Kode Iklan

Senin, 21 Januari 2019

DEKLARASI DUPLANG


     Sebuah dinamika luar biasa dari para pegiat sejarah se- Tapal Kuda terjadi pada hari Minggu, 5 Pebruari 2017 yang dengan serentak menyikapi kondisi yang dianggap status quo terkait dengan kompleksnya permasalahan 'kesejarahan' di kawasan Tapal Kuda. Gerakan keprihatinan itu pada awalnya berangkat dari suatu forum informal lewat sosial media yaitu WhatsApp (WA) dari para anggota komunitas untuk menyamakan persepsi dalam melihat ketimpangan dan ketidakadilan, serta carut-marut dan anomali terhadap keberadaan akses dan aset sejarah berupa benda cagar budaya di kawasan Tapal Kuda.
Mereka kemudian menyatukan langkah dalam konteks menjaga bersama aset sejarah khususnya benda cagar budaya, wacana penulisan (literasi) sejarah lokal bersama dan perjuangan untuk mem-branding historisitas kawasan Tapal Kuda.

     Sebenarnya cukup sulit untuk menyamakan persepsi dengan adanya ketidaksamaan latar belakang yang menjadi kendala kecil pada wacana awal termasuk masalah administrasi dan keraguan dari beberapa aktivis kepada maksud dan tujuan dari gerakan tersebut. Akan tetapi permasalahan kecil ini dapat dipecahkan dengan arif, demi sebuah tujuan besar bersama ke depannya.
Dalam hal ini selaku tuan rumah komunitas Bhattara Saptaprabhu yang bermitra dengan koordinator BPCB Jember, Drs. Didik Purbandriyo, cs. yang dibantu oleh Y. Setiyo Hadi dari Museum Bhoemi Poeger (TBB Salam), telah sepakat melaksanakan kegiatan di bekas settlement prasejarah Situs Duplang, Desa Kamal, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember. 
Perhelatan sederhana dengan jamuan 10 tumpeng dan polo pendem (umbi-umbian) serta jajan pasar, itu sukses digelar dengan hadirnya para aktivis dan pegiat sejarah di enam kabupaten (Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi). Biaya perhelatan sederhana ini digotong secara sukarela oleh para anggota Bhattara Saptaprabhu, tanpa sepeserpun mengandalkan dana pemerintah.

     Para aktivis dan komunitas yang hadir selain Bhattara Saptaprabhu dan anggotanya, Museum Bhoemi Poeger yang dipandegani oleh Y. Setiyo Hadi, MPPMT (Masyarakat Pecinta Peninggalan Majapahit Timur) Lumajang dengan ketuanya Mansoer Hidayat dan sekjennya Lutfia Amerta beserta tim. Dari kawasan timur hadir datang Irwan Rakhday dan Prayudho B. Jatmiko dari LSM Wirabhumi  dan para aktivis Relawan Budaya Balumbung -Relawan Budaya Patukangan. Dari Bondowoso hadir Masdani RS, cs dan dari Bhumi Blambangan (Banyuwangi) hadir Moenawir dari Banjoewangi Tempo Doeloe (BTD), Mas Aji Wirabhumi dari Blambangan Kingdom Explore, dkk. Selain itu hadir juga para pakar dan akademisi seperti Dr. Retno Winarni, M.Hum, Dr. Sukatman , M.Pd (Universitas Jember), wartawan dari berbagai media dan tidak lupa para pejabat seperti Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jember, Hari Wijayadi, anggota DPRD Jember yang diwakili oleh Isa Mahdi dan Yudi Hartono, serta awak media seperti M. Faizin Adi dari Jawa Pos RJ, dan wartawan elektronik.

