Kode Iklan

Rabu, 06 April 2016

DAMAR WULAN, FAKTA APA MITOS ?

Oleh : Zainollah Ahmad

Polemik panjang tentang "historiografi" yang berkisar pada kisah Damarwulan terus bergulir hingga sekarang. Sepertinya masyarakat awam sulit untuk menolak kisah ini sebagai suatu cerita rekaan. Mereka sangat yakin bahwa kisah ini memang fakta historis karena bisa dibuktikan dengan hardfact berbagai petilasan, makam, toponimi dan sebagainya yang ada di berbagai tempat. Padahal kemunculan cerita babad dan serat itu marak di kala penjajahan kolonial (VOC) yang di antaranya melalui propaganda dengan mendistorsi atau mereduksi sejarah kita. Misi terselubung itu memanfaatkan potensi cerita tutur khususnya di Jawa. Sehingga dimasukkanlah propaganda lewat tulisan pujangga yang terkadang tidak steril dari kepentingan kolonial. Tujuannya untuk membuat sengkarut lewat politik devide et impera. Melalui intrik antar bangsawan di Mataram yang melahirkan chaos dan perang, literasi babad makin menjamur, khususnya ketika maraknya perlawanan di wilayah Java Oesthoek.
Tradisi lisan rakyat Indonesia, utamanya suku Jawa, yang terkenal kaya akan fantasi menimbulkan kecenderungan untuk mengirrasionalkan segalanya. Zaman dahulu ketika masih kuatnya tradisi klasik nenek moyang, lahirlah mitos, kultus, takhayul yang timbul dari fantasi dan bermuara dengan kemunculan mitos yang dibungkus folktale dan folklore.

Pemberitaan tentang suatu kejadian atau peristiwa yang telah lampau seperti penuturan sejarah misalnya banyak dibumbui dengan mitos, kultus atau takhayul, penuh dengan perlambang atau prasemon, sehingga terjadilah justifikasi atau pembenaran bahwa itu kenyataan yang dibuat dalam versi dongeng. Kiranya proses penciptaan babad, serat, dan sebagainya bisa dikatakan "sejarah yang didongengkan". Sejarah yang didongengkan itu berangkat dari fakta historis. Perlambang atau prasemon-nya berfungsi untuk mendistorsi segi-segi yang kurang pas, agar lebih baik dan sempurna. Contoh sejarah yang didongengkan bertujuan untuk memperbagus atau mempersopan kandungan kisah, misalnya kehidupan Ken Arok dalam serat Pararaton (Brandes, 1920) yang dibuat pada tahun 1481 M sekitar masa raja Majapahit Singhawikramawardhana dyah Suraprabhawa yang dilanjutkan pada masa Sultan Agung dari kesultanan Mataram tahun 1613.

Dalam Pararaton, Ken Arok yang kehidupannya " kacau" dan berangkat dari dunia hitam dan antagonis, dikultuskan sebagai anak Dewa Brahma yang kemudian diklaim sebagai putera Wisnu dan Syiwa sekaligus. Ia dianggap lurus dan suci dari kesalahan sebagai manusia. Gejala "premanisme" Ken Arok adalah sang fenomena sebagai persiapan atau "Kawah Candradimuka" menuju raja yang kelak bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi di mana nanti melahirkan raja-raja besar di Jawa.
Selain "sejarah yang didongengkan" terdapat juga "dongeng yang disejarahkan", pada keduanya memiliki ciri-ciri sama, yaitu berdasarkan pralambang dan prasemon. Tetapi perbedaan substansi di antara keduanya terdapat pada pada fakta historisnya. Dongeng yang disejarahkan tetap adalah "dongeng" atau folktale. Para tokoh pelakunya dibuat berdasarkan silsilah yang di-link dengan tokoh-tokoh sejarah, bahkan diberi angka tahun (candrasengkala) juga, sehingga seolah benar-benar terjadi. Dengan begitu cerita karangan akhirnya dianggap nyata, digandrungi, dikenang dan menjadi cerita tutur sampai sekarang. Mindset yang melekat kuat sebagai hasil karya pujangga itulah merupakan manifestasi keberhasilan merekonstruksi ide atau gagasan sang pujangga yang disebut dengan wewarah atau ajaran tentang mitos-filosofis yang tersimpan dalam dongeng (Timoer, 1980).

