyisakan beberapa tapak
situs. Sedangkan Kerajaan Majapahit Wetan di Blambangan atau Lamajang tidak menyisakan
situs utuh yang bisa dikenali selain berupa artefak dan sumber tertulis serta
tidak tertulis (babad, prasasti, folklore dan folktale). Salah satu keterangan tentang keberadaan sebuah kerajaan
di Jember pernah ditulis oleh beberapa ahli sejarah.
Menurut
Drs. Dasuki Nur, seorang sejarawan
Banyuwangi (Lintasan Sejarah Blambangan, 2002 : 12). Kerajaan Blambangan di masa munculnya Raja
Mas Kembar (Prabu Mas Tanpo Uno) setelah menetap lama di Bali telah menggugah
kembali semangat rakyat Blambangan yang hampir padam. Sebelum penyerangan
pasukan Mataram terakhir ia lebih berhati-hati dalam menyusun siasat. Kali ini
Mas Kembar berpikir dan bersiasat lebih strategis praktis. Dipindahkannyalah
pusat pemerintahannya ke Kedawung (Jember), dan bergelar Pangeran Kedawung.
Kejadian ini sekitar tahun 1651 – 1655 (C.Lekkerkerker).
Disebutkan
juga dalam kisah Babad Tawang Alun (anonim),
Bahwa dalam perjalanan tahun ke tahun kekuasaannya
nampak kehidupan rakyatnya bertambah baik. Muncullah kemudian generasi-generasi
dari Pangeram Kedawung yaitu dengan putera sulungnya Raden Mas Tawang Alun
(1645 – 1691), Mas Wila, Mas Ayu Tanjung Sekar, Mas Ayu Melok dan Mas Ayu
Gringsing Retna.
Dari
informasi di atas, tidak pernah disebutkan tentang lokasi dan keberadaan bekas-bekas
peninggalan situs keraton di Kedawung Jember. Karena di Jember ada beberapa
nama tempat yang bernama Kedawung. Praktis hingga kini keberadaan situs
peninggalannya tidak pernah ditemukan, kecuali nama Prabu Tawang Alun telah diabadikan
pada sebuah terminal yang berada di Kecamatan Rambipuji.
Agaknya
kita kembali harus memeras otak dan mandi keringat untuk menyingkap semua
berbagai sumber sejarah. Penulis dari tim Forum
Komunitas Bhattara Saptaprabhu
dengan segala keterbatasan pengetahuan dan referensi lebih banyak berpedoman
pada buku babon Negarakretagama (Desawarnana) dan Pararaton serta beberapa Babad yang
terpisah (parsial). Sumber-sumber tertulis boleh dikata tidak ada yang mengungkap kegiatan pembangunan candi dan penulisan prasasti yang
berada di Jember.
Pada
era Kerajaan Majapahit (tahun 1331 Masehi) di daerah Sadeng (sekarang
diperkirakan Dusun Sadengan-Grenden Puger) telah ada masyarakat dengan sistem pemerintahan berupa sebuah
kadipaten atau kerajaan kecil. Wilayah yang disebut Sadeng itu pernah
"memberontak" pada Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1351), yang kemudian ditumpas
oleh Ra Kembar dan Gajah Mada bersamaan dengan pemberontakan Keta di Panarukan
(Situbondo). Peristiwa itupun kesulitan untuk disingkap fakta sejarahnya karena tidak ditemukan bekas-bekas
peninggalan sejarah di sana.
Kemudian
dalam pupuh 22 kitab Kakawin Nagarakretagama disebutkan bahwa
beberapa daerah di Jember telah mendapat kunjungan Prabu Hayam Wuruk dalam
lawatannya (tirtayatra) ke wilayah
Lamajang (Lumajang) dan Tigang Juru.
Dengan begitu ternyata sangat banyak di wilayah Jember tempat-tempat
yang disinggahi oleh Raja Majapahit, sehingga ada kesimpulan bahwa penguasa itu
punya perhatian dan ketertarikan luar biasa pada alam di kawasan Jember.
Wilayah Jember tampaknya telah dijadikan semacam tempat tetirah dari Sang Prabu untuk
menenangkan diri dari berbagai masalah pelik yang melanda pusat. Persoalan
kegagalan mendapatkan calon permaisuri Dewi
Citraresmi Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pajajaran yang lampus (bunuh diri) pada peristiwa Perang Bubat di tahun saka Sanga Turangga Paksowani (1353 Masehi)
membuatnya depresi. Sehingga atas saran dan masukan dari dewan Bhattara Saptaprabhu atau Pahom Narendra, Hayam Wuruk dianjurkan
melakukan perjalanan "tamasya" sembari melaksanakan ritual dengan puja puji
kepada para dewa.
