Kode Iklan

Senin, 01 September 2014

REKONSTRUKSI HISTORISITAS JEMBER LAMA


Oleh : Zainollah, S.Pd
(Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)


Keterangan Foto : Prasasti Congapan, Karang Bayat Sumberbarudan Situs Doplang, Kamal  

Arjasa


        Di balik ironi sebuah kemustahilan bahwa Kabupaten Jember adalah kota yang masih bingung dalam me-rekonstruksi dan me-review sejarahnya sendiri, karena sudah terlanjur dilahirkan dengan “akte yang keliru” akibat kesalahan politis administrasi. Namun masih ada harapan dan peluang untuk merevisi "akte" tersebut dengan adanya beberapa temuan arkeologi berupa sumber-sumber tertulis maupun lisan yang dapat digunakan untuk menyingkap tabir misteri kesejarahan (historisitas) Jember.
     Dalam penentuan hari lahir kota yang dilakukan dengan cara ‘instan’ dan terkesan buru-buru dalam menggunakan Staatblad Nomer 322 tanggal 1 Januari 1929 sebenarnya tidak terlalu aneh. Karena sejarah Jember sebagai suatu entitas dan merupakan aspek integral dalam jati diri masyarakat kota ini telah di-introdusir sedemikian rupa menjadi salah satu instrumen yang dilekatkan pada kepentingan politik dan ideologi utamanya pada masa kolonial. Sehingga deskripsi tentang penentuan sejarah (hari lahir) Jember tetap dibuat kabur dan hampir tidak bisa ditelusuri, dimulai dari mana dan pada masa apa. Pembiaran ini tampaknya terjadi sampai era sekarang. Kita tidak menafikan atau mengingkari tentang sebuah eksistensi yang kuat dari kolonialis Belanda di Jember. Tetapi yang jadi substansi adalah bentuk ‘pengakuan’ kita pada eksistensi kolonial tersebut dan segala produknya khususnya di Jember. Sebuah bentuk kesalahan elementer yang tidak bisa ditolerir. Bukankah dalam Preambule UUD 1945 ditegaskan bahwa essensi kemerdekaan suatu bangsa adalah menentang dan tidak memberi ruang pada  penjajahan di manapun ?
     Wacana tentang historisitas Jember yang lama diperdebatkan telah terdistribusi selama ini menjadi terbatas pada penceritaan bagaimana kota Jember terbentuk dan kekuasaan administratif Jember sebagai kabupaten didirikan. Para ahli sejarah dan budayawan lokal bahkan peneliti kolonial tidak bisa berbuat banyak dalam memberikan kontribusi untuk menyingkap tabir sejarah Jember. Meskipun disebutkan beberapa peneliti dan arkeolog Belanda telah mengadakan eksplorasi atau observasi. Sebagaimana di kota-kota lain di Jawa, para sejarawan Belanda begitu intens mengadakan sigi dengan banyak melahirkan tulisan dalam bentuk historiografi yang kemudian dijadikan bahan rujukan. Namun secara holistik tidak pernah sampai pada suatu kesimpulan yang mengungkap dan menguak sejarah dan peradaban Jember lama. Hal ini dimungkinkan karena faktor keterbatasan sumber-sumber sejarah baik lisan maupun tulisan itu sendiri. Atau Belanda lebih terfokus dan asyik menikmati kekayaan alam perkebunan yang subur dan melimpah.
Kepentingan ekonomi yang melatarbelakangi imperialisme Belanda khususnya di wilayah Java Oosthoek dibarengi juga dengan ideologi dan politik. Wilayah timur yang sangat subur sebagai sentra perkebunan dan pertanian telah lama digenggam erat oleh pemodal asing (Belanda) sehingga akhirnya lebih menyisakan tulisan sejarah kolonial. Sehingga historiografi tentang keberadaan sebuah pemerintahan kuno, baik kerajaan Hindu, Budha dan kesultanan (Islam) tidak pernah ditemukan. Namun rekam jejak pengaruh peninggalan fisik (cagar budaya) dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa masih bisa ditelusuri. Meskipun kondisinya sebagian sudah tidak berbentuk lagi karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam meng-apresiasi nilai-nilai peninggalan sejarah.
    Sedangkan monumen (fisik materiil) berupa bangunan peninggalan kolonial Belanda, kalah dengan monumen “ mental-spirituil “ atau fakta mental (mental facts) yang ditinggalkan. Fakta mental bertalian dengan prilaku, perasaan batin, kerohanian yang mendasari suatu karya cipta. Kalau kita cermati bagaimana warisan tradisi kompeni ini masih tetap lekat pada stakehoulders komunitas perkebunan hingga sekarang. Seperti penggunaan istilah-istilah serta tata etika yang terkait dengan afdeling yang masih kental dan berbau feodalistik. Meskipun tidak bisa kita pungkiri itu bagian dari warisan budaya dan sejarah yang menunjukkan kecirikhasan Jember dibanding daerah lainnya.
     Sementara itu proses penjajahan Belanda yang panjang dengan tujuan mengeksploitasi sumber daya alam khususnya di Jember hampir tidak pernah mengalami hambatan dan rintangan dari rakyat. Kecuali perlawanan rakyat dalam perang kemerdekaan (revolusi fisik) tahun 1945-1949 dalam kerangka mempertahankan kedaulatan.
     Pada masa kekuasaan kaum kolonial di Jember sebelum kedatangan para kapitalis perkebunan, tatanan masyarakat yang primordial, solid dan komunal belum terbentuk, yang diharapkan melahirkan kepemimpinan yang kuat dengan kekuasaan yang terpusat. Setidaknya memunculkan rasa egalitarian dan solidaritas dalam menghadapi penindasan bangsa asing. Namun semangat kedaerahan itu tidak tampak karena belum ada faktor pemersatu seperti persamaan nasib dan kepentingan. Rakyat kala itu hanya menjadi subordinat dari kekuasaan Kerajaan Mataram dan Blambangan saat melawan VOC yang wilayahnya termasuk Jember (Blambangan barat).
        Menurut pendapat para ahli, masyarakat Jember terbentuk secara utuh dan ‘sistemik’ akibat dibukamya lahan perkebunan pada tahun 1860-an, yang kala itu membutuhkan sumber tenaga kerja murah. Sumber tenaga kerja ini kemudian banyak didatangkan dari Pulau Madura yang daerahnya gersang namun penduduknya memiliki etos kerja sangat tinggi. Komunitas imigran Madura ini kemudian banyak mendiami Jember bagian utara yang merupakan sentra perkebunan.
   Sedangkan komunitas pendatang dari wilayah kulon (Jawa) banyak berdomisili di wilayah Jember bagian selatan. Keberadaan masyarakat di wilayah Jember selatan berasal dari daerah Mataraman, yaitu Tulungagung, Ponorogo, Trenggalek, Blitar, Kediri dan sebagian Jawa Tengah. Gelombang migrasi itu  sebagian besar karena diakibatkan  perang dan konflik yang terus menerus di daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Baik itu perang suksesi kesultanan maupun perlawanan terhadap campur tangan hegemoni Belanda maupun Inggris. Selain itu faktor terpenting adalah daya tarik Jember sebagai kota industri perkebunan yang begitu berkembang pesat.
       Di tempat baru ini dua kultur kebudayaan yang berbeda akhirnya menyatu dalam proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan yang melahirkan budaya pendhalungan. Meskipun ada pendapat bahwa peleburan dua budaya ini tidak terjadi, karena mereka tetap dengan identitas etnis masing-masing. Kecuali dalam dialek bahasa percakapan sehari-hari masih banyak ditemukan. Sehingga kekhasan Jember sebagai “kota baru” tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkebunan itu sendiri yang menyebabkan para imigran berdatangan dan kemudian bermukim.
     Sementara di daerah pesisir pantai selatan tepatnya wilayah Puger sebelumnya telah dihuni oleh masyarakat suku pendatang dari Sulawesi yaitu suku Mandar dan Bugis (Makassar) yang merupakan etnis pelaut dan kebanyakan berdiam di kawasan pelabuhan dan pesisir.
  Menurut pendapat Tri Candra dalam makalah International Conference on Urban History, di Surabaya, August 2004, mengurai bahwa proses kapitalisasi oleh perusahaan perkebunan partikelir belanda di daerah Besuki (baca Jember) merupakan suatu penanda fase pertumbuhan dan berkembangnya secara nyata Jember sebagai kota. Pada titik inilah kemudian Jember lahir sebagai kota industri perkebunan. Ia adalah sebuah kota yang lahir dari sebuah proses modernisasi kota-kota Hindia Belanda, sebagai akibat dari sistem perusahaan bebas yang dianut sebagai prinsip umum ekonomi sejak masuknya kapital besar, periode akhir abad XIX. (Candra, Tri: 2004).
