Kode Iklan

Minggu, 02 April 2017

POTRET PERADABAN JEMBER KLASIK

    JEMBER merupakan daerah di Timur Jawa yang menyimpan banyak misteri historisitas (kesejarahan) yang belum terpecahkan. Salah satu dari kesejarahan itu adalah aspek sejarah Klasik yang masih belum terkuak dan terjawab dengan tuntas. Dalam kajian penulis buku, Jember telah 'terpapar' pada  kekuasaan dan peradaban pada era Majapahit pada beberapa ratus tahun yang lalu.
Dengan hadirnya buku Masa Lalu Jember, Studi Historis Peradaban Jember Pada Masa Majapahit, yang di-editori oleh Dr. Adzkiyak ini diharapkan dapat mengetahui jawaban dari teka teki selama ini terutama terkait tentang peradaban Jember pada Masa Majapahit.

       Buku dengan tebal 160 hal, dan dibalut cover yang menarik ini merupakan buku kedua tentang masa Klasik Jember yang ditulis oleh aktivis sejarah dari komunitas Bhattara Saptaprabhu yang mengkaji tentang peninggalan peradaban masa Klasik dengan harapan sejarah Jember mulai terkuak kepermukaan. Buku pertama adalah Topographia Sacra, Menulusuri Jejak Sejak Sejarah Jember Kuno, yang ditulis Zainollah Ahmad, yang juga seniornya di pegiat sejarah komunitas yang sama.
Banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis di Jember, menurut Farhan telah memberikan emosi kritis untuk mengakaji sejarah Jember, terutama tentang pembuatan beberapa candi yang diduga kuat pada masa raja Hayam Wuruk yang salah satunya berada di Gumukmas Jember. Meskipun candi-candi itu semuanya nyaris rata dengan tanah. Selain itu Jember merupakan satu daerah yang dianggap  "zona merah" bagi Majapahit kala itu, sebab tercatat dalam beberapa sumber, bahwa Pasadheng (Perang Sadheng) tahun 1331 M yang dilakukan oleh rakyat dan bangsawan di tlatah Sadheng di Puger.
Lebih dari itu, Hayam Wuruk pernah menginjakkan kakinya di Jember dengan beberapa petinggi kerajaan dan rombongan "karnaval agung"-nya. Beberapa fakta sejarah di atas membuat penulis buku merasa tergugah dan tentu merupakan sebuah kekecewaan jika tidak diabadikan dalam bentuk tulisan sehingga muncullah buku sederhana ini. 
         
    Namun Farhan memberikan hipotesa yang "melampaui" sebuah tesis kajian tentang hasil peradaban di Jember. Misalnya dengan berani ia menyimpulkan bahwa Situs Beteng Semboro dan Kutha Kedawung Paleran sebagai peninggalan Blambangan, tanpa memberikan argumen yang jelas. Padahal berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang didukung oleh cerita tutur, kawasan ini lebih merujuk pada peninggalan peradaban Majapahit. Sehingga diharapkan Farhan bisa memberikan tafsir yang argumentatif atas hasil kajiannya atau me-revisi jika merupakan kesalahan tulis.
Selain itu konten buku yang masih belum terfokus pada tema kajian, yaitu "peradaban era Majapahit" di Jember belum mendapatkan porsi yang pas, dan ditulis implisit, tapi bisa dimaklumi karena terbatasnya sumber referensi tentang Jember. 
Akan tetapi buku sejarah lokal Jember ini patut dibaca, dikaji dan dikritisi dan yang penting dimiliki oleh semua lapisan masyarakat, sebab berisi uraian-uraian yang direkonstruksi dengan penalaran ilmiah dan kritis.
        
       Penulis muda ini telah terpilih sebagai salah satu peserta terbaik dalam pelatihan literasi sejarah Kemdikbud tahun 2017 dari Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu. Ia mengolah dan meramu karyannya dengan kajian berbagai sumber komprehensif yang digunakan para penulis sejarah lainnya. Karena konsekuensi menjadi penulis dan peneliti sejarah tentu harus berkutat pada banyak referensi dan sumber.
Dengan kehadiran buku ini, Yebqi Farhan telah menjawab secara elegan keragu-raguan atas konstruksi sejarah Jember yang dianggap masih rapuh dan belum layak dalam historiografinya, utamanya terkait langkanya sumber mainstream. Penggunaan sumber mainstream yang merupakan keniscayaan, di mana penulis telah berhasil mengkompilasi dan mengkomparasi sumber tersebut, meski belum lengkap.
Karena selain di atas, dalam historiografi ada metode heuristik dan terbuka pintu interpretasi, jika sumber tersebut dianggap tidak sesuai atau tidak validSebagai penulis, Farhan mampu menyikapi dan memanfaatkan metode tersebut. Meskipun akhirnya bermuara pada 'hitam putih', dan terkadang tidak sesuai dengan 'selera kesejarahan' kita.

