Kode Iklan

Rabu, 06 April 2016

DAMAR WULAN, FAKTA APA MITOS ?

Oleh : Zainollah Ahmad

Polemik panjang tentang "historiografi" yang berkisar pada kisah Damarwulan terus bergulir hingga sekarang. Sepertinya masyarakat awam sulit untuk menolak kisah ini sebagai suatu cerita rekaan. Mereka sangat yakin bahwa kisah ini memang fakta historis karena bisa dibuktikan dengan hardfact berbagai petilasan, makam, toponimi dan sebagainya yang ada di berbagai tempat. Padahal kemunculan cerita babad dan serat itu marak di kala penjajahan kolonial (VOC) yang di antaranya melalui propaganda dengan mendistorsi atau mereduksi sejarah kita. Misi terselubung itu memanfaatkan potensi cerita tutur khususnya di Jawa. Sehingga dimasukkanlah propaganda lewat tulisan pujangga yang terkadang tidak steril dari kepentingan kolonial. Tujuannya untuk membuat sengkarut lewat politik devide et impera. Melalui intrik antar bangsawan di Mataram yang melahirkan chaos dan perang, literasi babad makin menjamur, khususnya ketika maraknya perlawanan di wilayah Java Oesthoek.
Tradisi lisan rakyat Indonesia, utamanya suku Jawa, yang terkenal kaya akan fantasi menimbulkan kecenderungan untuk mengirrasionalkan segalanya. Zaman dahulu ketika masih kuatnya tradisi klasik nenek moyang, lahirlah mitos, kultus, takhayul yang timbul dari fantasi dan bermuara dengan kemunculan mitos yang dibungkus folktale dan folklore.

Pemberitaan tentang suatu kejadian atau peristiwa yang telah lampau seperti penuturan sejarah misalnya banyak dibumbui dengan mitos, kultus atau takhayul, penuh dengan perlambang atau prasemon, sehingga terjadilah justifikasi atau pembenaran bahwa itu kenyataan yang dibuat dalam versi dongeng. Kiranya proses penciptaan babad, serat, dan sebagainya bisa dikatakan "sejarah yang didongengkan". Sejarah yang didongengkan itu berangkat dari fakta historis. Perlambang atau prasemon-nya berfungsi untuk mendistorsi segi-segi yang kurang pas, agar lebih baik dan sempurna. Contoh sejarah yang didongengkan bertujuan untuk memperbagus atau mempersopan kandungan kisah, misalnya kehidupan Ken Arok dalam serat Pararaton (Brandes, 1920) yang dibuat pada tahun 1481 M sekitar masa raja Majapahit Singhawikramawardhana dyah Suraprabhawa yang dilanjutkan pada masa Sultan Agung dari kesultanan Mataram tahun 1613.

Dalam Pararaton, Ken Arok yang kehidupannya " kacau" dan berangkat dari dunia hitam dan antagonis, dikultuskan sebagai anak Dewa Brahma yang kemudian diklaim sebagai putera Wisnu dan Syiwa sekaligus. Ia dianggap lurus dan suci dari kesalahan sebagai manusia. Gejala "premanisme" Ken Arok adalah sang fenomena sebagai persiapan atau "Kawah Candradimuka" menuju raja yang kelak bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi di mana nanti melahirkan raja-raja besar di Jawa.
Selain "sejarah yang didongengkan" terdapat juga "dongeng yang disejarahkan", pada keduanya memiliki ciri-ciri sama, yaitu berdasarkan pralambang dan prasemon. Tetapi perbedaan substansi di antara keduanya terdapat pada pada fakta historisnya. Dongeng yang disejarahkan tetap adalah "dongeng" atau folktale. Para tokoh pelakunya dibuat berdasarkan silsilah yang di-link dengan tokoh-tokoh sejarah, bahkan diberi angka tahun (candrasengkala) juga, sehingga seolah benar-benar terjadi. Dengan begitu cerita karangan akhirnya dianggap nyata, digandrungi, dikenang dan menjadi cerita tutur sampai sekarang. Mindset yang melekat kuat sebagai hasil karya pujangga itulah merupakan manifestasi keberhasilan merekonstruksi ide atau gagasan sang pujangga yang disebut dengan wewarah atau ajaran tentang mitos-filosofis yang tersimpan dalam dongeng (Timoer, 1980).

