Kode Iklan

Rabu, 18 November 2015

QUO VADIS HISTORIOGRAFI JEMBER ?









Setelah di-launching di toko buku Gramedia dan Toga Mas Jember khususnya, buku TOPOGRAPHIA SACRA, MENELUSURI JEJAK SEJARAH JEMBER KUNO mendapat respon positif. Buku ini menurut pengakuan karyawan di dua toko buku ini “laris manis”, yang menunjukkan indikasi bahwa masyarakat pecinta sejarah di kota Jember sangat menunggu kehadiran buku-buku bermutu tentang Jember. Semoga masyarakat pecinta sejarah di kota lain juga demikian adanya.
 
Buku dengan ukuran 14 x 20,5 cm dan jumlah 284 halaman disertai pula dengan foto-foto menarik yang terkait tentang Jember. Buku ini diterbitkan oleh sebuah penerbit cukup terkenal (Araska Group) berlokasi di Yogyakarta yang banyak menerbitkan buku-buku sejarah bermutu. Sehingga diharapkan buku ini bisa menjadi buku texbook atau buku babon, karena merupakan rintisan penulisan historiografi pertama yang cukup lengkap tentang Jember kuno.

Menurut seorang teman, buku ini bisa disebut sebagai “Babad Jember Modern” yang tentunya ditulis dengan metode dan kaidah penulisan historiografi modern dengan mengacu pada sumber kepustakaan yang komprehensif hasil karya para pakar “masterpiece” di bidangnya. Buku ini hadir di tengah gersangnya literasi historisitas Jember yang masih dibelenggu kejumudan dan keengganan sejarawan menyentuh sejarah kuno. Selain itu keberadaan buku ini sebagai penyeimbang atau antitesis pada literasi “afdeling oriented” yang selama ini menjadi ‘trade mark’ penulisan sejarah tentang Jember.

Di awal bab buku, gugatan abadi terhadap hasil kompromi pemangku kebijakan Kabupaten Jember di masa yang meloloskan hari jadi Jember bertanggal 1 Januari 1929, berdasarkan Staatblad 322 produk penjajah kolonial yang mengundang kontroversi dan menyimpang dari kaidah hukum, baik positif maupun tatanegara. Secara ‘cetho welo-welo’ Belanda telah merendahkan martabat rakyat Jember dengan Staatblad 322 karena di balik itu telah diberlakukan juga Indische Staatgeling, suatu Undang-Undang Tanah Jajahan yang membelenggu kita. Anehnya para stakehoulder yang menggodok sejarah hari jadi tidak faham atau mungkin terlalu naif dalam mencermati ini. Beruntung, pemerintah Jember cepat sadar dan membentuk tim untuk merevieuw sejarah hari jadi Jember. Penulis yang selalu getol mengkritisi tentang sejarah hari jadi Jember juga dilibatkan dalam tim kajian tersebut. Selain itu, nama beberapa sejarawan Jember yang terlibat adalah Dr. Edi Burhan, Dr. Retno Winarni, Drs. Nurhadi Sasmita, Drs. Parwata, Y. Setiyo Hadi, Drs. Indra G. Mertowidjojo, Dra. Ratna Widoewatie dan Ria Sukariyadi. 

Di bagian tubuh buku, mengupas sejarah Jember yang dimulai pada peradaban hematite “rock shelter” pada sekitar tahun 10.000 BC, yang diteliti oleh van Heekeren di gua-gua karst di Gunung Watangan sampai dengan era Kerajaan Blambangan dan basis para lanun dan smokelaars di Nusa Barong yang menjadi basis mereka sampai ditaklukkan VOC pada tahun 1777. Selain itu keunikan dan kekhasan Jember yang menjadi lokasi keberadaan patung Buddha tertua berlanggam Amarawati dari India Selatan di Kutha Blater menjadi misteri tentang peradaban “the lost word” di kawasan apa yang disebut dengan “The Kingdom of O Valley” antara lembah Gunung Raung dan gunung suci Argopuro.
Kemudian tentang potensi kekayaan historis beberapa lokasi di Gunung Argopuro yang menyimpan peradaban era Megalitik dan klasik (masa purba-klasik) serta kawasan Jember timur dengan beragam artefak masa nirlekha. Juga teka-teki tentang prasasti-prasasti enigmatik dari situs Batu Gong di Rambipuji dan Congapan di Karang Bayat Sumberbaru, menjadi pertanyaan kunci dari para sejarawan sekelas W.F. Stutterheim dan M.M. Sukarto Karto Atmodjo yang belum menemukan ‘sisik melik’, kaitannya dengan kerajaan konsentris khususnya di Jawa pada era Klasik. Seperti keberanian penulis yang mencoba meng-link up ke pembabakan era Medang Mataram dan Kahuripan tentang keberadaan beberapa prasasti tersebut.

