Kode Iklan

Minggu, 02 April 2017

POTRET PERADABAN JEMBER KLASIK

    JEMBER merupakan daerah di Timur Jawa yang menyimpan banyak misteri historisitas (kesejarahan) yang belum terpecahkan. Salah satu dari kesejarahan itu adalah aspek sejarah Klasik yang masih belum terkuak dan terjawab dengan tuntas. Dalam kajian penulis buku, Jember telah 'terpapar' pada  kekuasaan dan peradaban pada era Majapahit pada beberapa ratus tahun yang lalu.
Dengan hadirnya buku Masa Lalu Jember, Studi Historis Peradaban Jember Pada Masa Majapahit, yang di-editori oleh Dr. Adzkiyak ini diharapkan dapat mengetahui jawaban dari teka teki selama ini terutama terkait tentang peradaban Jember pada Masa Majapahit.

       Buku dengan tebal 160 hal, dan dibalut cover yang menarik ini merupakan buku kedua tentang masa Klasik Jember yang ditulis oleh aktivis sejarah dari komunitas Bhattara Saptaprabhu yang mengkaji tentang peninggalan peradaban masa Klasik dengan harapan sejarah Jember mulai terkuak kepermukaan. Buku pertama adalah Topographia Sacra, Menulusuri Jejak Sejak Sejarah Jember Kuno, yang ditulis Zainollah Ahmad, yang juga seniornya di pegiat sejarah komunitas yang sama.
Banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis di Jember, menurut Farhan telah memberikan emosi kritis untuk mengakaji sejarah Jember, terutama tentang pembuatan beberapa candi yang diduga kuat pada masa raja Hayam Wuruk yang salah satunya berada di Gumukmas Jember. Meskipun candi-candi itu semuanya nyaris rata dengan tanah. Selain itu Jember merupakan satu daerah yang dianggap  "zona merah" bagi Majapahit kala itu, sebab tercatat dalam beberapa sumber, bahwa Pasadheng (Perang Sadheng) tahun 1331 M yang dilakukan oleh rakyat dan bangsawan di tlatah Sadheng di Puger.
Lebih dari itu, Hayam Wuruk pernah menginjakkan kakinya di Jember dengan beberapa petinggi kerajaan dan rombongan "karnaval agung"-nya. Beberapa fakta sejarah di atas membuat penulis buku merasa tergugah dan tentu merupakan sebuah kekecewaan jika tidak diabadikan dalam bentuk tulisan sehingga muncullah buku sederhana ini. 
         
    Namun Farhan memberikan hipotesa yang "melampaui" sebuah tesis kajian tentang hasil peradaban di Jember. Misalnya dengan berani ia menyimpulkan bahwa Situs Beteng Semboro dan Kutha Kedawung Paleran sebagai peninggalan Blambangan, tanpa memberikan argumen yang jelas. Padahal berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang didukung oleh cerita tutur, kawasan ini lebih merujuk pada peninggalan peradaban Majapahit. Sehingga diharapkan Farhan bisa memberikan tafsir yang argumentatif atas hasil kajiannya atau me-revisi jika merupakan kesalahan tulis.
Selain itu konten buku yang masih belum terfokus pada tema kajian, yaitu "peradaban era Majapahit" di Jember belum mendapatkan porsi yang pas, dan ditulis implisit, tapi bisa dimaklumi karena terbatasnya sumber referensi tentang Jember. 
Akan tetapi buku sejarah lokal Jember ini patut dibaca, dikaji dan dikritisi dan yang penting dimiliki oleh semua lapisan masyarakat, sebab berisi uraian-uraian yang direkonstruksi dengan penalaran ilmiah dan kritis.
        
       Penulis muda ini telah terpilih sebagai salah satu peserta terbaik dalam pelatihan literasi sejarah Kemdikbud tahun 2017 dari Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu. Ia mengolah dan meramu karyannya dengan kajian berbagai sumber komprehensif yang digunakan para penulis sejarah lainnya. Karena konsekuensi menjadi penulis dan peneliti sejarah tentu harus berkutat pada banyak referensi dan sumber.
Dengan kehadiran buku ini, Yebqi Farhan telah menjawab secara elegan keragu-raguan atas konstruksi sejarah Jember yang dianggap masih rapuh dan belum layak dalam historiografinya, utamanya terkait langkanya sumber mainstream. Penggunaan sumber mainstream yang merupakan keniscayaan, di mana penulis telah berhasil mengkompilasi dan mengkomparasi sumber tersebut, meski belum lengkap.
Karena selain di atas, dalam historiografi ada metode heuristik dan terbuka pintu interpretasi, jika sumber tersebut dianggap tidak sesuai atau tidak validSebagai penulis, Farhan mampu menyikapi dan memanfaatkan metode tersebut. Meskipun akhirnya bermuara pada 'hitam putih', dan terkadang tidak sesuai dengan 'selera kesejarahan' kita.

     Dengan  begitu penulis berhasil menunjukkan bahwa literasi sejarah itu tidaklah jumud, dan "kaku jeku". Ia telah bersiap dengan karya berikutnya. Semoga bisa menambah literasi komunitas kami, demi rakyat, negara dan bangsa tercinta. Selamat membaca. (Tim Resensi Bhattara Saptaprabhu).



1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr wb
    Mau tanya nih bang terkait prasasti yang ada d jember seperti prasasti batu-batu dll..di kaliputih itu kan ada bang batu gong , kenapa di tabel yang saya baca itu tidak ada bang atau tidak tercantum watu gong kaliputih di tabel tersebut.?
    Terima kasih
    Wassalamualaikum wr wb

    BalasHapus