Dengan demikian muncullah pencampuradukan antara "sejarah yang didongengkan" dan "dongeng yang disejarahkan". Misalnya terdapat dalam Pararaton, Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, Pustaka Raja Purwa dan babad lainnya.
Dalam Serat Kandha juga disebut urutan-urutan nama dari Nabi Adam, Sis, Anwas, Nurcahya, Nurrasa, Sang Hyang Tunggal-Wenang (Semar), Mahabharata (termasuk Bharatayudha), Parikesit yang menurunkan para raja Jawa dan Damarwulan. Demikian seterusnya sampai dengan Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya (Poerbarjaraka, 1954).
Cara berfikir masyarakat Jawa yang unik dan " menakjubkan" utamanya pada masa lalu, tentu mewarnai dunia literasi kuna, terutama dalam penuturan dan penulisan sejarah seperti babad dan serat. Pola pikir itu yang disebut dengan othak-athik gathuk, yaitu merekonstruksikan sesuatu peristiwa satu macam menjadi bermacam-macam agar klop atau cocok (gathuk). Pada masa dulu  penyampaian suatu pesan misalnya tidak dilakukan secara terbuka atau tanpa tedeng aling-aling (eksplisit) melainkan diselubungi dengan pralambang atau prasemon yang dapat dipahami maknanya oleh kearifan si penerima pesan itu.
Pada galibnya othak-athik gathuk yang bersifat spekulatif arti positifnya adalah membanding, memadu, mengurai, menyimpulkan (to compare, combine, analyse, deduce) atau banding, padu, urai, simpul. Materi ini merupakan buah fantasi yang disebut pralambang atau prasemon.

Kisah "mitos" Damarwulan yang begitu populer dan tersebar di Jawa Timur sampai ke pulau-pulau kecilnya seperti Kangean, benar-benar lekat dan jadi mindset seolah-olah cerita itu merupakan fakta historis yang tidak terbantahkan lagi. Mereka banyak yang tidak menyadari bahwa cerita itu hasil "rekayasa sejarah" dari berbagai kepentingan utamanya kolonial. Sejarawan H.J. De Graaf mencatat bahwa dalam hikayat dari Surakarta yang ditulis pada abad XIX, Pangeran Pekik dari Surabaya dianggap penulis atau pemberi ilham berbagai sastra romantis, antara lain dalam Damarwulan. Karya ini menjadi terkenal di seluruh Jawa dalam banyak versi dengan pengembangan cerita. Sejarawan itu juga menyebutkan kisah ini sebenarnya berisi unsur-unsur mitos dan dongeng (Graaf, 2001). Dicatat juga latar belakang kisah ini berupa peperangan Majapahit dan Blambangan, sebagaimana yang terpaksa dilakukan raja-raja Surabaya pada abad XVI melawan raja-raja kafir Blambangan (Cortesao, 1994). Epos Damarwulan dalam Serat Kandha setidaknya dipengaruhi cerita panji yang populer di Jawa Timur. Karena ada tokoh dalam serat bernama Panji Inu Kertapati yang dihubungkan dengan penguasa Surabaya bernama Jayalengkara. Cerita panji ini sangat populer dan tersebar di Jawa, Bali, dan Sumatera bahkan sampai Thailand (Kieven, 2013).

Halnya dengan Layang Damarwulan yang diberi kata  pengantar oleh Dr. Labberton (1905) mencatat pendapat Dr. JLA. Brandes yang menyatakan bahwa naskah Damarwulan tertua ditranskripsikan oleh Roorda van Eysinga dalam Handboek voor Land-en Volkenkunde. Manuskrip aslinya ternyata telah hilang, akan tetapi BGKW masih memiliki naskah berupa rontal dengan teks Jawa Kuna yang isinya sama dengan teks dari Roorda. Kronogramnya menunjukkan tahun 1748 M yang tidak disebutkan penulisnya oleh Brandes. Labberton tidak memberitahukan, apakah Brandes menyebutkan nama penulis atau tahun penulisan dalam naskah Roorda itu. Ada kemungkinan tahun itu menunjukkan tahun penyalinan, sekalipun agak aneh bahwa tahun 1478, yaitu masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II (1725-1745).
Sedangkan nama Damarwulan yang ditulis dalam Serat Kandha yang semula diperkirakan dibuat era Pajang karena memuat silsilah raja-raja termasuk Jaka Tingkir, kemungkinan kuat ditulis pada era Mataram (Kertasura) antara tahun 1681-1744 (Poerbatjaraka, 1954).