     Dengan  begitu penulis berhasil menunjukkan bahwa literasi sejarah itu tidaklah jumud, dan "kaku jeku". Ia telah bersiap dengan karya berikutnya. Semoga bisa menambah literasi komunitas kami, demi rakyat, negara dan bangsa tercinta. Selamat membaca. (Tim Resensi Bhattara Saptaprabhu).



Rabu, 22 Maret 2017

ARIA WIRARĀJA KONSEPTOR KETATANEGARAAN MAJAPAHIT

                                          Oleh : Zainollah Ahmad

Peranan Besar Aria Wirarāja Sebagai Konseptor Ketatanegaraan


    Nama Aria Wiraraja dikenal sebagai tokoh sejarah kontroversial yang banyak dipuja sekaligus dicemooh. Dipuja karena ia sangat lihai, cerdik dan piawai merancang strategi dalam melawan Jayakatwang dari Daha dan pasukan Tartar Mongol yang mengadakan invasi ke Pulau Jawa. Tapi ia dicemooh karena dianggap oportunis, tidak konsekwen dan pintar mencari peluang untuk keuntungan politik. Selain itu Aria Wiraraja juga banyak diklaim sebagai tokoh daerah Sumenep dan Lumajang serta Bali, tetapi selama ini belum ada bukti-bukti signifikan yang menunjukkan ia berasal dari tiga daerah ini.

     Sebagaimana dijelaskan dalam banyak naskah yang berkaitan dengan jatidiri Aria Wirarāja, bahwa nama seseorang mengandung tanda-tanda (alamat) tertentu (nomen sit omen) dan mempunyai arti khusus. Orang tua memberikan nama anaknya dengan maksud tertentu agar anak tersebut berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nama yang disandangnya. maka Di dalam Pararaton dikatakan bahwa Aria Wirarāja semula bernama Banyak Wide. Halaman 18 Pararaton (edisi Belanda) menyebutkan sebagai berikut :

“ Hana ta wongira, babatangira buyuting Nangka, aran Banyak Wide, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon adhipatiaring Songenneb, angar ing Madura Wetan”.

  Mengenai kedudukan atau jabatan dari Aria Wirarāja, beberapa sumber berbeda pendapat dalam menyebutkan tentang jabatannya. Misalnya Mangkudimedja dalam buku Pararaton, Ken Arok 2 menyebutkan bahwa besar kemungkinan Aria Wirarāja adalah seorang “babatangan” (penasehat spiritual). Babatangan itu mungkin di zaman sekarang bisa diartikan sebagai tukang membatang atau meramal, yakni sama dengan ahli nujum. Orang yang kerjaanya menerangkan atau membukukan segala sesuatu yang sifatnya penuh misteri atau rahasia.

   Namun begitu, semua ini barulah merupakan perkiraan dan dugaan belaka, sebab Dr. J.L.A.Brandes sendiri juga belum yakin mengenai arti sebenarnya. Dugaan Brandes, mungkin yang dimaksud adalah karereyan yang artinya babatangan.
Sedemikian tadi akhirnya terserah saja kepada yang ingin menyelidiki. Karena kenyataannya banyak kata-kata kuna yang tidak kita temui lagi di zaman sekarang. Bahkan adakalanya sudah berganti makna  serta maksud. Beberapa catatan sejarah menyebutkan tentang alasan pemindahan atau mutasi Aria Wirarāja ke Sumenep. Seperti dalam Pararaton disebutkan kata “dinohaken” atau dipindahkan , yang tentunya tidak terlepas dari situasi pemerintahan di Singhasari serta pandangan politik dari Keṛtanegara.