Dengan demikian muncullah pencampuradukan antara "sejarah yang didongengkan" dan "dongeng yang disejarahkan". Misalnya terdapat dalam Pararaton, Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, Pustaka Raja Purwa dan babad lainnya.
Dalam Serat Kandha juga disebut urutan-urutan nama dari Nabi Adam, Sis, Anwas, Nurcahya, Nurrasa, Sang Hyang Tunggal-Wenang (Semar), Mahabharata (termasuk Bharatayudha), Parikesit yang menurunkan para raja Jawa dan Damarwulan. Demikian seterusnya sampai dengan Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya (Poerbarjaraka, 1954).
Cara berfikir masyarakat Jawa yang unik dan " menakjubkan" utamanya pada masa lalu, tentu mewarnai dunia literasi kuna, terutama dalam penuturan dan penulisan sejarah seperti babad dan serat. Pola pikir itu yang disebut dengan othak-athik gathuk, yaitu merekonstruksikan sesuatu peristiwa satu macam menjadi bermacam-macam agar klop atau cocok (gathuk). Pada masa dulu  penyampaian suatu pesan misalnya tidak dilakukan secara terbuka atau tanpa tedeng aling-aling (eksplisit) melainkan diselubungi dengan pralambang atau prasemon yang dapat dipahami maknanya oleh kearifan si penerima pesan itu.
Pada galibnya othak-athik gathuk yang bersifat spekulatif arti positifnya adalah membanding, memadu, mengurai, menyimpulkan (to compare, combine, analyse, deduce) atau banding, padu, urai, simpul. Materi ini merupakan buah fantasi yang disebut pralambang atau prasemon.

Kisah "mitos" Damarwulan yang begitu populer dan tersebar di Jawa Timur sampai ke pulau-pulau kecilnya seperti Kangean, benar-benar lekat dan jadi mindset seolah-olah cerita itu merupakan fakta historis yang tidak terbantahkan lagi. Mereka banyak yang tidak menyadari bahwa cerita itu hasil "rekayasa sejarah" dari berbagai kepentingan utamanya kolonial. Sejarawan H.J. De Graaf mencatat bahwa dalam hikayat dari Surakarta yang ditulis pada abad XIX, Pangeran Pekik dari Surabaya dianggap penulis atau pemberi ilham berbagai sastra romantis, antara lain dalam Damarwulan. Karya ini menjadi terkenal di seluruh Jawa dalam banyak versi dengan pengembangan cerita. Sejarawan itu juga menyebutkan kisah ini sebenarnya berisi unsur-unsur mitos dan dongeng (Graaf, 2001). Dicatat juga latar belakang kisah ini berupa peperangan Majapahit dan Blambangan, sebagaimana yang terpaksa dilakukan raja-raja Surabaya pada abad XVI melawan raja-raja kafir Blambangan (Cortesao, 1994). Epos Damarwulan dalam Serat Kandha setidaknya dipengaruhi cerita panji yang populer di Jawa Timur. Karena ada tokoh dalam serat bernama Panji Inu Kertapati yang dihubungkan dengan penguasa Surabaya bernama Jayalengkara. Cerita panji ini sangat populer dan tersebar di Jawa, Bali, dan Sumatera bahkan sampai Thailand (Kieven, 2013).