Dengan demikian, dapat dibenarkan bahwa pendapat Brandes bahwa naskah yang ditranskripsikan oleh Roorda merupakan naskah tertua, yang disebut sebagai babon aslinya (Timoer, 1980). Namun antara naskah Roorda dan Serat Kandha masing-masing menunjukkan perbedaan redaksi dengan cerita Damarwulan yang dikenal secara luas.
Naskah serupa yang terkait dengan Damarwulan ditulis oleh Labberton tahun 1922 berupa prosa dengan huruf Jawa. Kemudian berupa macapat (puisi) yang ditulis-salin oleh Raden Panji Djajasoebrata yang diterbitkan Van Dorp Semarang. Dalam bentuk Langendriyan ditulis 7 jilid dengan macapat yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Selain itu Langendriyan Mandraswara yang ditulis RM. Arya Tandakusuma.
Dapat disimpulkan bahwa nama-nama peraga seperti Damarwulan, Anjasmara, Logender, Paluhamba, Minak Jingga, Layang Seta, dan  Layang Kumitir merupakan nama rekaan yang mengandung makna yang tersirat dan merupakan tokoh pralambang belaka.
Menurut Labberton, untuk mencermati itu, kita tahu bahwa  nama Ranggalawe yang dikenal sebagai kadehan dari Dyah Wijaya (Sanggramawijaya) pendiri Majapahit, adalah adipati Tuban sebelum gugur ketika makar kepada Dyah Wijaya tahun 1309 M. Kemunculan nama Ranggalawe tentu membingungkan karena muncul di kurun berbeda sebagai pahlawan yang dikirim Ratu Dyah Ayu Kencanawungu (Ratu Kenya) yang banyak diidentikkan dengan Ratu Suhita (1429 M). Apakah mungkin ini Ranggalawe II yang tidak masuk catatan sejarah.

Banyak sejarawan yang kemudian mengidentikkan bahwa Ratu Dyah Kencanawungu adalah Suhita, Minak Jingga adalah Bhre Wirabhumi sedangkan Damarwulan adalah Raden Gajah. Setting ini berangkat dari Paregreg (1404-1406) dengan motif perang suksesi. Sedangkan lakon Damarwulan berlatar belakang karena penolakan lamaran Minak Jingga. Sedangkan pada waktu peristiwa Paregreg yang bertakhta adalah Wikramawardhana, ayahanda Ratu Suhita. Jadi Bhre Wirabhumi berkehendak menuntut takhta atas Majapahit karena ia anak Hayam Wuruk dari binihaji (selir). Dari Kedhaton Wetan atau Blambangan Bhre Wirabhumi memberontak terhadap Kedhaton Kulon atau Majapahit pusat.
Wikramawardhana sendiri bukan sebagai pewaris sah takhta, melainkan yang berhak adalah Kusumawardhani, puteri Hayam Wuruk. Sebenarnya Wikramawardhana pernah turun tahta dan hidup sebagai resi ketika mangkatnya putera mahkota Bhre Wekasing Sukha dalam usia muda. Sebagai penggantinya diangkatlah puteri Suhita. Inilah yang menjadi pangkal pemberontakan Bhre Wirabhumi. Ia merasa berhak ketimbang Suhita yang hanya anak selir dari Wikramawardhana. Anak selir yang melahirkan Suhita adalah Bhre Mataram, puteri Bhre Wirabhumi sendiri. Sehingga wajar jika tokoh Bhre Wirabhumi disebut ambisius, gila kuasa, bahkan tega memerangi cucunya sendiri untuk merengkuh takhta Majapahit. Sehingga ada link yang identik antara tokoh Bhre Wirabhumi dan Minak Jingga, Raden Gajah dengan Damarwulan. Tetapi dalam sumber sejarah mainstream, yang memerangi Bhre Wirabhumi adalah Wikramawardhana, bukan Suhita. Ketika perang Paregreg meletus, akhirnya Bhre Wirabhumi mati dipenggal oleh Bhre Narapati (Raden Gajah) ketika lari menuju perahu di malam hari. Tentang identifikasi dan kemiripan lakon dan peristiwa, tidaklah semuanya mirip. Karena Raden Gajah juga akhirnya tidak jadi raja dan menikahi Suhita seperti  Damarwulan yang bernasib mujur. Nasib Raden Gajah berakhir dengan hukuman mati sebagai balasan atas pemenggalan Bhre Wirabhumi, karena Suhita adalah cucu Bhre Wirabhumi. Nah, andaikata Raden Gajah itu Prameswara sebagai suami Suhita, mengapa hukuman mati atas suaminya yang bernama Prameswara itu tidak dicatat dalam sejarah ? Selain itu menurut sejarah, Prameswara yang merupakan suami Suhita baru wafat pada tahun 1446 M atau 13 tahun sesudah Bhre Narapati (Raden Gajah) dieksekusi mati oleh Maharani Suhita.
Menurut sejarawan Dr. W.F. Stutterheim, Damarwulan adalah sosok Kertawardhana, suami dari Tribhuwanatunggadewi, yang dilukiskan sebagi Ratu Kencanawungu. Sedangkan Minak Jingga diidentikkan dengan adipati Sadeng yang makar pada Majapahit. Lalu Anjasmara merupakan selir dari Kertawardhana. Kemudian Layang Seta dan Layang Kumitir sebagai gambaran Rakryan Kembar, sebagaimana yang dicatat dalam Pararaton (Stutterheim, 1952). Penganalogian Stutterheim dengan mengambil setting Pasadeng 1331 M yang dengan figur sentral Gajah Mada yang diidentifikasi sebagai Damarwulan sebagai pemenangnya. Kembali jadi pertanyaan pada ending peristiwa, yaitu kemenangan Gajah Mada (Damarwulan ?) yang diakhiri dengan kewenangan kekuasaan sebagai Mahapatih Amangkubhumi yang mengucapkan Sumpah Palapa. Apakah kekuasaan besar dari Gajah Mada itu merupakan lambang dari naiknya Damarwulan sebagai raja ? Kita hanya bisa menerka-nerka. Tetapi bisa jadi Damarwulan sama dengan Kertawardhana, tetapi tidak cocok dengan Gajah Mada. Begitu juga dengan Ranggalawe, meskipun dalam kedudukan yang sama sebagai adipati Tuban, tidak jelas siapa sebenarnya, mungkin hanya sebagai tokoh simbolis saja.
Intinya, para tokoh dan peraga dalam lakon Damarwulan hanya simbolis, bukanlah tokoh sejarah.