Beberapa peristiwa penting di masa Majapahit seperti Pasadeng 1331 M dan Paregreg  1401-1403 yang menyisakan misteri besar dan polemik dikupas secara kritis. Teka-teki tentang lokasi keberadaan ibukota Blambangan ketika di Jember, tepatnya di Kedawung menjadi ulasan yang tidak pernah kering untuk dicermati, termasuk dalam buku ini. Nama Kedawung seperti di-faith acompli oleh sejarawan lokal berada di Kutha Kedawung Paleran, yang sebenarnya harus dikaji ulang kembali. Selain itu perdebatan terkait dengan eksistensi kerajaan Lamajang dan Tigang Juru yang masih dini dan dianggap belum "ber-nomenklatur" oleh penulis. Tapi sudah mendapat klaim luar biasa karena adanya 'vested interest' dengan mendistorsi fakta sejarah yang belum jelas. Menariknya, wilayah Blambangan yang sangat luas tersebut masih bisa disebut utuh dengan adanya beberapa daerah vassal yang berselisih dan terpecah-pecah dengan ketidakjelasan wilayahnya.

Selain itu, hal yang tak kalah menarik adalah hasil analisis penulis tentang peristiwa ‘pilgrim’ Rajasanegara (Hayam Wuruk) pada tarikh Sasangka Nagarawi – 1281 Saka atau 1359 Masehi, yang jatuh pada tanggal 18 September 1359 ketika raja ini menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Cakru atau Kasogatan Bajraka (identifikasi menurut Dr. Nigel Bullough). Beberapa tempat yang disinggahi di antaranya seperti Sadeng, Sarampwan, Kunir Basini, Kutha Bacok, Renes, Balung, dsb.nya. Ada juga tempat yang diidentifikasi sebagai lokasi yang kontroversi karena memiliki kesamaan nama seperti Lurah Balater yang disamakan dengan Kutha Blater. Atau Kunir Basini (Puger) yang disamakan dengan Kunir (Lumajang).
Peristiwa penting ini menunjukkan bahwa Jember bernilai strategis secara politis, ekonomi dan militer di mata pusat (Majapahit). Karena kunjungan ke tatar Sadeng ini cukup lama dengan melewati sekitar 25 titik lokasi yang berada di Kabupaten Jember. Beberapa abad kemudian seorang yang mempunyai nama samaran Ameng Layaran alias Bujangga Manik dari tatar sunda, juga ikut ‘journey’ ke wilayah Jember dan singgah di kawasan selatan Jember yang eksotik. Ia sangat tertarik dengan, Cakru, Srampon (Sarampwan), Padang Alun dan Sadeng, dll.nya sebagai daerah-daerah yang mempunyai memori historis bagi penguasa sebelumnya.

Pada bagian akhir buku dijlentrehkan juga tentang temuan-temuan arkeologi yang terkait dengan peninggalan era Majapahit atau (mungkin juga Blambangan) yang selama ini tidak pernah diekspos, karena ini merupakan hasil ekspedisi dari teman-teman Forum Komunitas BHATTARA SAPTAPRABHU. Last but not least, pada akhirnya juga mitos akan tetap menjadi bagian yang tidak pernah terpisahkan dari suatu daerah, termasuk Jember. Keragaman mitos seperti Bande Alit, Situs Beteng Semboro, Sembah Demang dan Damarwulan, dan lainnya sangat kental dan masih terpatri di sebagian masyarakat bagi yang mempercayainya.

Dengan terbit dan beredarnya buku ini, terima kasih kepada masyarakat pecinta sejarah khususnya warga Jember di manapun berada, atas atensi dan kepedulian pada sejarahnya. Juga apresiasi kepada penerbit Araska Group yang telah menerbitkan naskah ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Juga tidak lupa ucapan terima kasih dan apresiasi kepada rekan-rekan Forum Komunitas BHATTARA SAPTAPRABHU dan rekan pegiat sejarah lainnya yang ikut memberikan sumbangsih. Kepada teman-teman dan group di media khususnya FACEBOOK dan jejaring sosial yang juga turut mem-publish buku dalam status penulis.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan konten buku, penulis menyampaikan permohonan ma'af. Untuk itu, saran terutama kritik yang konstruktif sangat diharapkan. Semoga buku ini bisa menambah khazanah pengetahuan serta mengangkat nama kota Jember tercinta. Amien. (Bhattara Saptaprabhu, 2015).