   Tujuan pengangkatan Aria Wirarāja menjadi adipati di Songennep pertama, untuk mengurangi kekuatan wangsa Râjasa, karena tokoh muda ini dikenal sangat dekat dengan wangsa keturunan Ken Arok – Ken Dedes, yang di kemudian hari menjadi penasehatnya. Kedua, untuk lebih memperkuat kedudukan dan pengaruh Singhasari di Madura karena  penguasa sebelumnya, Nararyya Kulup Kuda dirasakan kurang berhasil. Madura dianggap memiliki nilai penting bagi Keṛtanegara karena letaknya yang bersebelahan dengan Pulau Jawa. Maka haruslah dapat dikuasai untuk menjaga supaya tidak ada bibit perlawanan di sana dan menjaga posisi Singhasari terhadap kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Penempatan Aria Wirarāja yang menjalankan fungsinya sebagai penguasa di Songennep sangat mendukung program politik Cakrawala Mandala yang terus digalakkan.[1]

    Persoalan mutasi politik terhadap Aria Wirarāja ini menjadi menarik karena terdapat dua teori yang membahasnya. Pertama, teori klasik berdasarkan Kakawin Nāgarakṛetāgama dan Pararaton. Menurut kedua kitab klasik itu, mutasi politik itu terjadi karena ketidaksukaan Keṛtanegara terhadap Aria Wirarāja. Sedangkan teori kedua yang dipaparkan oleh sejarawan C.C. Berg dari Universitas Leiden, mengatakan bahwa Aria Wirarāja dijadikan penguasa Sumenep bukan karena dibuang, atau tidak disukai. Akan tetapi karena gerakan politik Keṛtanegara saat itu yang berupaya membangun imperium besar Nusântara dan juga sedang menghadapi ancaman Ku Bilai Khan dari Mongol (D.G.E. Hall, 1988). Sebagaimana diketahui, Keṛtanegara berdaya upaya untuk membesarkan Singhasari sebagai kekuatan politik suprematif di Nusântara. Ambisi politik ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjadi penguasa  tunggal Nusântara yang merupakan kecenderungan ambisi umum raja-raja Jawa sejak era rajakula Syailendra dari kerajaan Mědang Bhūmi Matarām. Selain itu, politik ekspansif Keṛtanegara untuk menguasai Nusântara juga berkaitan dengan makin meluasnya pengaruh kekuasaan Mongol di kawasan Asia Tenggara. Tujuan dari Keṛtanegara mengadakan tindakan politik ekspansi adalah bagaimana nanti agar Jawa mampu melemahkan kerajaan maritim terbesar di Nusântara yaitu Sriwijaya sekaligus membendung serangan Mongol.

    Menurut C.C. Berg, Aria Wirarāja dijadikan sebagai penguasa Sumenep justru menjadikan Madura sebagai basis pertahanan untuk membendung kekuatan Mongol. Keṛtanegara memang menggunakan strategi politik pembendungan dengan menjadikan sejumalah daerah di Nusântara sebagai benteng ekspansi tentara Tartar Mongol.[2]
Teori dari Berg merupakan suatu pendapat yang menarik yang tentu kontradiksi terhadap teori klasik bahwa Aria Wirarāja dianggap sebagai oposisi, lalu dinohaken ke Songennep oleh Keṛtanegara. Dengan posisi demikian malah Aria Wirarāja semakin kuat seiring strategi politik Singhasari. Akan tetapi teori dari Berg perlu dikritisi karena selain analisanya sangat pas dalam konteks kekinian yaitu teori detente dalam politik internasional, juga tidak melandaskan pada naskah-naskah mainstream. Posisi dan bargaining power Aria Wirarāja begitu kuat, tidak saja bagi Singhasari tapi termasuk di mata Daha (Jayakatwang) sebagai penguasa yang sedang mencari pijakan baru dan bersiap mengambil peluang politik. Hal ini dibuktikan pada saat Raden Wijaya meminta proteksi kepada Aria Wirarāja, maka atas “katabelece” Adipati Songennep, maka menantu Keṛtanegara ini diampuni bahkan dihadiahi tanah hutan Tarik.