Bila pendapat ini bisa diterima, bisa disimpulkan bahwa kisah Damarwulan hanya mitos, bukan peristiwa sejarah. Sang pujangga mendapat inspirasi dari peristiwa Paregreg (1404-1406) dan Pasadeng (1331) atau salah satunya. Usaha untuk mengaitkan dengan sejarah akan sia-sia belaka, malah justru mengaburkan amanat atau misi dari sang pujangga itu sendiri.
Biarlah mitos Damarwulan tetap bersemayam di hati masyarakat, karena bagaimanapun juga merupakan cerminan karakter kita dan keragaman budaya Nusantara yang berbasis local genius.

Rabu, 16 Maret 2016

MITOS DAMARWULAN DI JEMBER YANG DIBUNGKUS FAKTA SEJARAH ?

Oleh : Yebqi Farhan

    Mungkin kita agak kaget jika mendengar tentang fenomena Damarwulan dalam perspektif sejarah lokal, yang di antaranya muncul dari cerita tutur masyarakat Dusun Paluombo (Polo Ombo), Sumbersalak, Ledokombo, termasuk beberapa tempat di Jember. Tetapi memang begitulah fakta keberadaan folklor tersebut.
Dari hasil penelitian tentang cerita tutur yang ada di Paluombo tersebut, diceritakan bahwa pada zaman dahulu terdapat keluarga dari Majapahit yang berkelana dan menetap di sebuah daerah yang sekarang bernama Dusun Paluombo. Keturunan dinasti Majapahit itu bernama Raden Palu Hamba (ditambah 'Raden' sebagai gelar yang banyak digunakan dalam cerita mitos).