  Tak Jauh beda dengan Tri Candra, Edy Burhan Arifin menjelaskan sejarah perkembangan pesat peradaban Jember sebagai wilayah industri perkebunan ditentukan oleh semakin merebaknya perusahaan swasta belanda di wilayah Jember utara dan Jember tengah.
 Semenjak wilayah Java Oosthoek diserahkan oleh raja Mataram Sri Susuhunan Pakubuwono II kepada VOC pada tahun 1743 akibat ketidakberdayaannya melawan ‘kaum pemberontak’, maka wilayah yang kaya dengan sumber daya alam ini menjadi incaran negara-negara imperialis pesaing Belanda, yaitu Inggris dan Perancis. Hingga kedua negara bertetangga di Eropa itu terlibat perang lama dan panjang. Peperangan negara Inggris-Perancis yang terjadi di tahun 1803 – 1814 itu akhirnya tetap mengukuhkan Belanda sebagai penguasa di Hindia Belanda. Wilayah Java Oosthoek kembali dikuasai Belanda sebagai daerah sapi perahan dan pemasok bahan pokok terbesar. Jember sebagai kawasan bufferzone  yang relatif tidak bergolak, tetap menjadi ajang konflik kepentingan politik di masa itu. Kepentingan penjajah VOC untuk mencaplok wilayah Kerajaan Hindu Blambangan karena sangat potensial dengan alamnya yang kaya dan memiliki pelabuhan-pelabuhan yang ramai (Panarukan dan Ulupampang) telah menimbulkan perang teramat dahsyat (Puputan Bayu 1771-1772).
  Jember adalah salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Blambangan semenjak pemerintahan Prabu Tawang Alun. Daerah Kedawung di Jember pada masa perang Puputan Bayu adalah ibukota Kerajaan Blambangan di Segitiga Emas (Golden Triangle) yaitu Lamajang (Lumajang), Kedawung (Jember) dan Kuta Lateng (Banyuwangi). Tak pelak, wilayah Jember menjadi medan pertempuran sengit antara pasukan Blambangan dibantu laskar keturunan Untung Suropati (Pasuruan) melawan VOC. Basis pertahanan pasukan Blambangan yang dipimpin Wong Agung Wilis berada di Kedawung, dan benteng yang terakhir dipertahankan oleh panglima perang Blambangan Harya Lindu Segara berada di Pulau Nusa Barong (Puger). Sebagaimana yang ditulis oleh sejawaran Dr. I Made Sudjana, MA dalam salah satu bukunya (Nagari Tawon Madu, Sejarah Poltik Blambangan Abad 18 : 2001).
    Selanjutnya Pulau Nusa Barong menjadi basis perlawanan para pejuang di wilayah selatan Jember. Muncul nama-nama tokoh perlawanan seperti Sindu Bromo, Sindu Kopo, Juragan Jani dan para “lanun” dari Bugis serta Mandar yang menunjukkan kegigihannya dalam melawan penjajah Belanda. Disebutkan bahwa bekas-bekas peralatan perang itu masih ditemukan di pulau tersebut.
    Tanah Jember yang sangat subur, dengan relief yang didominasi dataran rendah yang terhampar luas sangat potensial untuk lahan perkebunan dan pertanian. Sehingga  bermunculanlah para investor asing datang ke wilayah ini atas peluang dari kebijakan “Politik Pintu Terbuka” (De Open Deur Beleid) Belanda yang diperjuangkan kaum liberalis dan humanitaris.
Pembukaan lahan perkebunan di Jember yang dimulai sekitar tahun 1800-an dan mencapai puncaknya pada masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di tahun 1860. Suatu sistem untuk mencari keuntungan besar (batig slot)  yang dicetuskan oleh Johannes van Den Bosch. Daerah baru ini kemudian telah disulap menjadi ladang “emas hijau” yang banyak memberikan kontribusi kemakmuran kaum penjajah semenjak kebangkrutan bangsa itu akibat Perang Jawa (Perang Diponegoro 1825 – 1830). Dampak dari perang akbar itu telah menguras pundi-pundi Gulden Belanda selama bertahun-tahun.
Rentang waktu penjajahan yang cukup lama dengan menjadikan Jember daerah yang “tidak bertuan” dan praktis hanya diperintah oleh para adipati yang dipilih serta tunduk pada  Belanda, menyisakan pemikiran bahwa sejarah kota itu adalah bentukan kolonial. Bukti-bukti tentang peninggalan purbakala dan masa kerajaan Hindu-Budha serta Islam hanya dianggap aksesoris saja dan tidak banyak memberikan peranan sebagai pengungkap sejarah yang sebenarnya. Memang, dibanding daerah lain Jember sangat minim monumen-monumen bersejarah. Kalaupun itu ada, peninggalan dan situs bangunan bersejarah sudah hamper rata dengan tanah, utamanya peninggalan masa kerajaan. Beberapa peninggalan cagar budaya dan sejarah yang sudah tidak berbentuk lagi adalah Situs Beteng di Sidomekar Kecamatan Semboro Tanggul, Candi Deres di Purwoasri Kecamatan Gumukmas, Situs Gondosari di Kecamatan Wuluhan, dan lain-lainnya.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan tentang peradaban Jember Lama pada era kerajaan Hindu-Budha dengan bekas bangunan candi, prasasti dan petirtaan dan benteng  di beberapa wilayah. Seperti Kerajaan Majapahit Kulon yang berpusat di Trowulan masih menyisakan beberapa tapak situs. Sedangkan Kerajaan Majapahit Wetan di Blambangan atau Lamajang tidak menyisakan situs utuh yang bisa dikenali selain berupa artefak dan sumber tertulis serta tidak tertulis (babad, prasasti, folklore dan folktale). Salah satu  keterangan tentang keberadaan sebuah kerajaan di Jember pernah ditulis oleh beberapa ahli sejarah. 
Menurut Drs. Dasuki Nur, seorang sejarawan Banyuwangi (Lintasan Sejarah Blambangan, 2002 : 12). Kerajaan Blambangan di masa munculnya Raja Mas Kembar (Prabu Mas Tanpo Uno) setelah menetap lama di Bali telah menggugah kembali semangat rakyat Blambangan yang hampir padam. Sebelum penyerangan pasukan Mataram terakhir ia lebih berhati-hati dalam menyusun siasat. Kali ini Mas Kembar berpikir dan bersiasat lebih strategis praktis. Dipindahkannyalah pusat pemerintahannya ke Kedawung (Jember), dan bergelar Pangeran Kedawung. Kejadian ini sekitar tahun 1651 – 1655 (C.Lekkerkerker).  
Disebutkan juga dalam kisah Babad Tawang Alun (anonim), Bahwa dalam perjalanan tahun ke tahun kekuasaannya nampak kehidupan rakyatnya bertambah baik. Muncullah kemudian generasi-generasi dari Pangeram Kedawung yaitu dengan putera sulungnya Raden Mas Tawang Alun (1645 – 1691), Mas Wila, Mas Ayu Tanjung Sekar, Mas Ayu Melok dan Mas Ayu Gringsing Retna.
Dari informasi di atas, tidak pernah disebutkan tentang lokasi dan keberadaan bekas-bekas peninggalan situs keraton di Kedawung Jember. Karena di Jember ada beberapa nama tempat yang bernama Kedawung. Praktis hingga kini keberadaan situs peninggalannya tidak pernah ditemukan, kecuali nama Prabu Tawang Alun telah diabadikan pada sebuah terminal yang berada di Kecamatan Rambipuji.
       Agaknya kita kembali harus memeras otak dan mandi keringat untuk menyingkap semua berbagai sumber sejarah. Penulis dari tim Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu dengan segala keterbatasan pengetahuan dan referensi lebih banyak berpedoman pada buku babon Negarakretagama (Desawarnana) dan Pararaton serta beberapa Babad yang terpisah (parsial). Sumber-sumber tertulis boleh dikata tidak ada yang mengungkap kegiatan pembangunan candi dan penulisan prasasti yang berada di Jember.
     Pada era Kerajaan Majapahit (tahun 1331 Masehi) di daerah Sadeng (sekarang diperkirakan Dusun Sadengan-Grenden Puger) telah ada masyarakat dengan sistem pemerintahan berupa sebuah kadipaten atau kerajaan kecil. Wilayah yang disebut Sadeng itu pernah "memberontak" pada Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1351), yang kemudian ditumpas oleh Ra Kembar dan Gajah Mada bersamaan dengan pemberontakan Keta di Panarukan (Situbondo). Peristiwa itupun kesulitan untuk disingkap fakta sejarahnya  karena tidak ditemukan bekas-bekas peninggalan sejarah di sana.
     Kemudian dalam pupuh 22 kitab Kakawin Nagarakretagama disebutkan bahwa beberapa daerah di Jember telah mendapat kunjungan Prabu Hayam Wuruk dalam lawatannya (tirtayatra) ke wilayah Lamajang (Lumajang) dan Tigang Juru.
Dengan begitu ternyata sangat banyak di wilayah Jember tempat-tempat yang disinggahi oleh Raja Majapahit, sehingga ada kesimpulan bahwa penguasa itu punya perhatian dan ketertarikan luar biasa pada alam di kawasan Jember.