    Beberap keterangan sejarah di bawah ini setidaknya bisa dijadikan sebagai informasi mengenai keberadaan dan posisi Aria Wirarāja, yaitu  :
  • Kidung Harsa Wijaya, mengatakan Aria Wirarāja pada masa Singhasari menjabat seorang demang.
  • Kidung Pañji Wijayakrama tidak menyebutkan dengan pasti apa jabatannya.
  • Demikian juga dalam kitab Pararaton yang diterjemahkan oleh Drs. Pitono (1966) dan Pararaton yang diterjemahkan oleh Ki Padmapuspita (1956), hanya menyebutkan Aria Wirarāja adalah seorang bawahan (hamba Keṛtanegara).
  • Drs. Abdurrachman menyebutkan bahwa jabatan dan pangkat Aria Wirarāja adalah rakryān Děmung nayapati di kerajaan Singhasari.
Berdasarkan Prasasti Mula Malurung, Wisnuwardhana memerintah mulai tahun 1250 yang menguasai Daha dan Singhasari. Rasa khawatir akan timbulnya sengketa kekuasaan jika kelak dia telah tiada, menyebabkan ia buru-buru melantik puteranya Keṛtanegara sebagai raja muda di Daha. Hal ini rupanya untuk mengokohkan kekuasaan keturunannya kelak.

Kemudian setelah masa pemerintahan raja Keṛtanegara, Aria Wirarāja “dinohaken” dan  dimutasi sebagai pejabat yang lebih rendah (adipati). Pararaton menceritakan secara singkat dilantiknya Aria Wirarāja menjadi adipati di Songennep yang berkedudukan di Madura Timur.
Pararaton tidak mencantumkan tanggal maupun tahun peristiwa di atas tersebut. Pararaton hanya menceritakan sesudah Wisnuwardhana mangkat dan Keṛtanegara menggantikan menjadi raja, Wirarāja dipindahkan ke Songennep.

Mengenai peranan Aria Wirarāja dalam membantu Sanggramawijaya (Raden Wijaya) menaklukkan Jayakatwang, mengusir tentara Tartar Mongol, sampai tegaknya kerajaan Majapahit diceritakan secara lengkap dalam Pararaton. Kidung Pañji Wijayakrama, Kidung Ranggalawe dan Kidung Harsa Wijaya.
Beberapa prasasti seperti Kudadu (11 September 1294) dan Prasasti Sukamerta (29 Oktober 1295), menyebutkan peristiwa-peristiwa penting yaitu pengungsian Sanggramawijaya ke Madura.

Peran Politik Kenegaraan Aria Wirarāja di Majapahit

      Berdasarkan hasil deskripsi sumber-sumber di atas, maka peranan Aria Wirarāja bukanlah hanya memberikan bantuan kekuatan pasukan dan pengerahan rakyat Madura, akan tetapi jauh di balik itu, Aria Wirarāja adalah seorang yang ahli strategi, dan inspirator berdirinya kerajaan Majapahit.
Benarlah kiranya apabila ia disebut sebagai aktor intelektualis, sehingga pencitraan  sejarah Majapahit tidak akan pernah luput dari peranan Aria Wirarāja serta orang-orang Madura pada awal pendiriannya.
Selain dari itu, kesetiaannya pada negara juga tercermin dalam sikap diamnya ketika mengetahui puteranya Ranggalawe dibunuh secara kejam ketika mengadakan pembangkangan terhadap Raden Wijaya. Demikian pula terhadap Nambi yang dianggap melakukan pemberontakan dari Lumajang sendiri. Meskipun masih terjadi penafsiran terhadap keberadaan Nambi dan Ranggalawe yang disebut sebagai puteranya.
Dengan sikap diam dan kesabarannya ini merupakan loyalitas yang tinggi pada masa  tersebut, yang tercermin ketika pertama kalinya “dijauhkan” ke Songennep.
Kesetiaan yang menonjol lainnya ialah ketika ia dengan rendah hati menolong Raden Wijaya yang terlunta-lunta dengan menjanjikan untuk mengembalikannya sebagai raja.

   Dengan berakhirnya kekuasaan Keṛtanegara, dari keterangan yang ditemukan pada beberapa prasasti terbukti bahwa runtuhnya Singhasari bukan akibat dendam kesumat keturunan Sri Kertajaya, raja Daha seperti yang diuraikan dalam Nāgarakṛetāgama pupuh XLIV/1-2, dan Kidung Harsa Wijaya. Namun karena sikap semena-mena Sri Keṛtanegara terhadap Děmung Nayapati Aria Wirarāja. Sehingga Aria Wirarāja merasa sakit hati, karena dilorot dari kedudukannya sebagai Děmung dan dipindahkan ke Songennep sebagai adipati. Dendam Wirarāja terhadap Sri Keṛtanegara dilampiaskan melalui Sri Jayakatwang, yang telah lama mengincar tahta Kaḍiri (Daha) sepeninggal Sri Wiswarupakumara. Mungkin sekali Jayakatwang mengharapkan pengangkatannya sebagai raja bawahan di daerah Kaḍiri.[3]