     Sebagaimana yang kita ketahui tentang kisah Damarwulan dan Minak Jingga yang dianggap mitos, muncul dalam setting sejarah Majapahit dalam "Serat Kanda" dan "Serat Damarwulan". Sehingga banyak yang percaya bahwa kisah ini benar-benar terjadi.
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 M di daerah bekas hutan Tarik (sekarang menjadi wilayah Trowulan, Mojokerto). Hutan Tarik merupakan hadiah dari raja Kadiri, Jayakatwang. Karena Raden Wijaya disuruh mengabdi kepada raja Jayakatwang oleh sahabatnya yaitu Arya Wiraraja. Walaupun pengabdian ini hanya merupakan siasat yang harus dilakukan atas anjuran Adipati Sumenep tersebut. Arya Wiraraja merupakan bekas seorang pejabat berpangkat Demung Nayapati yang dipecat oleh Kertanegara dari Singhasari.

      Konon, Raden Palu Hamba memiliki seorang puteri cantik yang kemudian diambil isteri seorang patih Majapahit yang bernama Patih Udara (apa terkait dengan Pate Mahodra versi Suma Oriental ?). Karena banyak tugas yang harus diselesaikan di Majapahit dan adanya kemelut politik di sana, Patih Udara menitipkan isterinya yang sedang hamil kepada mertuanya tersebut. Tidak lama setelah singgah di kediaman mertuanya yaitu Raden Palu Hamba, ternyata isterinya tersebut kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Damarwulan. Damarwulan menurut penuturan dari juru kunci petilasan Paluombo, dibesarkan di kediaman Palu Hamba sampai dewasa dan diajari berbagai ilmu kanuragan oleh kakeknya tersebut. Jadi Damarwulan juga menjadi murid dari Palu Hamba. Seiring dengan berjalannya waktu, Damarwulan tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah serta berilmu tinggi yang disegani. 

     Pada suatu saat di Majapahit terjadi krisis kepemimpinan karena adanya  perebutan kekuasaan, akhirnya Damarwulan ditugaskan ke Majapahit. Di ibu kota, Damarwulan tidak langsung ditempatkan di istana melainkan dititipkan di rumah saudara Patih Udara. Penitipan Damarwulan ini bertujuan untuk menyelamatkan Damarwulan dari gangguan saudara-saudaranya yang juga ingin menjadi penguasa atau pemangku jabatan penting di Majapahit. Karena memiliki banyak  kelebihan, akhirnya Damarwulan diangkat menjadi panglima perang.
Kalau kita hubungkan dengan cerita rakyat yang populer dari Serat Damarwulan, maka cerita tutur ini juga mirip dengan legenda Damarwulan-Minak Jingga tersebut. Sebagaimana kita ketahui, Minak Jingga memiliki ambisi dan keinginan untuk meluaskan kerajaan Blambangan dan ingin menjadi penguasa Tanah Jawa. Ia menyiapkan sebuah rencana pemberontakan kepada Majapahit untuk menjadi maharaja di sana. Ketika Minak Jingga angkat senjata, Damarwulan tampil ke depan memimpin tentara Majapahit. Berbekal kesaktian serta ketulusan pengabdiannya kepada Ratu Ayu Kencanawungu, maka Damarwulan berhasil menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh raja  Blambangan tersebut. Akhir dari cerita ini Damarwulan menjadi raja di Majapahit sekaligus menjadikan sang Ratu Kencanawungu dan Dewi Anjasmara sebagai permaisurinya. 
Korelasi fakta sejarah dengan cerita atau mitos Damarwulan di atas sebagaimana paparan di bawah ini.
Beberapa catatan dalam buku sejarah seperti dalam karya Thomas Stamford Raffles (The History of Java) memang menyebutkan tentang keberadaan Damarwulan. Akan tetapi para sejarawan menolak dan  tidak sedikit orang yang menyebutkan bahwa Damarwulan hanyalah merupakan sebuah cerita rakyat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Karena berdasarkan dari cerita Serat Kandha dan Serat Damarwulan yang merupakan distorsi pada Perang Paregreg di Majapahit tahun 1401-1403 M. Sosok Minak Jingga disamakan dengan Bhre Wirabhumi raja Blambangan yang dipenggal lehernya oleh Raden Gajah.
Mitos ini konon dibuat untuk membunuh karakter atau mendiskreditkan rakyat Blambangan yang memberontak melawan VOC dalam Puputan Bayu. Cerita dalam serat tersebut dibuat oleh pujangga Kertasura (Mataram) yang merupakan antek Belanda pada abad XVIII. Awalnya cerita Damarwulan biasanya dipertunjukkan dalam pentas  Langendriyan di istana, kemudian dipopulerkan dalam ketoprak dan ludruk, sehingga menjadi mindset masyarakat yang tidak luntur hingga kini.
Penelitian tentang cerita tutur Damarwulan di Paluombo ini, menurut penulis merupakan fakta adanya mitos tersebut.Nah, apakah bisa dibuktikan secara komparatif dengan fakta sejarah yang ada. Misalnya dengan adanya sumber-sumber sebagi berikut : 