     Deklarasi dengan jargon "Bersatu Tekad Melakukan Perjuangan Bersama Untuk Melindungi Aset Sejarah se Wilayah Tapal Kuda" tersebut, dimeriahkan dengan pembacaan puisi "Tawang Alun" oleh Ria Sukariyadi dan deklamasi sajak "Aria Wiraraja" oleh seorang 'pujangga' dari MPPMT Lumajang.
Kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi yang dimoderatori oleh Lutfia Amerta Sanjiwani, aktivis sejarah dari Lumajang. Dalam acara diskusi tersebut, beberapa pembicara tampil seperti Dr. Retno Winarni yang mengupas tema diskusi "Timbul Tenggelamnya Hegemoni Tapal Kuda, dan Perannya di Nusantara Abad XIII-XIX. Dr. Retno menjlentrehkan tentang garis besar hegemoni Blambangan di Tapal Kuda, sedangkan paparan sejarah Klasik kawasan Tapal Kuda dipresentasikan oleh Zainollah Ahmad. Selain itu ikut tampil Mansoer Hidayat, Y. Setiyo Hadi, Ria Sukariyadi, Dr. Sukatman dan Mas Aji Wirabhumi serta pembicara lain, yang juga meramaikan narasi sejarah sebagaimana tema di atas. Tentunya para birokrat daerah dan anggota dewan menyampaikan apresiasi kepada para pegiat sejarah yang telah sukses menggelar momen yang langka tersebut, apresiasi khususnya disampaikan kepada panitia dari Bhattara Saptaprabhu.

     Acara yang diisi dengan preambule oleh Drs. Didik Purbandriyo tersebut memiliki gaung yang kemudian bergema ke seantero, sebagai sebuah gagasan cemerlang para aktivis yang peduli terhadap nilai-nilai sejarah dan budaya bangsa. Selaku "pemangku adat" Situs Duplang, Didik Purbandriyo juga memberikan eksplanasi tentang benda-benda cagar budaya yang ada di situs kepada para hadirin khususnya tamu-tamu dari luar Jember.

      Sebelum acara diakhiri dengan diskusi, dikumandangkan ikrar bersama yaitu melalui pembacaan deklarasi yang disebut dengan Deklarasi Duplang (Nawasila Duplang) oleh Ria Sukariyadi dari Bhattara Saptaprabhu, yang isinya antara lain :

1. MELESTARIKAN BENDA BERNILAI CAGAR BUDAYA SERTA TEMPAT YANG           BERPOTENSI MENJADI CAGAR BUDAYA
2.  MENDORONG REALISASI PERDA CAGAR BUDAYA BESERTA ANGGARAN YANG MEMADAI DI SETIAP KABUPATEN DI TAPAL KUDA
3.   MENGGALAKKAN PENULISAN DAN KAJIAN SEJARAH LOKAL KAWASAN TAPAL KUDA
4. MEMPERJUANGKAN SEJARAH LOKAL MENJADI BAGIAN KURIKULUM DI SETIAP SATUAN PENDIDIKAN
5. MEMPERJUANGKAN DITETAPKANNYA PERDA HARI JADI KABUPATEN YANG BERDASARKAN TUJUH KRITERIA 
6. MEMPERJUANGKAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK KONSERVASI, EKSPLORASI, REHABILITASI DAN RISET BENDA-BENDA SERTA TEMPAT BERSEJARAH
7. MEMPERJUANGKAN WISATA SEJARAH SEBAGAI TUJUAN WISATA UTAMA DI DAERAH TAPAL KUDA
8. MENDORONG PENEGAKAN HUKUM YANG TEGAS UNTUK UPAYA PERUSAKAN DAN PENELANTARAN BENDA CAGAR BUDAYA
9. MENDORONG MUNCULNYA KOMUNITAS PEGIAT SEJARAH SEBAGAI UNSUR KEKUATAN CIVIL SOCIETY

7 (TUJUH) Kriteria Hari Jadi:
1. Menjadi suatu kebanggaan (pride)
2. Pilihan peristiwa dan tokoh bukan produk kolonial
3. Memiliki karakter dan cita rasa lokalistik
4. Tidak merusak “rumah besar” NKRI
5. Kaya nilai filosofi Pancasila
6. Mengandung nilai-nilai heroisme dan patriotisme
7. Memiliki peristiwa yang lebih awal (tua)


BABAD SUMENEP "REBORN"



Alhamdulillah...telah bertambah lagi buku yang terbit dari komunitas Bhattara Saptaprabhu, berikut telah beredar di toko buku. Sebelumnya buku ini telah melalui proses seleksi dan revieuw di penerbit, termasuk lama penelitian dan kajian pustaka yang memakan waktu lebih dari dua tahun.