Sangat
memungkinkan kemudian bila di tempat itu dibangun beberapa pesanggrahan, petirtaan dan
percandian di wilayah yang didatangi. Tujuan dibangunnya tempat berupa candi, petirtaan dan sebagainya sebagai wujud penghormatan raja Majapahit kepada para leluhurnya.
Alam kawasan Jember yang eksotis karena didukung oleh iklim tropis basah menyebabkan daerah ini mempunyai hutan lebat dan pemandangan indah. Keadaan topografinya yang tidak terlalu ekstrim memudahkan perjalanan berkuda atau kereta pada masa itu.
Alam kawasan Jember yang eksotis karena didukung oleh iklim tropis basah menyebabkan daerah ini mempunyai hutan lebat dan pemandangan indah. Keadaan topografinya yang tidak terlalu ekstrim memudahkan perjalanan berkuda atau kereta pada masa itu.
Beberapa tempat di daerah Jember telah menunjukkan
keberadaan situs bersejarah yang masih menjadi misteri serta legenda dan cerita
rakyat (folklore dan folktale). Misalnya keberadaan Situs Gondosari di Tamansari (Wuluhan),
penemuan artefak (manik-manik, gerabah, dll) serta tulang belulang di Dusun
Ampel Krajan Desa Ampel Kecamatan Wuluhan. Lalu penampakan struktur batu bata kuno yang
tertimbun tanah dan diperkirakan dari masa Kerajaan Majapahit di Sungai Mayang
Kecamatan Mayang, serta bekas bangunan perkampungan di Kuto Kedawung, Desa Paleran
Kecamatan Umbulsari. Penemuan di Kecamatan Mayang itu kemungkinan berhubungan dengan perjalanan tirtayatra Raja Hayam Wuruk. Seperti halnya
Situs Kuto Kedawung yang berhubungan
erat dengan Situs Beteng di Sidomekar Semboro, yang diperkirakan peninggalan
Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) raja terakhir Majapahit yang melarikan diri dari
serbuan tentara Demak.
Pada kurun waktu jauh sebelum Raden Tetep (nama kecil Hayam Wuruk)
mengadakan journey, ada beberapa
bukti “penampakan” lain dari hasil lelampah
para raja di Tanah Jawa. Di antaranya berupa prasasti berbentuk alat musik gong
yang ditemukan di areal tanaman jati (jatian) Dusun Kaliputih Rambipuji. Semula
batu itu diduga merupakan salah satu peninggalan manusia prasejarah sebagai
wahana ritual. Kemudian penggunaannya dilanjutkan pada masa Hindu oleh penguasa
atau raja yang datang ke sana. Ada torehan lima huruf Pallawa pada batu yang
berbunyi Parvvateswara, yang artinya
“Dewa Gunung” kronois dengan era
Kerajaan Kanjuruhan di Malang atau Mataram Lama di Pegunungan Dieng yaitu berkisar
tahun 650 – 750 Masehi.
Pada tahun 1933 Dr.
W.F. Stutterheim, seorang ahli purbakala Belanda yang getol mengamati situs
kuno di Jember melakukan observasi arkeologis terhadap keberadaan batu
tersebut. Hasilnya, aksara tersebut bisa dibaca sekaligus diketahui kekunoan (oudheidkundig) dari batu andesit. Sayang
informasi dari pakar asing tersebut tidak banyak membantu sejarawan lokal untuk
menguak lebih detail tabir di belakangnya.
Selain itu ditemukan juga prasasti di daerah lereng
Gunung Argopuro, tepatnya di Dusun Congapan Desa Karang Bayat Kecamatan
Sumberbaru. Prasasti yang diperkirakan lebih belakangan dari Situs Batu Gong itu
ber-candrasengkala 1088. Tulisan
Pallawa berbungi Tlah Sanak Pangilanku, yang
menunjukkan angka tahun. Menurut penulis kemungkinan merupakan peninggalan dari
penguasa yang sezaman dengan Kerajaan Kediri dari Dinasti Isyana (keturunan Mpu
Sindok) pada masa Raja Samarawijaya (Samarawijaya
Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa) yang hampir kronois dengan Prasasti Ranu Kumbala di tepi telaga Gunung Semeru.
Ketika penulis melacak jejak keberadaan situs tersebut yang berada di lereng
gunung dengan jalan terjal berbatu, besar kemungkinan merupakan tempat tirtayatra. Prasasti Congapan
diperkirakan tetenger dari tempat
pemujaan (ritual) terhadap Dewa Syiwa yang memuja Dewa Gunung (dilambangkan
dengan Mahameru di India). Dengan asumsi banyaknya tempat pemujaan dan candi
yang dibangun pada ketinggian (lereng gunung). Termasuk bekas peninggalan candi/pura
kuno di lereng Gunung Argopuro (Situs Dewi Rengganis dan Candi Kedaton) yang masih misterius dan percandian
di daerah Kecamatan Tiris (Probolinggo).