Halnya dengan Layang Damarwulan yang diberi kata  pengantar oleh Dr. Labberton (1905) mencatat pendapat Dr. JLA. Brandes yang menyatakan bahwa naskah Damarwulan tertua ditranskripsikan oleh Roorda van Eysinga dalam Handboek voor Land-en Volkenkunde. Manuskrip aslinya ternyata telah hilang, akan tetapi BGKW masih memiliki naskah berupa rontal dengan teks Jawa Kuna yang isinya sama dengan teks dari Roorda. Kronogramnya menunjukkan tahun 1748 M yang tidak disebutkan penulisnya oleh Brandes. Labberton tidak memberitahukan, apakah Brandes menyebutkan nama penulis atau tahun penulisan dalam naskah Roorda itu. Ada kemungkinan tahun itu menunjukkan tahun penyalinan, sekalipun agak aneh bahwa tahun 1478, yaitu masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II (1725-1745).
Sedangkan nama Damarwulan yang ditulis dalam Serat Kandha yang semula diperkirakan dibuat era Pajang karena memuat silsilah raja-raja termasuk Jaka Tingkir, kemungkinan kuat ditulis pada era Mataram (Kertasura) antara tahun 1681-1744 (Poerbatjaraka, 1954).

Dengan demikian, dapat dibenarkan bahwa pendapat Brandes bahwa naskah yang ditranskripsikan oleh Roorda merupakan naskah tertua, yang disebut sebagai babon aslinya (Timoer, 1980). Namun antara naskah Roorda dan Serat Kandha masing-masing menunjukkan perbedaan redaksi dengan cerita Damarwulan yang dikenal secara luas.
Naskah serupa yang terkait dengan Damarwulan ditulis oleh Labberton tahun 1922 berupa prosa dengan huruf Jawa. Kemudian berupa macapat (puisi) yang ditulis-salin oleh Raden Panji Djajasoebrata yang diterbitkan Van Dorp Semarang. Dalam bentuk Langendriyan ditulis 7 jilid dengan macapat yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Selain itu Langendriyan Mandraswara yang ditulis RM. Arya Tandakusuma.
Dapat disimpulkan bahwa nama-nama peraga seperti Damarwulan, Anjasmara, Logender, Paluhamba, Minak Jingga, Layang Seta, dan  Layang Kumitir merupakan nama rekaan yang mengandung makna yang tersirat dan merupakan tokoh pralambang belaka.
Menurut Labberton, untuk mencermati itu, kita tahu bahwa  nama Ranggalawe yang dikenal sebagai kadehan dari Dyah Wijaya (Sanggramawijaya) pendiri Majapahit, adalah adipati Tuban sebelum gugur ketika makar kepada Dyah Wijaya tahun 1309 M. Kemunculan nama Ranggalawe tentu membingungkan karena muncul di kurun berbeda sebagai pahlawan yang dikirim Ratu Dyah Ayu Kencanawungu (Ratu Kenya) yang banyak diidentikkan dengan Ratu Suhita (1429 M). Apakah mungkin ini Ranggalawe II yang tidak masuk catatan sejarah.