Terlepas dari segala kekurangannya, sebenarnya cukup muskil naskah sejarah lokal seperti ini bisa berkompetisi di penerbit besar (mayor) karena terkadang sering dinilai tidak 'marketable'. Lain halnya dengan novel atau roman sejarah yang lebih banyak digandrungi.Terlebih penulis bukanlah dari akademisi yang punya 'branded' Prof. Dr, meskipun metode penulisannya memakai cara dan kaidah yang kurang lebih sama dengan mereka.





Bagi penulis, kepuasan itu bukan hanya karena buku ini lolos di penerbit dan masuk display serta "mejeng" di toko buku. Tetapi terlebih karena bisa mengangkis historiografi Sumenep sebagai kota kecil ke pentas nasional, dimana selama ini literasi sejarah kabupaten itu hanya berkiprah di tingkat lokal saja. Padahal pada tahun 1914 Raden Musaid Werdhisastra, putera Sumenep melalui bukunya Bhabhad Songennep telah membangkitkan patriotisme melawan penjajah. Alhasil, buku ini merupakan  "reborn" dari buku babad tersebut, meskipun isinya 70% tentu tidak sama.

Sebenarnya sudah saatnya literasi sejarah kota budaya tersebut ikut berbicara dan duduk sejajar dengan historiografi Jawa, khususnya sejarah Masa Klasik. Karena Sumenep merupakan fragmentasi dan 'link-up' dari sejarah panjang peradaban Jawa yang adiluhung. Namun selama ini historisitas Sumenep masih berbau 'fairytale' (dongeng) dan terpinggirkan dari para peneliti. Mungkin karena dianggap miskin fakta dan lebih banyak berselimut mitos (folklore, folktale), sehingga kurang menarik.

Bagi yang berminat, buku ini nanti bisa didapatkan di toko buku Gramedia, Gunung Agung, Togamas, dll.nya di kota-kota besar dan bisa juga lewat online (solusibuku.com, bukalapak.com, tokopedia.com,dll). Karena buku ini masuk ditribusi NASIONAL, sebagaimana buku saya sebelumnya.

       


#salamliterasi


BUKAN SEKEDAR MASA LALU


        Kehidupan manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah, sebab manusia adalah pelaku sebuah sejarah di muka bumi. Kehidupan manusia dan masyarakat bergerak dan terus berkembang. “Panta Rhei” kata Heraclitus, yang artinya, tidak ada yang tidak berubah, semua mengalir, masyarakat sewaktu-waktu bergerak dan berubah. Selain Heraclitus, Wertheim pernah menuliskan “History is a Continuity and Change” artinya, sejarah adalah peristiwa yang berkesinambungan dan berubah. Asumsi beberapa pakar di atas memberikan sebuah hipotesa kuat bahwa sejarah merupakan ilmu yang dinamis (berkembang). 


Sehubungan dengan perkembangan Ilmu Sejarah, sejak berakhirnya Perang Dunia II dalam bidang keilmuan, menuntut adanya revolusi yang pada saat itu didominasi oleh aliran Annales di Perancis sejak tahun 1920-an. Fernand Braudel (1995) mengungkapkan dalam bukunya The Mediterannean and the Mediterannean World in the Age of Philip II yang diterbitkan di London memberikan sumbangsih pemikiran bahwa perubahan dari sejarah strukturalisme itu beracuan pada unsur geografis. Berdasarkan pendekatan geografis tersebut melahirkan ide-ide tentang penulisan sejarah lokal

Pengamat pendidikan, Indonesia, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro menyampaikan, penulisan sejarah masih terpusat pada peristiwa besar dan orang-orang terpandang, seperti kerajaan dan orang besar bahkan menurut hemat penulis pada awalnya yang tertuang dalam Sejarah Nasional Indonesia adalah sejarah bangsa asing yang berkuasa di Nusantara yang kelak menjadi Indonesia. Alur penulisannya cenderung menempatkan bangsa pribumi sebagai orang kedua dan tidak sebagai pelaku utama.