Merunut
jauh ke belakang sebelum lahirnya kerajaan-kerajaan Hindu - Budha di Jawa Timur,
kawasan Jember telah dihuni oleh nenek moyang dan penduduk asli yang hidup dengan berburu dan meramu (bercocok
tanam). Kehidupan food gathering dan food producing dengan pola kehidupan nomaden dan sedenter yang dibuktikan
dengan ditemukannya banyak artefak, ekofak di daerah Jember dan Bondowoso.
Alat-alat yang digunakan manusia purba tersebut sebagian masih tersimpan, namun
banyak yang beredar di tangan para kolektor barang antik.
Munculnya
peradaban Jember Lama diperkirakan pada era Palaeolitik
(Batu Tua), kemudian pada masa Neolitik
(Batu Muda) dengan peninggalan masa perundagian
yang berciri khas ciptaan bangunan Megalitik
yaitu bangunan yang terbuat dari batu-batu besar. Bangunan Megalitik berupa menhir, dolmen, sarkofagus, waruga, peti
kubur dan punden berundak-undak.
Benda-benda ini ternyata banyak terdapat di Situs
Seputih, Sumber Jeding, Desa Seputih Kecamatan Mayang berupa sarkofagus. Di daerah Situs Doplang di Desa Kamal dan Desa
Klanceng Kecamatan Arjasa ditemukan benda berupa menhir, dolmen dan batu
kenong . Di Dusun Srimo Kecamatan
Sukowono didapatkan juga benda-benda era Megalitik yang masih tetap terpelihara.
Selanjutnya dalam arsip penelitian kolonial
disebutkan juga tentang penemuan tulang belulang manusia prasejarah yang
diperkirakan nenek moyang Homo
Austro-Melanesoid di Goa Sodong, Gunung Watangan Kecamatan Puger yang
digali pada tahun 1935. Manusia Goa Sodong diperkirakan hidup sekitar 700.000
tahun lalu.
Temuan ini semakin menguatkan tentang fakta
sosial (social fact) keberadaan peradaban
Jember Lama yang sudah ada sejak masa nirleka
(sebelum ditemukan tulisan). Serta menegaskan tentang pendapat bahwa tempat
tinggal manusia prasejarah adalah di tepi pantai, goa-goa, dan lembah sungai. Di
daerah pantai domisili manusia prasejarah banyak menempati ceruk-ceruk bukit
kapur (karst) atau liang-liang goa yang terbentuk dari batu gamping akibat
terjadinya pengangkatan tektonik dan vulkanik sejak masa Miosen.
Teknik
penguburan di Gua Sodong identik dengan budaya Sampung-Pacitan dan pesisir
selatan yang menjadi hunian manusia prasejarahi. Selain itu banyak kesamaan
dengan penemuan arkeologi di daerah pesisir selatan Pulau Jawa utamanya di
Gunung Kidul Jogjakarta yang sudah di-ekskavasi yaitu di daerah Song Bentar dan Song Blendrong (Kompas –
Melacak Manusia Purba Gunung Kidul, 2009). Di dua tempat tersebut ditemukan
alat-alat seperti batu giling, beliung persegi, mata panah, tulang, peralatan
batu, tanduk dan serut kerang. Kemiripan lainnya dengan penemuan arkeologi di
Goa Lawa, Pegunungan Sewu yang berada di kawasan pegunungan pantai selatan.
Namun sayang sekali penelitian dan
ekskavasi di Goa Sodong tidak pernah dilanjutkan sejak peneliti Belanda
menemukan jejak-jejak prasejarah tersebut. Temuan itu diabadikan dalam rekam kamera foto yang
dibukukan dalam “Hybride, Voetsporen Aan
De Kim : Vijftien jaar als Amateur-Natuuronderzoeker in de Tropen,
Batavia-Centrum : N.V.G KOLFF & Co, 1938. Dengan demikian sudah saatnya
pemerintah daerah mengambil sikap proaktif untuk menindaklanjuti adanya
temuan-temuan arkeolog agar sejarah yang melatarbelakangi Jember tersingkap
sedikit demi sedikit.
Keterangan Foto : Situs Gondosari, Tamansari Wuluhan yang telah berubah jadi kolam. Konon di dasar kolam masih bisa dijumpai umpak bekas candi, artefak, dll. Sisa batu bata besar khas Majapahit sudah berserakan di sekitar Situs dan sebagian besar sudah lenyap dijarah.
Keterangan Foto : Situs Gondosari, Tamansari Wuluhan yang telah berubah jadi kolam. Konon di dasar kolam masih bisa dijumpai umpak bekas candi, artefak, dll. Sisa batu bata besar khas Majapahit sudah berserakan di sekitar Situs dan sebagian besar sudah lenyap dijarah.