Wilayah Jember tampaknya telah dijadikan semacam tempat tetirah dari Sang Prabu untuk menenangkan diri dari berbagai masalah pelik yang melanda pusat. Persoalan kegagalan mendapatkan calon permaisuri Dewi Citraresmi Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pajajaran yang lampus (bunuh diri) pada peristiwa Perang Bubat di tahun saka Sanga Turangga Paksowani (1353 Masehi) membuatnya depresi. Sehingga atas saran dan masukan dari dewan Bhattara Saptaprabhu atau Pahom Narendra, Hayam Wuruk dianjurkan melakukan perjalanan "tamasya" sembari melaksanakan ritual dengan puja puji kepada para dewa.
Sangat memungkinkan kemudian bila di tempat itu dibangun beberapa pesanggrahan, petirtaan dan percandian di wilayah yang didatangi. Tujuan dibangunnya tempat berupa candi, petirtaan dan sebagainya sebagai wujud penghormatan raja Majapahit kepada para leluhurnya.
Alam kawasan Jember yang eksotis karena didukung oleh iklim tropis basah menyebabkan daerah ini mempunyai hutan lebat dan pemandangan indah.  Keadaan topografinya yang tidak terlalu ekstrim memudahkan perjalanan berkuda atau kereta pada masa itu.
Beberapa tempat di daerah Jember telah menunjukkan keberadaan situs bersejarah yang masih menjadi misteri serta legenda dan cerita rakyat (folklore dan folktale). Misalnya keberadaan Situs Gondosari di Tamansari (Wuluhan), penemuan artefak (manik-manik, gerabah, dll) serta tulang belulang di Dusun Ampel Krajan Desa Ampel Kecamatan Wuluhan. Lalu penampakan struktur batu bata kuno yang tertimbun tanah dan diperkirakan dari masa Kerajaan Majapahit di Sungai Mayang Kecamatan Mayang, serta bekas bangunan perkampungan di Kuto Kedawung, Desa Paleran Kecamatan Umbulsari. Penemuan di Kecamatan Mayang  itu kemungkinan berhubungan dengan perjalanan tirtayatra Raja Hayam Wuruk. Seperti halnya Situs Kuto Kedawung yang berhubungan erat dengan Situs Beteng di Sidomekar Semboro, yang diperkirakan peninggalan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) raja terakhir Majapahit yang melarikan diri dari serbuan tentara Demak.
      Pada kurun waktu jauh sebelum Raden Tetep (nama kecil Hayam Wuruk) mengadakan journey, ada beberapa bukti “penampakan” lain dari hasil lelampah para raja di Tanah Jawa. Di antaranya berupa prasasti berbentuk alat musik gong yang ditemukan di areal tanaman jati (jatian) Dusun Kaliputih Rambipuji. Semula batu itu diduga merupakan salah satu peninggalan manusia prasejarah sebagai wahana ritual. Kemudian penggunaannya dilanjutkan pada masa Hindu oleh penguasa atau raja yang datang ke sana. Ada torehan lima huruf Pallawa pada batu yang berbunyi Parvvateswara, yang artinya “Dewa Gunung” kronois dengan era Kerajaan Kanjuruhan di Malang atau Mataram Lama di Pegunungan Dieng yaitu berkisar tahun 650 – 750 Masehi.
Pada tahun 1933 Dr. W.F. Stutterheim, seorang ahli purbakala Belanda yang getol mengamati situs kuno di Jember melakukan observasi arkeologis terhadap keberadaan batu tersebut. Hasilnya, aksara tersebut bisa dibaca sekaligus diketahui kekunoan (oudheidkundig) dari batu andesit. Sayang informasi dari pakar asing tersebut tidak banyak membantu sejarawan lokal untuk menguak lebih detail tabir di belakangnya.
Selain itu ditemukan juga prasasti di daerah lereng Gunung Argopuro, tepatnya di Dusun Congapan Desa Karang Bayat Kecamatan Sumberbaru. Prasasti yang diperkirakan lebih belakangan dari Situs Batu Gong itu ber-candrasengkala 1088. Tulisan Pallawa berbungi Tlah Sanak Pangilanku, yang menunjukkan angka tahun. Menurut penulis kemungkinan merupakan peninggalan dari penguasa yang sezaman dengan Kerajaan Kediri dari Dinasti Isyana (keturunan Mpu Sindok) pada masa Raja Samarawijaya (Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa) yang hampir kronois dengan Prasasti Ranu Kumbala di tepi telaga Gunung Semeru. Ketika penulis melacak jejak keberadaan situs tersebut yang berada di lereng gunung dengan jalan terjal berbatu, besar kemungkinan merupakan tempat tirtayatra. Prasasti Congapan diperkirakan tetenger dari tempat pemujaan (ritual) terhadap Dewa Syiwa yang memuja Dewa Gunung (dilambangkan dengan Mahameru di India). Dengan asumsi banyaknya tempat pemujaan dan candi yang dibangun pada ketinggian (lereng gunung). Termasuk bekas peninggalan candi/pura kuno di lereng Gunung Argopuro (Situs Dewi Rengganis dan Candi Kedaton) yang masih misterius dan percandian di daerah Kecamatan Tiris (Probolinggo).
        Merunut jauh ke belakang sebelum lahirnya kerajaan-kerajaan Hindu - Budha di Jawa Timur, kawasan Jember telah dihuni oleh nenek moyang dan penduduk asli yang  hidup dengan berburu dan meramu (bercocok tanam). Kehidupan food gathering dan food producing dengan pola kehidupan nomaden dan sedenter  yang dibuktikan dengan ditemukannya banyak artefak, ekofak di daerah Jember dan Bondowoso. Alat-alat yang digunakan manusia purba tersebut sebagian masih tersimpan, namun banyak yang beredar di tangan para kolektor barang antik.
        Munculnya peradaban Jember Lama diperkirakan pada era Palaeolitik (Batu Tua), kemudian pada masa Neolitik (Batu Muda) dengan peninggalan masa perundagian yang berciri khas ciptaan bangunan Megalitik yaitu bangunan yang terbuat dari batu-batu besar. Bangunan Megalitik berupa menhir, dolmen, sarkofagus, waruga, peti kubur dan punden berundak-undak. Benda-benda ini ternyata banyak terdapat di Situs Seputih, Sumber Jeding, Desa Seputih Kecamatan Mayang berupa sarkofagus. Di daerah Situs Doplang di Desa Kamal dan Desa Klanceng Kecamatan Arjasa ditemukan benda berupa menhir, dolmen dan batu kenong . Di Dusun Srimo Kecamatan Sukowono didapatkan juga benda-benda era Megalitik yang masih tetap terpelihara.
        Selanjutnya dalam arsip penelitian kolonial disebutkan juga tentang penemuan tulang belulang manusia prasejarah yang diperkirakan nenek moyang Homo Austro-Melanesoid di Goa Sodong, Gunung Watangan Kecamatan Puger yang digali pada tahun 1935. Manusia Goa Sodong diperkirakan hidup sekitar 700.000 tahun lalu.
Temuan ini semakin menguatkan tentang fakta sosial (social fact) keberadaan peradaban Jember Lama yang sudah ada sejak masa nirleka (sebelum ditemukan tulisan). Serta menegaskan tentang pendapat bahwa tempat tinggal manusia prasejarah adalah di tepi pantai, goa-goa, dan lembah sungai. Di daerah pantai domisili manusia prasejarah banyak menempati ceruk-ceruk bukit kapur (karst) atau liang-liang goa yang terbentuk dari batu gamping akibat terjadinya pengangkatan tektonik dan vulkanik sejak masa Miosen.
     Teknik penguburan di Gua Sodong identik dengan budaya Sampung-Pacitan dan pesisir selatan yang menjadi hunian manusia prasejarahi. Selain itu banyak kesamaan dengan penemuan arkeologi di daerah pesisir selatan Pulau Jawa utamanya di Gunung Kidul Jogjakarta yang sudah di-ekskavasi yaitu di daerah Song Bentar dan Song Blendrong (Kompas – Melacak Manusia Purba Gunung Kidul, 2009). Di dua tempat tersebut ditemukan alat-alat seperti batu giling, beliung persegi, mata panah, tulang, peralatan batu, tanduk dan serut kerang. Kemiripan lainnya dengan penemuan arkeologi di Goa Lawa, Pegunungan Sewu yang berada di kawasan pegunungan pantai selatan.
       Namun sayang sekali penelitian dan ekskavasi di Goa Sodong tidak pernah dilanjutkan sejak peneliti Belanda menemukan jejak-jejak prasejarah tersebut. Temuan itu  diabadikan dalam rekam kamera foto yang dibukukan dalam “Hybride, Voetsporen Aan De Kim : Vijftien jaar als Amateur-Natuuronderzoeker in de Tropen, Batavia-Centrum : N.V.G KOLFF & Co, 1938. Dengan demikian sudah saatnya pemerintah daerah mengambil sikap proaktif untuk menindaklanjuti adanya temuan-temuan arkeolog agar sejarah yang melatarbelakangi Jember tersingkap sedikit demi sedikit.