    Cukup banyak kiranya analogi terhadap ketokohan Aria Wirarāja yang dianggap anomali dan kontroversial, karena ada yang mengatakan ia adalah seorang oportunis, pandai mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi karena begitu besar peran dan jasa-jasanya, maka banyak juga yang memuja dan mengklaimnya. Ia menjadi founding father sebuah peradaban terbesar monarki tanah air, yaitu Majapahit. Sebagai negarawan dan seorang politisi, wajar jika sepak terjangnya banyak menuai pro dan kontra.


   Setelah diangkat menjadi raja Majapahit, Raden Wijaya segera memanggil Aria Wirarāja dan mengangkatnya sebagai salah satu Menteri Pasangguhan. Setelah penobatan Raden Wijaya (Keṛtarâjasa) menjadi raja Majapahit, Aria Wirarāja tidak kembali ke Madura. Dalam Piagam Kudadu, Wirarāja memegang kedudukan sangat tinggi dalam pura Majapahit. Pararaton menguraikan bahwa sejak penobatan Keṛtarâjasa, adipati Wirarāja tetap tinggal di pura. Baru kemudian setelah selesai pemberontakan Ranggalawe yang berakhir dengan kematiannya, ia menagih janji untuk membagi kerajaan Majapahit menjadi dua seperti yang dijanjikan oleh raja ketika Raden Wijaya mengungsi ke Songennep.[4]

Selain itu tercatat tentang tiga mahamantri katrini dan para pemuka agama. Piagam Kudadu (1294 M) menyebutkan ada tiga orang menteri pasangguhan, yaitu Rakryān Menteri Pranaraja Mpu Sina, Rakryān Menteri Dwipantara Aria Adikara, dan Rakryān Menteri Makapramuka Aria Wirarāja. Dengan demikian, sejak 1294 M, Aria Wirarāja sudah tidak lagi sebagai Adipati Songennep dan tidak tinggal di sana.
Kidung Ranggalawe dan Kidung Pañji Wijayakrama menyebut Aria Wirarāja ayah Ranggalawe. Ini berbeda dengan berita Pararaton yang menyebutnya sebagai ayah Nambi. Kidung Harsa Wijaya rupanya senada Pararaton, karena menyebut putera Wirarāja yang dikirim kepada Raden Wijaya untuk membantu membuka hutanTarik bernama Nambi, Peteng dan Wirot.

Dalam buku Nāgarakṛetāgama  dan Tafsir Sejarahnya, Slamet Muljana heran mengapa Ranggalawe tidak termuat dalam Prasasti Kudadu, sementara Aria Wirarāja termuat. Mengingat kedudukannya sangat tinggi akibat jasa-jasanya, Ranggalawe pasti mendapat pangkat tinggi dalam pemerintahan Majapahit. Demikian menurut keyakinan Slamet Muljana.

Menurut Kidung Pañji Wijayakrama, nama Ranggalawe merupakan hadiah Raden Wijaya  kepada putera Aria Wirarāja, ketika diutus ayahnya membantu Raden Wijaya membuka alas Tarik. Jadi Ranggalawe bukan nama sebenarnya. Slamet Muljana meyakini Rakryān Menteri Aria Adikara pada Piagam Kudadu sama dengan Ranggalawe. Nama resmi Ranggalawe adalah Aria Adikara, nunggak semi dengan ayahnya. Selain itu Slamet Muljana juga mengatakan, nama Ranggalawe sebagai Aria Adikara termuat dalam Piagam Kudadu. Tetapi ada yang menentang analisa Slamet Muljana sebagai tafsir yang kurang mendasar dan sangat lemah. Karena jika nama Ranggalawe tercantum dalam Piagam Kudadu, seharusnya Nambi dan terutama Lěmbu Sora juga dicantumkan. Sora merupakan paman Ranggalawe, jasanya bahkan lebih tinggi ketimbang Ranggalawe. Jika Ranggalawe menjadi menteri, Nambi dan Pu Sora juga harus jadi menteri, namanya harus dicantumkan dalam prasasti bersama dengan Ranggalawe.