Munculnya pendekatan post-kolonial sejak tahun 1950-an berbagai tipe sejarah lokal mulai berkembang. Sebuah permasalahan bermunculan dalam perjalanan sejarah lokal di Indonesia mulai dari definisi, aspek geografis, teori hingga korelasinya terhadap sejarah nasional. Sejarawan yang mempelopori sejarah lokal di Indonesia Taufik Abdullah mengemukakan bahwa pengertian sejarah lokal tidak selalu bersifat tunggal. Sejarah lokal memiliki pengertian dan dimensi yang beragam (Abdullah,1985:15). Abdullah menambahkan yang dimaksud sejarah lokal adalah ”sejarah dari suatu ”tempat”, suatu ”locality”, yang batasannya ditentukan oleh ”perjanjian” yang diajukan penulis sejarah”. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Carol Kammens (2003:ix) yang menyatakan bahwa ”local history is the study of the past events, or people or groups, in a given geographic area. The focus of the local history can be the place itself, the people who lived there or events that took place in a particular location". Artinya sejarah lokal adalah studi tentang peristiwa masa lalu, atau orang atau kelompok, dalam wilayah geografis tertentu. Fokus sejarah lokal dapat menjadi tempat itu sendiri, orang-orang yang tinggal di sana atau peristiwa yang terjadi di lokasi tertentu.

Di samping itu, sejarah lokal yang sering diwarnai oleh mitos (clouded in myth) sering mendorong sejarawan larut dalam anggapan. Maksudnya, peneliti larut dengan anggapan masyarakat lokal dimana peristiwa tersebut dipersepsikan selama ini. Nilai dan praanggapan kultural masyarakat setempat lebih dijadikan referensi dibanding referensi teoretis dan metodologis yang tersedia. Untuk itu pemahaman tentang metodologi dan teori yang relevan dengan topik yang diteliti menjadi sangat diperlukan dalam penelitian sejarah lokal (Abdullah, 1987:3).

Dalam menulis sejarah lokal kita harus menyelami ruh dari sejarah lokal itu sendiri, sebab sejarah lokal bukanlah sejarah kawasan (regional) maupun sejarah sosial melainkan sebuah kajian yang di dalamnya memiliki dua unsur utama yaitu lokalitas dan komunitas yang menghuninya. Jika lokalitas bisa didefinisikan dalam batas geografis, maka komunitas lebih menunjukkan definisi yang lebih beragam seperti keluarga, etnis atau lingkungan yang memiliki interaksi terbatas. Oleh  karenanya, sejarah lokal lebih menekankan pada lokalitas geografi (Philips,1995:2). Namun penulis menambahkan bahwa selayaknya sejarah lokal sebagai ilmu pembelajaran, seharusnya sejarah lokal tidak merusak  tatanan “rumah kebesaran” sejarah nasional.

Kita harus akui jika sejarah lokal berpotensi menimbulkan pertentangan dengan sejarah nasional, sebab manurut Irsyam setidaknya tiga komponen yang membedakan maupun sebagai identitas sejarah lokal terhadap sejarah nasional. Ketiga komponen tersebut adalah tradisi lokal, identitas lokal dan sumber lokal (Irsyam, 2017:19). Namun semua pertentangan itu tergantung kepada penulis atau sejarawan yang menulis sejarah lokal tersebut. Tentunya sebagai seorang sejarawan ada beban moral yang harus dipikul demi terciptanya sejarah lokal yang berkualitas dan dipercaya.

Berdasarkan paparan di atas, bisa kita pahami betapa pentingnya sejarah lokal. Peristiwa yang selama ini hanya dianggap sebuah masa, sejatinya bukan sekedar masa lalu saja. Karena sejarah lokal akan memberi pemahaman bagi masyarakat mengenai asal usul serta akar sejarah di sebuah lokalitas dan masa tertentu. Sehingga masyarakat lokal dapat lebih memahami sejarah di sekitarnya dan dalam lingkup global dapat memperkaya sejarah nasional.


Keterangan : Peninggalan era Kolonial Belanda dan Prasejarah di Jember yang menjadi aset       sejarah lokal.

                                              
                                                  OlehAprilia Nur Hasanah, S.Pd 

    (Anggota Bhattara Saptaprabhu dan guru Sejarah SMA Al-Hasan, Kemiri Panti - Jember)