Keterangan Foto : Situs Gondosari, Tamansari Wuluhan yang telah berubah jadi kolam. Konon di dasar kolam masih bisa dijumpai umpak bekas candi, artefak, dll. Sisa batu bata besar khas Majapahit sudah berserakan di sekitar Situs dan sebagian besar sudah lenyap dijarah.

Minggu, 04 Mei 2014

SYEKH H. MOHAMMAD NOER : 9 Tahun Melakukan Kholwah Suluk Mujahadah


        
Biografi Bagian - 3
Disusun oleh : Zainollah, S.Pd (Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)

    Ada lagi hal aneh yang beliau katakan, yaitu tatkala dzikir setiap masuk dan keluarnya nafas dalam sehari semalam sebanyak 124.000 selama 7 (tujuh) hari, dan tidak tahu pasti entah kalimah yang mana. Terus beliau berjalan melalui alam mulki, alam malakut, alam jabarut, alam barzakh, alam akhirat, dan alam amar, yang kala itu waktu pingsan. Lalu para santri yang alim berilmu secara bersama membuka kitab tasawwuf tentang mujahadah bagaimana metodenya bisa sampai dan mencapai tingkatan ‘auliya’, lalu dicocokkan dengan perjalanan wali quthub yang terdahulu. Tapi karena belum ada saksi (syahid) yang mengetahui, maka para sahabat dan santri belum berani mengatakan jika Syekh Haji Mohammad Noer sudah mencapai derajat Wali Quthub.
    Syekh Haji Mohammad Noer telah melaksanakan suluk kholwah mujahadah selama 9 (sembilan) tahun. Tepatnya pada hari Jum’at tanggal 26 Maulid tahun 1339 Hijriyah (tahun 1919), beliau mengalami pingsan selama 1 jam 45 menit. Inilah yang dinamakan wushul (sampai) kepada Robbul ‘Izzati, Dzat yang Maha Pemenang.
Maqom seperti inilah yang dinamakan maqom ma’rifah musyahadah bil ayani, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Kifaayatul Adzkiya’ pada bait ke-8 yaitu :
   “Hakekat ialah sampainya salik kepada yang dituju dan bersaksi (melihat) akan adanya Nur Tajalli (Allah), melihatnya dengan jelas, dan itulah nikmat yang paling agung”.
   Selanjutnya disebutkan dalam Kitab Al-Hikam pada halaman 74 yang menjelaskan  bahwa pingsannya beliau selama 1 jam 45 menit dinamakan “Salikina” atau “Majdubina”. Para hamba Allah SWT yang sudah wushul (sampai) kepada Allah dibagi menjadi 2 bagian.
   Pertama yang dinamakan dengan  Salikiin, yaitu ialah mereka yang mengambil dalil setelah melihat suatu kekuasaan Allah, dan mereka berkata,“Saya melihat Allah SWT sesudah saya melihat sesuatu kekuasaan Allah”.
     Kedua yang dinamakan Majdubiin, yaitu mereka yang mengambil dalil sebelum melihat sesuatu kekuasaan Allah dan mereka berkata, “Saya melihat Allah SWT.sebelum saya melihat sesuatu kekuasaan Allah”.
Kemudian para ulama dan para santri yang alim-alim membuka kitab tasawwuf tentang mujahadah sampai mencapai ‘auliya. Hal itu dicocokkan dengan perjalanan Syekh Haji Mohammad Noer yang ternyata sama dengan perjalanan para auliya’ quthub yang terdahulu, tapi karena belum ada syahid (saksi yang kuat), maka para sahabat dan santrinya belum berani mengatakan jika beliau sudah mencapai derajat wali quthub. Para ulama yang bersangkutan memberikan klasifikasi tingkatan iman sebagai berikut :
   1. Iman orang mukmin sewaktu masih ulama yang imannya yaqiin. 2. Kalau mujahadah Syekh Haji Mohammad Noer pada masa 6 (enam) tahun itu maqom muraqabah dan imannya ‘ainul yaqiin dan suluknya dinamakan Suluk Abrar. 3. Pada masa 3 (tiga) tahun disebut maqam musyahadah dan imannya haqqul yaqiin dan suluknya Suluk Muqarrobin. 4. Setelah Inkisyaf namanya maqam istighraq dan imannya dinamakan haqiiqatul yaqiin. Yang dimaksud dengan istighraq fana artinya ialah telah hilang sifat madzmumah (tercela), lalu istighraq baqa’ artinya adalah telah menetapnya sifat mahmudah (terpuji) yang sudah smpai di hadapan Allah SWT karena terbawa kalimat thoyyibah. Amal sholeh telah sampai di alam amar yaitu alam yang tidak ngalaf jihat (arah) utara, barat, selatan dan timur serta seterusnya karena Allah SWT itu ngalaf arah, tidak ngalaf tempat ruang dan waktu.
Kalimat thoyyibah dan amal sholeh beliau naik dengan membawa 4 (empat) ruh sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an :
 “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang sholeh menaikkan-Nya”.