1. Dalam Babad Blambangan yang merupakan karya KRT. Natadiningrat menyebutkan dalam pupuh 80, bahwa Damarwulan memang benar-benar dititipkan kepada Palu Hamba sampai Damarwulan dewasa. Babad Blambangan tidak hanya membahas sampai di situ. Tetapi setelah Damarwulan berhasil menumpas peberontakan Minak Jingga, ia juga sekaligus memperisteri Ratu Kencanawungu dan Dewi Anjasmara.
2. Buku The History of Java yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles juga mencatatnya. Disebutkan bahwa Damarwulan sempat menjadi raja di Majapahit dan beristeri Ratu Kencanawungu yang bergelar Ratu Kenya.
3. Syair lagu Babad Damarwulan yang dinyanyikan oleh penyanyi Gombloh di tahun 1978 menyebutkan bahwa Damarwulan merupakan putera kesayangan dari Patih Udara. Sedangkan di Majapahit sendiri juga mencatat bahwa salah satu patih di kerajaan Majapahit bernama Patih Udara (dalam buku Tome Pires). Syair itu juga mencatat bahwa Damarwulan merupakan murid dari Palu Hamba yang sakti mandraguna.
4. Sepeninggal Palu Hamba di Dusun Paluombo, dibangunlah sebuah "petilasan" di bawah pohon besar yang ada sampai sekarang di sana.
Cerita legendaris Damarwulan dan Minak Jingga sangat terkenal di Indonesia. Terutama di Jawa Timur bagian timur. Nah, dari cerita itulah nama Palu Hamba sangat populer di Paluombo. Desa Sumbersalak, Kecamatan Ledokombo Kabupaten  Jember. Hingga kemudian  sepeninggal Palu Hamba tempat tersebut dinamakan Dusun Palu Amba, oleh karena logat yang menghuni wilayah itu mayoritas dari etnis Madura. Sekarang masyarakat sekitar menyebutkannya dengan Paluombo atau Polo Ombo
Kalau kita ingin menikmati pesona alam di Ledokombo, ada sekitar lima buah air terjun yang tiga di antaranya diberi nama mengambil dari kisah Damarwulan yang dipercaya di sana. Nama air terjun itu ialah Damarwulan I, Damarwulan II dan Anjasmara.

   Legenda Damarwulan begitu kuat dalam memori kolektif masyarakat  Jember, sehingga banyak yang menyebut sebagai suatu fakta sejarah. Beberapa penemuan lain di samping di Paluombo yang juga  dianggap 'bukti arkeologis' adalah adanya petilasan atau kuburan tokoh epik dari kisah Damarwulan yaitu Patih Logender. Disebutkan bahwa kuburan patih Majapahit yang merupakan ayah dari Layang Seta, Layang Kumitir dan Anjasmara terdapat di Dusun Loh Gender (Gender), Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember. Kuburan ini dikeramatkan oleh penduduk di sana karena diyakini sebagai kuburan patih yang legendaris tersebut. 

     Lain yang ada di Paluombo dan Loh Gender, cerita tentang tokoh mitos populer ini juga muncul di Dusun Kumitir, Desa Kamal, Kecamatan Arjasa, yang berdekatan dengan Situs Doplang (situs purbakala). Di sana konon merupakan tempat meninggalnya Layang Kumitir saudara Layang Seta yang pernah bertarung dengan Damarwulan. Selain itu masih di Jember, beberapa tempat disebutkan sebagai pemandian dari Damarwulan seperti di Mumbulsari, petilasan Patih Logender di Kalisat dan tempat lainnya.
Keberadaan cerita mitos Damarwulan ini juga dibahas dalam buku historiografi Jember  Topographia Sacra, Menelusuri Jejak Sejarah Jember Kuno yang ditulis oleh Zainollah Ahmad.

Berikut gambar petilasan Damarwulan, di Dusun Polo Ombo, Desa Sumber  Salak, Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember (gbr. atas).



Komplek makam yang terdapat kuburan Patih Logender di Dusun (Loh) Gender, Klungkung, Kecamatan Sukorambi (gbr. bawah).