Dengan begitu ada alasan mengapa Ranggalawe tidak diangkat jadi menteri pasangguhan, tentu karena masih muda, belum layak dimajukan sebagai menteri pasangguhan. Maka paling tinggi sebagai menteri ring pakirakiran bersama Nambi dan Sora. Sementara tiga menteri pasangguhan dalam Piagam Kudadu adalah tokoh-tokoh terpilih, tokoh senior yang sangat dihormati oleh Raden Wijaya. Aria Adikara dalam Piagam Kudadu adalah ayah Ranggalawe atau kakak kandung Sora. Kesimpulan ini didukung berita Pararaton yang menyebut Aria Adikara bersama Ranggalawe, Sora dan tiga putera Wirarāja yaitu Nambi, Wirot, dan Peteng sebagai ksatria Singhasari yang berjuang bersama Raden Wijaya. Sehingga Ranggalawe belum tercantum dalam Prasasti Kudadu, demikian pula Nambi dan Sora. Ada kemungkinan karena Raden Wijaya belum membentuk Dewan Menteri Pakirakiran, karena negara masih dalam keadaan darurat. Sementara untuk memilih Mahāpatih, bukan perkara mudah dan tidak asal tunjuk, karena harus berdasarkan pertimbangan yang matang.  Dalam hal ini sang raja masih sulit menentukan siapa yang bakal menduduki kursi Mahāpatih. Apakah Sora atau Nambi maupun Kěbo Anabrang. Sementara waktu, Raden Wijaya hanya mengangkat tiga menteri pasangguhan, yaitu tiga tokoh senior yang sangat berpengaruh, dan segera dicantumkan dalam prasasti pertamanya.

Berdasarkan beberapa penafsiran, maka Aria Wirarāja ayah Nambi, sementara Aria Adikara ayah Ranggalawe, Lěmbu Sora merupakan adik kandung Aria Adikara. Diperkirakan pada tahun 1295 M, Aria Wirarāja berusia 60 tahun, Aria Adikara 50 tahun, Lěmbu Sora 45, Ranggalawe 25 tahun, Nambi 40 tahun, dan Kěbo Anabrang  45 tahun. Sehingga dari semua pengikut Raden Wijaya, Aria Wirarāja yang paling senior. Maka sangat pantas jika menjabat rakryān menteri makapramuka atau pemimpin para menteri.

Selain karena faktor usia, kedudukan Aria Wirarāja dalam susunan awal pemerintahan Majapahit karena terikat kontrak politik dengan Raden Wijaya. Salah satu kontrak politik yang harus segera dibayar Raden Wijaya yaitu memutuskan siapa yang menjadi Mahāpatih Majapahit.
Ini sesungguhnya tersulit bagi Raden Wijaya ketika harus memilih apakah Mahāpatih Majapahit dari keluarga Wirarāja atau Adikara. Bagaimanapun juga keluarga Aria Adikara berperan besar mendampingi perjuangan Raden Wijaya.

        Sebagai catatan penting, Banyak Wide atau yang dikenal juga dengan nama Aria Wirarāja ini merupakan tokoh yang mempunyai ikatan batin dengan beberapa tempat yang ia besarkan, seperti Sumenep dan Lamajang. Namun selain kedua tempat, Pulau Bali juga mempunyai kedekatan dengan tokoh ini dan diabadikan dalam Babad Manik Angkeran yang merupakan pedoman bagi para keturunan Aria Wirarāja yang menamakan dirinya Aria Wang Bang Pinatih. Oleh karena itu, dikemukakan juga beberapa versi dan kelahiran tokoh Aria Wirarāja sesuai dengan tradisi tulis dan lisan setempat.




(Sumber foto : Wikipedia)



[1] Lihat J. Padmapuspita, Pararaton, 1966, hlm. 27 dan 70., Slamet Muljana, Pemugaran Persada Tanah Leluhur Majapahit, 1983, hlm. 111-113.
[2]  Sejarawan D.G.E. Hall, seorang profesor emeritus sejarah Asia Tenggara dan London University, menyebutkan beberapa daerah yang disinyalir sebagai bentangan pertahanan alami Singhasari seperti Pahang (Malaysia), Bakulapura (Kalimantan), serta Madura dan Bali. Secara geopolitik, Madura merupakan basis strategis untuk membendung serangan Mongol terutama yang lewat dari Laut Jawa.
[3] Lihat Slamet Muljana, op.cit., 1983, hlm. 107.
[4] Slamet Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 2005, hlm. 202.