1.      Ruh Robbani 
2.      Ruh Rohani  
3.      Ruh Idhofi  
4.      Ruh Jasmani

"Dan apabila mereka bertanya 
kepadamu tentang ruh, katakanlah
(bahwa) ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentang ruh) melainkan sedikit “.

        Selanjutnya tidak ketinggalan Syekh Haji Mohammad Noer mengatakan kepada Kiai Abdul Hadi Shiratol Mustaqim sebagai berikut :
   “Hai, Abdul Hadi, inilah ilmu ilham, tulislah alif, dza’, dal (1 - 7- 4) dan seterusnya”. Beliau mengatakan itu jelas berada di Lauhul Mahfudz dengan memakai angka alif, dza’, dal yang mempunyai makna :
·                      1  Artinya Gusti Allah yang Maha Esa atau Tunggal.
  7  Artinya sifat Allah yang ma’ani yang ada 7 (tujuh) yaitu Kodrat, Irodat, ‘Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam
  4  Artinya fi’il Gusti Allah yang ada 4 (empat) yaitu Jisim, Jirim, Jauhar, dan ‘Arodh. Karena Ruh Robbani-Nya beliau melihat Nur Tajalli atau Allah SWT dengan nyata, maka beliau senantiasa :
1.      Rino wengi (siang dan malam) cinta kepada Allah SWT.
2.    Rino wengi (siang dan malam) senang kepada Allah SWT.
3.     Rino wengi (siang dan malam) rindu kepada Allah SWT.
       Ibarat orang yang layaknya bepergian yang datang membawa buah tangan, sama halnya dengan orang yang pergi menuntut ilmu tentu pulang membawa ilmu, bahkan orang yang pergi undangan walimahan (pernikahan) pulangnya membawa nasi berkat. Apalagi orang yang menghadap Yang Maha Rahman oleh-olehnya tentu sangat istimewa.
Setelah beliau wushul (sampai) pada Allah SWT Syekh Haji Mohammad Noer melaksanakan Suluk Mujahadah selama 9 (sembilan) tahun dengan oleh-oleh Ilmu Mukashafah atau Ilmu Ilham yang berupa :