Banyak sejarawan yang kemudian mengidentikkan bahwa Ratu Dyah Kencanawungu adalah Suhita, Minak Jingga adalah Bhre Wirabhumi sedangkan Damarwulan adalah Raden Gajah. Setting ini berangkat dari Paregreg (1404-1406) dengan motif perang suksesi. Sedangkan lakon Damarwulan berlatar belakang karena penolakan lamaran Minak Jingga. Sedangkan pada waktu peristiwa Paregreg yang bertakhta adalah Wikramawardhana, ayahanda Ratu Suhita. Jadi Bhre Wirabhumi berkehendak menuntut takhta atas Majapahit karena ia anak Hayam Wuruk dari binihaji (selir). Dari Kedhaton Wetan atau Blambangan Bhre Wirabhumi memberontak terhadap Kedhaton Kulon atau Majapahit pusat.
Wikramawardhana sendiri bukan sebagai pewaris sah takhta, melainkan yang berhak adalah Kusumawardhani, puteri Hayam Wuruk. Sebenarnya Wikramawardhana pernah turun tahta dan hidup sebagai resi ketika mangkatnya putera mahkota Bhre Wekasing Sukha dalam usia muda. Sebagai penggantinya diangkatlah puteri Suhita. Inilah yang menjadi pangkal pemberontakan Bhre Wirabhumi. Ia merasa berhak ketimbang Suhita yang hanya anak selir dari Wikramawardhana. Anak selir yang melahirkan Suhita adalah Bhre Mataram, puteri Bhre Wirabhumi sendiri. Sehingga wajar jika tokoh Bhre Wirabhumi disebut ambisius, gila kuasa, bahkan tega memerangi cucunya sendiri untuk merengkuh takhta Majapahit. Sehingga ada link yang identik antara tokoh Bhre Wirabhumi dan Minak Jingga, Raden Gajah dengan Damarwulan. Tetapi dalam sumber sejarah mainstream, yang memerangi Bhre Wirabhumi adalah Wikramawardhana, bukan Suhita. Ketika perang Paregreg meletus, akhirnya Bhre Wirabhumi mati dipenggal oleh Bhre Narapati (Raden Gajah) ketika lari menuju perahu di malam hari. Tentang identifikasi dan kemiripan lakon dan peristiwa, tidaklah semuanya mirip. Karena Raden Gajah juga akhirnya tidak jadi raja dan menikahi Suhita seperti  Damarwulan yang bernasib mujur. Nasib Raden Gajah berakhir dengan hukuman mati sebagai balasan atas pemenggalan Bhre Wirabhumi, karena Suhita adalah cucu Bhre Wirabhumi. Nah, andaikata Raden Gajah itu Prameswara sebagai suami Suhita, mengapa hukuman mati atas suaminya yang bernama Prameswara itu tidak dicatat dalam sejarah ? Selain itu menurut sejarah, Prameswara yang merupakan suami Suhita baru wafat pada tahun 1446 M atau 13 tahun sesudah Bhre Narapati (Raden Gajah) dieksekusi mati oleh Maharani Suhita.
Menurut sejarawan Dr. W.F. Stutterheim, Damarwulan adalah sosok Kertawardhana, suami dari Tribhuwanatunggadewi, yang dilukiskan sebagi Ratu Kencanawungu. Sedangkan Minak Jingga diidentikkan dengan adipati Sadeng yang makar pada Majapahit. Lalu Anjasmara merupakan selir dari Kertawardhana. Kemudian Layang Seta dan Layang Kumitir sebagai gambaran Rakryan Kembar, sebagaimana yang dicatat dalam Pararaton (Stutterheim, 1952). Penganalogian Stutterheim dengan mengambil setting Pasadeng 1331 M yang dengan figur sentral Gajah Mada yang diidentifikasi sebagai Damarwulan sebagai pemenangnya. Kembali jadi pertanyaan pada ending peristiwa, yaitu kemenangan Gajah Mada (Damarwulan ?) yang diakhiri dengan kewenangan kekuasaan sebagai Mahapatih Amangkubhumi yang mengucapkan Sumpah Palapa. Apakah kekuasaan besar dari Gajah Mada itu merupakan lambang dari naiknya Damarwulan sebagai raja ? Kita hanya bisa menerka-nerka. Tetapi bisa jadi Damarwulan sama dengan Kertawardhana, tetapi tidak cocok dengan Gajah Mada. Begitu juga dengan Ranggalawe, meskipun dalam kedudukan yang sama sebagai adipati Tuban, tidak jelas siapa sebenarnya, mungkin hanya sebagai tokoh simbolis saja.
Intinya, para tokoh dan peraga dalam lakon Damarwulan hanya simbolis, bukanlah tokoh sejarah.

Bila pendapat ini bisa diterima, bisa disimpulkan bahwa kisah Damarwulan hanya mitos, bukan peristiwa sejarah. Sang pujangga mendapat inspirasi dari peristiwa Paregreg (1404-1406) dan Pasadeng (1331) atau salah satunya. Usaha untuk mengaitkan dengan sejarah akan sia-sia belaka, malah justru mengaburkan amanat atau misi dari sang pujangga itu sendiri.
Biarlah mitos Damarwulan tetap bersemayam di hati masyarakat, karena bagaimanapun juga merupakan cerminan karakter kita dan keragaman budaya Nusantara yang berbasis local genius.