13
3
3
4
3
7
3
14
4
5

15
6
15
6
4
8
4
3
30
50

  Oleh-oleh atau “berkat” tersebut merupakan tulisan dengan cara ringkas dari beratus-ratus kalimat, beribu-ribu huruf yang diringkas hanya seperti itu dan beliau mengatakan harus diamalkan dan dibaca dengan artinya sekali. Misalnya angka 3 (tiga) dibaca dengan maknanya atau 5 (lima) juga harus berbunyi 5 (lima) dengan maknanya sekali. Dan ini tugas dari yang memberi yaitu Syekh Haji Mohammad Noer, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 79 yang artinya :
      “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”
    Adapun Ilmu Mukashafah atau Ilmu Ilham tersebut telah tersusun menjadi sebuah buku yang dinamakan “ Bait Dua Belas “. Pada setiap tahun tanggal 26 Maulid selalu diadakan peringatan turunnya karomah dan wafatnya (khoul) beliau.
    Ada sebuah kisah menarik yaitu seorang ahli wirid di Mekkah Al-Mukarromah yang bernama Sayyid Hasan. Dikisahkan tatkala beliau suntuk i’tikaf di bawah Talang Mas di Baitullah dengan memohon petunjuk kepada Allah SWT sehubungan dengan banyaknya berbagai aliran agama, dan aliran manakah yang akan diikutinya. Maka selanjutnya Sayyid Hasan bermimpi dijumpai Rasulullah SAW bersama seseorang yang mengikuti di belakangnya sampai begitu jelas rupanya, tubuhnya, pakaiannya, tempat tinggalnya, kolamnya yaitu ternyata Syekh Haji Mohammad Noer.
Lalu Rasulullah SAW berkata sambil menunjuk kepada orang yang mengikutinya.
    “Ya, ini zaman yang haq kamu ikuti, dan orang inilah yang harus kamu cari di Tanah Jawa – Indonesia”. Lalu Sayyid Hasan-pun terbangun.
Sesudah itu kemudian Sayyid Hasan lalu bermusyawarah dengan Sayyid Abdurrahman, dan menyampaikan tentang mimpinya yang berjumpa dengan Rasulullah SAW.
Sayyid Abdurrahman mengatakan wajib mencari dan mendatangi orang itu serta memperhatikan (ucapannya). Kemudian juga wajib pasrah kepada orang itu karena merupakan hak dari wali quthubul ghouts.
    Maka kemudian berkemaslah Sayyid Hasan untuk berangkat menuju Indonesia bersama dengan Sayyid Abdurrahman. Sampai di Surabaya beliau istirahat di rumah saudaranya yang juga berasal dari Mekkah, dengan memberikan penjelasan tentang mimpinya. Sayyid Hasan juga mendengar kabar bahwa di Desa Kemuningsari Lor Panti Jember ada seorang Kiai yang baru terbuka karomah-nya. Maka Sayyid Hasan segera bergegas berangkat menuju arah timur ke tempat yang bernama Desa Kemuningsari Lor untuk membuktikan.
     Sampai di Desa Kemuningsari Lor, begitu masuk persis dan pas seperti apa yang tergambar dalam mimpinya ketika di bawah Talang Mas (Baitullah).
Kebetulan waktu itu Syekh Haji Mohammad Noer sedang keluar dari mesjid, lalu menengok ke arah selatan terlihatlah Sayyid Hasan dan Sayyid Abdurrahman yang sedang berada di bawah pohon mangga (kuweni) yang terletak di sebelah selatan kolam.
Kebetulan pada waktu itu di rumah beliau banyak tamu yang datang, maklumlah beliau sudah sangat kesohor di mana-mana. Bahkan banyak yang menyangka beliau adalah seorang dukun atau klenik.
Setelah kedua tamu itu sampai di muka mesjid dan beliau turun menyambut, maka kedua tamu jauh itu memberi salam. Beliaupun menjawab serta mengucapkan kalimat “Marhaban, marhaban bil akhissholih”. Kemudian mereka berdua bersalaman dan sang tamu asing itu merangkul dengan akrab sambil mengatakan “Hadza maulanal waliyyus syahiiru wal quthbul kabiir”, sambil masuk ke dalam rumah.
    Dengan peristiwa itu Sayyid Hasan yang mengetahuinya dan para ulama yang bertamu di Pesantren Kemuningsari Lor juga ikut menyaksikan, maka selanjutnya para ulama dan para santri yang alim bersama-sama membuka kitab tentang auliya’. Ternyata Syekh Haji Mohammad Noer dengan memulai khalwah suluk mujahadah sama persis dengan methode  para wali quthub auliya’yang terdahalu.
Kemudian para ulama yang ada di pondok berani mengatakan dan menyimpulkan hak 'Wali Quthubul Ghouts,' karena fenomena itu memberikan tanda dan isyarat yang tepat. Lalu para santri bersama-sama dengan berani menulis dan mengatakan quthubul ghouts.
     Oleh karena itu tidak mudah untuk mengatakan waliyullah, bahkan kalau tidak hati-hati akan menyimpang dari Kitab Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ tentang auliya’.
Juga perlu untuk diteliti dan dicocokkan dengan asal mula orang yang sudah dikatakan sebagai wali seperti yang pernah dibahas, karena masalah turunnya kewalian seperti dalam Bait Dua Belas pada Kitab Fathul Arifina Billah menyebutkan tentang sifat-sifat auliya’ ada sebelas yaitu kekasih Allah, terpelihara dari perbuatan maksiat, berserah diri pada Allah, berbakti pada Allah dengan tidak putus-putus, memastikan akan adanya dzat Allah, tahu sifat Allah, tahu fi’il Allah, tahu nama-nama Allah, mengikuti ajaran Rasulullah, dan  semua yang terjadi di dunia diberi tahu oleh Allah.
  Setelah peristiwa kedatangan dua orang ulama dan mursyid dari Mekkah yang kemudian memberikan kesaksian, maka para alim ulama dan para santri telah berani mengambil keputusan dan kesimpulan dengan menyatakan secara tertulis bahwa Syekh Haji Mohammad Noer adalah seorang wali dengan derajat Quthubul Ghouts yang memperoleh karomah Bait Dua Belas.
Sehingga dengan adanya pernyataan secara terbuka inilah menyebabkan terjadinya pro dan kontra serta opini yang ditanggapi secara beragam. Ada yang mengatakan bahwa faham yang dibawa Syekh Haji Mohammad Noer adalah sesat dan dianggap kontroversial. Bahkan ada yang langsung mengikuti pengajian beliau dengan mengkaji Bait Dua Belas.   
    Munculnya dua pendapat yang saling bertentangan dan menjurus pada polemik berkepanjangan menyebabkan perdebatan yang berujung pada ketegangan (mujadalah) termasuk di kalangan ulama sendiri. Untuk menghindari ketegangan itu dicarilah solusi yang diprakarsai oleh KH. Muzayyin Rambipuji dan KH. Wahab Hasbullah Surabaya (Pengurus PBNU) dengan mengundang dialog Syekh Haji Mohammad Noer guna mengklarifikasi (tabayyun) tentang ajarannya.
        Acara dilaksanakan pada tahun 1933 di Kantor Kawedanan Rambipuji Jember yang pada waktu itu Said Hidayat menjabat sebagai Wedana. Sidang dimulai pada pukul 08.00 pagi yang disaksikan juga oleh Kontaralir/Bupati Jember dan 173 ulama dari berbagai daerah di Pulau Jawa.
Pada pembukaan sidang yang langsung dipimpin oleh Kontarolir Jember (istilah untuk Bupati kala itu) telah disampaikan perkataan seperti berikut.
     “Saudara Kiai, anda diminta untuk menjelaskan ajaran dalam kitab Bait Dua Belas. Kalau saudara ternyata tidak mampu memberikan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan, maka saudara tidak boleh lagi mengajarkan kitab itu, atau akan kami musnahkan”.
     Dalam sidang tersebut Syekh Haji Mohammad Noer dapat menjelaskan semua pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan sangat jelas, lugas dan meyakinkan. Sehingga sidang memutuskan bahwa ajaran beliau tidak bertentangan dengan syara’ maupun sunnah Rasulullah SAW.
     Setelah “pengadilan” itu usai, Syekh Haji Mohammad Noer pulang kembali ke rumahnya dengan diantar oleh Wedana Rambipuji Said Hidayat dan tiba pukul 18.00.
Sebelum beliau tiba kembali keluarga di rumah, para sahabat dan para santri merasa khawatir sekali karena orang yang mengantar beliau naik dokar yaitu Pak Sadeli telah pulang terlebih dahulu pada pukul 10.00 siang. Kemudian beliau ditunggu mulai habis sholat Dzuhur sampai dengan habis sholat Ashar juga tidak kunjung tiba, sehingga semua yang menunggu jadi was-was.
semuanya berjalan dengan lancar dan pengajian Bait Dua Belas tidak dipermasalahkan.
     Sementara itu klarifikasi (tabayyun)  dan dialog tentang kitab 'Bait Dua Belas' bergulir terus karena disebabkan oleh 3 (tiga) hal yaitu bahasanya yang unik, model sistem bacaannya, dan predikat sebagai ilmu ilham.
Adapun kemudian klarifikasi dan dialog terjadi lagi yaitu di Banyuwangi antara Kiai Imam Puro (sahabat beliau) dengan beberapa ratus kiai dan ulama. 
      Peristiwa spiritual yang dilanjutkan dengan tabayyun tersebut disampaikan oleh KH. Abdul Hadi  Shiratol Mustaqim selaku sekretaris beliau, yang kemudian dipanggil ke Jakarta oleh pejabat Menteri Agama dan Ajudan Presiden Bapak   Soegandhi di Jakarta pada tahun 1961. Klarifikasi ini merupakan puncak dari perdebatan dan opini karena Menteri Agama RI telah menerbitkan sertifikat dan rekomendasi tentang keabsahannya yang terdaftar di  Departemen Agama RI Bagian “K” Kepala Seksi IV pada tanggal 14 Pebruari 1961 sebagai Keluarga Besar Arifin Billah dengan Ilmu Mukashafah yang diberi nama Bait Dua Belas.
    Setiap hamba atau manusia yang dikasihi oleh Allah SWT diberi keistimewaan–keistimewaan yang berbeda tergantung pada tingkat keimanan dan ketaqwaan, serta amal ibadah dan amal sholeh juga tingkat kesabaran dan keikhlasannya.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut  yang diberikan oleh Allah SWT. kepada hamba-Nya yang dikasihi, sehingga akal manusia tidak mampu untuk memikirnya. Di antaranya adalah para Nabi yang diberi mukjizat, para wali oleh Allah yang diberi karomah, para ulama yang diberi ma’unah dan para orang awam yang diberi assidqu (keterampilan dan kelebihan).
       Adapun pengertian karomah dalam Kitab Ushul Auliya’ halaman 160 disebutkan :
    “Dan adapun beberapa para wali adalah suatu anugerah atau kemuliaan dari Allah Ta’ala memberikan sesuatu yang luar biasa dan menyimpang dari adat kebiasaan”.
      Tentang terjadinya karomah pada seorang wali adalah bersifat jaiz, namun bagi para ahli ilmu dan ahli ma’rifat dapat dibuktikan guna membedakan antara wali yang benar dengan orang-orang yang mengaku-ngaku (pembohong) dan telah mengetahui (ma’rifat) kepada Allah SWT.
      Adapun beberapa karomah Syekh Haji Mohammad Noer antara lain :
1. Kemampuan dapat menjalankan ibadah sholat berjamaah pada awal waktu sampai akhir hayatnya.
2.   Dapat mengetahui hal-hal yang disembunyikan oleh seseorang.
3. Terbukanya kalam nafsi bumi dan seisinya sehingga mengerti bahasa semua binatang, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan di awal.
4.  Mengetahui saat masuknya waktu-waktu sholat fardhu 5 waktu maupun sholat sunnah karena waktu itu sendiri yang akan memberitahukan. Misalnya sholat fardhu seperti waktu dhuhur, “Assalamu’alaikum saya adalah dhuhur”. Begitu juga sholat sunnah waktu tahajjud “Assalamu ‘alaikum saya adalah tahajjud” dan lain-lainya.
Maka beliau tidak menggunakan jadwal waktu sholat atau jam karena waktunya datang sendiri untuk memberitahukan.
5.   Suatu kisah pada waktu musim kopi tiba, banyak orang kampung yang menjual kopi hasil panen kepada Nyai Munirah (istri Syekh Haji Mohammad Noer). Hingga suatu saat sampai mencapai 9 karung banyaknya. Karena banyaknya kopi yang dibeli dari masyarakat, ada orang yang melaporkan kepada Sinder dan Asisten Sinder Perkebunan milik Belanda. Ditengarai kopi itu merupakan kopi hasil curian dari laha kebun, maka rumah beliau didatangi oleh 3 (tiga) orang yaitu Sinder, Asisten Sinder dan Pelapor. Mereka menggeledah rumah dengan menusuk-nusuk 9 karung kopi itu. Namun ternyata yang tampak adalah kacang tanah, dan Sinder itu berkata, “Bapak Kiai koq banyak kacangnya ?”. Beliau menjawab dengan enteng, “Iya, ini anak-anak santri yang baru panen”. Alhasil kopi dalam karung itu memang tampak seperti kacang tanah di mata mereka.
6.    Memperoleh Ilmu Ilham dari Allah SWT berupa Bait Dua Belas dan inilah yang dianggap oleh para sahabat Syekh Haji Mohammad Noer sebagai karomah terbesar.

   Pada tahun 1946 beliau wafat di usia 138 tahun, suatu usia yang amat panjang dan telah dimanfaatkan untuk ibadah dengan menjauhi kehidupan duniawi. Kepergiannya diiringi oleh ribuan umat yang mengantar sampai ke peristirahatan terakhirnya di komplek Pondok Pesantren Nahdlatul Arifin Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti Kabupaten Jember.
Dengan kepergiannya maka suasana pondok berubah menjadi sepi, tidak banyak lagi tamu yang menimba ilmu dan bertukar fikiran atau meminta sawab beliau.
    Untuk mengembalikan suasana seperti semula, maka para santri, sesepuh dan kerabat pesantren bermusyawarah agar setiap tahun diadakan pertemuan atau reuni para alumni, jama’ah dan simpatisan beliau. Waktunya ditetapkan sesuai dengan turunya karomah beliau yang terbesar yaitu Bait Dua Belas tepatnya setiap tanggal 26 Maulid.
Reuni ini diprakarsai oleh 4 (empat) orang kiai yaitu Kiai Muksin, Kiai Sudja’i, Kiai Sanwani dan Kiai Djajadi. Reuni dan peringatan itu telah disepakati oleh karib beliau yaitu Syekh Haji Abdul Hadi Shiratol Mustaqim Curah Bamban Kecamatan Tanggul.
Reuni atau pertemuan ini berlangsung setiap tahun tiap tanggal 26 Maulid yang sampai sekarang dikenal dengan nama Peringatan Hari Ulang Tahun Karomah Syekh Haji Mohammad Noer RA.
     Acara ini selalu ramai, gegap gempita dan meriah sekali karena diikuti oleh ribuan jama’ah dari berbagai penjuru tanah air dan negeri jiran.
      Adapun tentang riwayat Syekh Haji Abdul Hadi Shiratol Mustaqim adalah seorang ulama sahabat yang sangat luas ilmunya. Beliau dilahirkan di Desa Pengadikan, Kecamatan Rogojampi,  Kabupaten Banyuwangi.
Beliau banyak mengenyam pendidikan di berbagai pesantren Pulau Jawa dengan mondok di satu tempat dan berpindah ke tempat lainnya.
Pada tahun 1908 beliau menimba ilmu di Pesantren Demangan Bangkalan Madura yang diasuh oleh ulama besar KH. Mohammad Kholil (sekarang Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Demangan Bangkalan).
   Ketika beliau hendak mudik dari Bangkalan ke Lumajang (mengikuti pamannya tinggal di Lumajang), Kiai Shiratol Mustaqim mendapat beberapa pesan dari KH. Mohammad Kholil yang sebagian di antaranya disampaikan oleh beliau.
    “Dengarkan, ada di daerah 'Ning- ning 'Jember seorang Kiai tapa lamanya 9 (sembilan) tahun, Allah telah mengangkat derajatnya sebagai Sulthanul Auliya’il Quthub, sowanlah kamu ke sana sebab ilmu ilhamnya tanpa kamu tidak akan tersebar luas”.
      Pesan dari gurunya itu kemudian dilaksanakan dengan niat akan menemui ulama yang dimaksud. Sebelum ke Jember beliau terlebih dahulu beliau singgah di Mesjid Ampel Surabaya, kemudian naik kereta api jurusan Surabaya – Lumajang. Di Lumajang terlebih dulu mampir di Desa Serbet di rumah pamannya (Jawa, Pakde) yaitu Kiai Said.
Kiai Shiratol Mustaqim berkeinginan mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah namun belum menemukan guru (mursyid) yang sesuai hatinya. Hal itu disampaikan pada pamannya tentang keinginan belajar tarekat. Terjadi diskusi dan dialog antara KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim dengan Kiai Said tentang bagaimana dengan sifat-sifat dan figur guru spiritual tarekat.
      Kiai Said kemudian memberikan deskripsi tentang seorang guru tarekat menurut pengalamannya ketika berguru pada Syekh Haji Mohammad Noer di Kemuningsari Lor.
Selain itu dijelaskan bagaimana guru (mursyid) beliau adalah orang yang ahli puasa, tidak ada puasa sunnah yang ditinggalkan, utamanya amalan wajib.
Dikisahkan, untuk mewejang murid-muridnya sang guru menggali lobang sebanyak 40 (empat puluh) liang, dan satu persatu para santri tersebut masuk ke dalamnya selama 40 (empat puluh) hari. Mereka tidak boleh keluar kecuali buang air atau ada orang yang meninggal dunia. Tatkala dibaiat para santri diberi notes (catatan) untuk mencatat dzikir yang kurang bilangannya, harinya, tanggalnya dan bulannya. Semuanya harus dicatat sebab dzikir kalimah toyyibah (La ilaha illallah) dan harus dibaca sebanyak 124.000 kali dalam satu hari satu malam.
    Setelah sampai 40 hari guru mursyid tarekat memerika satu persatu catatan para santrinya. Ternyata setelah dibuka ternyata tidak ada satupun murid yang memenuhi dzikirnya. Hari pertama punya hutang, hari kedua punya hutang, dan seterusnya punya hutang. Kemudian guru mursyid itu mengatakan :
   “Kalian semua punya hutang kepada Allah, sebab kalian akan menepati janji kepada saya. Sebagai guru kalian, biarlah saya yang bertanggung jawab dan melunasi hutang dzikir kalian pada Allah. Selanjutnya kalian diperbolehkan keluar dari lobang dan bersyukurlah kepada Allah. Tanda-tanda bersyukur itu ada 3 (tiga) yaitu : bersyukur hati yaitu selalu ingat, cinta, rindu dan dzikir pada Allah. Bersyukur anggota badan, yaitu badan kita digunakan untuk perbuatan yang sholeh dan diridhoi Allah. Bersyukur harta yaitu mengeluarkan zakat dan shodaqah”.
   Para murid lalu pulang ke rumahnya untuk mengadakan tasyakuran 40 hari baiat mereka. Selanjutnya banyak yang memotong ayam, membeli ikan dan sebagainya Setelah masak makan dibawa ke serambi pondok untuk acara makan bersama.
Untuk pembacaan do’a para santri mengundang gurunya untuk pembacaan doa. Sang Kiai berpesan selama pembacaan do’a haruslah khusyu’, tawaddhu’ dan mantap dalam membaca lafaz “amiin”.
     Pada saat guru mursyid itu membaca do’a pada pertengahan terjadilah keajaiban yaitu ikan-ikan dan ayam yang dimasak semuanya hidup kembali sambil menyerukan kalimat “La ilaha illalah, Muhammadur rasulullah, Syaikh Abdul Qadir Jailany waliyullah”.
Kemudian selanjutnya ikan-ikan dan ayam itu kembali dalam bentuk semula menjadi lauk pauk. Selanjutnya Sang Mursyid memerintahkan kepada para murid untuk menyantap makanan sampai habis. Selanjutnya para murid disuruh pulang ke rumah dengan bersilaturrahim dan minta maaf seperti pada waktu hari raya termasuk juga menyampaikan salam dari Sang Mursyid.
    Sesudah mengisahkan pengalamannya berguru, Kiai Said kemudian menangis dan merasakan rindu pada gurunya. Beliau kemudian mengambil buku dan diserahkan kepada Kiai Shiratol Mustaqim dengan berpesan agar mencari guru tarekat seperti yang ada di buku tersebut.
     Setelah banyak memperoleh masukan tentang ajaran auliya’ itu selanjutnya beliau melanjutkan perjalanan mencari mursyid tarekat.
Beliau telah lama berkelana menemui sekitar 14 orang ulama atau kiai tarekat dari berbagai aliran seperti Naqsyabandiyah, Qodiriyyah, Syadzaliyyah, Syattariyah, Tijaniyyah, Ghozaliyyah, Umariyyah, Ahmadiyyah dan lain-lainnya. Namun dari semua ulama tarekat itu juga tidak ada yang pas atau cocok dengan Kiai Said. Kiai Said menyerahkan sebuah catatan kepada beliau agar kelak diberikan pada guru yang akan didatanginya.
    Setelah beberapa tahun, ada seorang teman KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim yang datang menyampaikan berita tentang kehebatan Syekh Haji Mohammad Noer yang konon dapat terbang ke angkasa sampai menyelam dan menembus 7 lapis bumi. Tentu saja Kiai Shiratol Mustaqim marah karena cerita itu dianggap membual dan berlebihan. Orang itu ditegur oleh beliau dan disuruh bicara yang benar atau kalau tidak bisa diam saja. Maka orang itupun terdiam dan menurut karena beliau tidak suka.
Kiai Shiratol Mustaqim tahu cerita itu hanya terdapat dalam kisah pewayangan (Kitab Mahabharata) di mana yang bisa terbang hanya Gatotkaca dan yang menyelam ke bumi hanya Antasena. Keduanya adalah anak dari Werkudara atau Bratasena yang merupakan putra dari Raden Pandu Dewanata.
      Namun setelah si tamu pulang, Kiai Shiratol Mustaqim merasa gemetar, hatinya menjadi gundah dan takut. Bulu romanya berdiri, beliau telah merasa bersalah melakukan dosa ghibah, suatu dosa menurut pandangan Islam yang besarnya 30 kali perbuatan zinah. Beliau sangat  menyesal, rasa sesal yang menghantuinya sampai terbawa tidur dan beliau bermimpi berada di tengah sawah sambil merawat tanaman padi di bawah terik sinar matahari yang panas menyengat.
     Beliau sangat terperanjat dan terbangun, namun masih tetap merasakan sengatan sinar matahari di sekujur badannya. Peristiwa itulah yang mendorong hati sanubarinya untuk mencari dan sowan kepada Syekh Haji Mohammad Noer. Maka dengan segera beliau berangkat dengan naik kereta api dari Lumajang dan turun di Stasiun Petung, kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki menuju Desa Kemuningsari Lor. Tiba di kediaman Syekh Haji Mohammad Noer saat sholat Ashar tiba, beliau mendekati Syekh Haji Mohammad Noer sambil menyerahkan sebuah buku catatan.
Selanjutnya wali quthub itu menerima buku itu sambil dibuka dengan mengatakan,
    “Di zaman sekarang ini kamu tidak bisa mengamalkan seperti ini” (beliau tidak mengizinkan mengamalkan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah) dengan alasan tidak cocok dengan tarekat beliau serta bukan merupakan hasil ijma’ para ulama.
Beliau kemudian disuruh menetap di pondok Syekh Haji Mohammad Noer selama 40 (empat puluh) hari dengan harus mengikuti prilakunya dengan niat mujahadatan nafsi (memerangi hawa nafsu), sholat berjamaah dengan awal waktu, jangan sampai akhir takbiratul ihram-nya imam membaca.
       Selanjutnya beliau melaksanakan beberapa ritual ibadah seperti sholat sunnah seperti sholat daur (sholat ideran), mandi taubat nubati, berwudhu, mandi dan menyelam di kolam 11 kali dengan menahan nafas, sholat tahiyatul masjid, sholat taubat, sholat hajat, sholat istikharoh, dzikir, membaca surat-surat Al-Qur’an, do’a tawassul, dll.nya.
     Selama melakukan mulazamah di Kemuningsari Lor Kiai Shiratol Mustaqim diberi wewenang untuk mencatat ilmu ilham yang diberi nama Bait Dua Belas. Sehingga timbul keyakinan bahwa benarlah bahwa Romo Yai (Syekh Haji Mohammad Noer) adalah waliyullah dan ma’rifatnya adalah hakekat yang merupakan realita bukan mengada-ada dengan melihat sendiri kepada Allah Azza Wajalla.
Selain itu Kiai Abdul Hadi Shiratol Mustaqim juga mencatat riwayat Syekh Haji Mohammad Noer, dari keterangan teman-temannya sebelum beliau berada di Kemuningsari Lor yang kemudian diserahkan dan disetujui oleh RomoYai.
     Demikian sekilas riwayat KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim, untuk lebih jelasnya bisa  dibaca dalam Kitab Fathul Arifina Billah, yang menerangkan tentang riwayat-riwayat, penjabaran Bait Dua Belas, dan aurod-aurod yang diwejang oleh Syekh Haji Mohammad Noer.
KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim meninggal dunia tanggal 1 Juli 1970 pada usia 90 tahun di Curah Bamban, Tanggul.
Beliau adalah ulama besar yang kharismatis serta sulit dicari tara bandingannya apalagi pada masa sekarang. Mungkinkah pada saatnya nanti akan muncul kembali ulama besar sekaliber beliau berdua, mengingat sekarang banyak para ulama sudah kehilangan pamor dan sawab-nya karena jatuh pada gelimang duniawi ? Wallahu alam bissawab


Keterangan Foto  : Balong (kolam) peninggalan dari Syekh Haji Mohammad Noer.

Keterangan Foto  : Masjid pesantren peninggalan dari Syekh Haji Mohammad Noer yang sudah mengalami pemugaran.