Kode Iklan

Rabu, 18 November 2015

QUO VADIS HISTORIOGRAFI JEMBER ?









Setelah di-launching di toko buku Gramedia dan Toga Mas Jember khususnya, buku TOPOGRAPHIA SACRA, MENELUSURI JEJAK SEJARAH JEMBER KUNO mendapat respon positif. Buku ini menurut pengakuan karyawan di dua toko buku ini “laris manis”, yang menunjukkan indikasi bahwa masyarakat pecinta sejarah di kota Jember sangat menunggu kehadiran buku-buku bermutu tentang Jember. Semoga masyarakat pecinta sejarah di kota lain juga demikian adanya.
 
Buku dengan ukuran 14 x 20,5 cm dan jumlah 284 halaman disertai pula dengan foto-foto menarik yang terkait tentang Jember. Buku ini diterbitkan oleh sebuah penerbit cukup terkenal (Araska Group) berlokasi di Yogyakarta yang banyak menerbitkan buku-buku sejarah bermutu. Sehingga diharapkan buku ini bisa menjadi buku texbook atau buku babon, karena merupakan rintisan penulisan historiografi pertama yang cukup lengkap tentang Jember kuno.

Menurut seorang teman, buku ini bisa disebut sebagai “Babad Jember Modern” yang tentunya ditulis dengan metode dan kaidah penulisan historiografi modern dengan mengacu pada sumber kepustakaan yang komprehensif hasil karya para pakar “masterpiece” di bidangnya. Buku ini hadir di tengah gersangnya literasi historisitas Jember yang masih dibelenggu kejumudan dan keengganan sejarawan menyentuh sejarah kuno. Selain itu keberadaan buku ini sebagai penyeimbang atau antitesis pada literasi “afdeling oriented” yang selama ini menjadi ‘trade mark’ penulisan sejarah tentang Jember.

Di awal bab buku, gugatan abadi terhadap hasil kompromi pemangku kebijakan Kabupaten Jember di masa yang meloloskan hari jadi Jember bertanggal 1 Januari 1929, berdasarkan Staatblad 322 produk penjajah kolonial yang mengundang kontroversi dan menyimpang dari kaidah hukum, baik positif maupun tatanegara. Secara ‘cetho welo-welo’ Belanda telah merendahkan martabat rakyat Jember dengan Staatblad 322 karena di balik itu telah diberlakukan juga Indische Staatgeling, suatu Undang-Undang Tanah Jajahan yang membelenggu kita. Anehnya para stakehoulder yang menggodok sejarah hari jadi tidak faham atau mungkin terlalu naif dalam mencermati ini. Beruntung, pemerintah Jember cepat sadar dan membentuk tim untuk merevieuw sejarah hari jadi Jember. Penulis yang selalu getol mengkritisi tentang sejarah hari jadi Jember juga dilibatkan dalam tim kajian tersebut. Selain itu, nama beberapa sejarawan Jember yang terlibat adalah Dr. Edi Burhan, Dr. Retno Winarni, Drs. Nurhadi Sasmita, Drs. Parwata, Y. Setiyo Hadi, Drs. Indra G. Mertowidjojo, Dra. Ratna Widoewatie dan Ria Sukariyadi. 

Di bagian tubuh buku, mengupas sejarah Jember yang dimulai pada peradaban hematite “rock shelter” pada sekitar tahun 10.000 BC, yang diteliti oleh van Heekeren di gua-gua karst di Gunung Watangan sampai dengan era Kerajaan Blambangan dan basis para lanun dan smokelaars di Nusa Barong yang menjadi basis mereka sampai ditaklukkan VOC pada tahun 1777. Selain itu keunikan dan kekhasan Jember yang menjadi lokasi keberadaan patung Buddha tertua berlanggam Amarawati dari India Selatan di Kutha Blater menjadi misteri tentang peradaban “the lost word” di kawasan apa yang disebut dengan “The Kingdom of O Valley” antara lembah Gunung Raung dan gunung suci Argopuro.
Kemudian tentang potensi kekayaan historis beberapa lokasi di Gunung Argopuro yang menyimpan peradaban era Megalitik dan klasik (masa purba-klasik) serta kawasan Jember timur dengan beragam artefak masa nirlekha. Juga teka-teki tentang prasasti-prasasti enigmatik dari situs Batu Gong di Rambipuji dan Congapan di Karang Bayat Sumberbaru, menjadi pertanyaan kunci dari para sejarawan sekelas W.F. Stutterheim dan M.M. Sukarto Karto Atmodjo yang belum menemukan ‘sisik melik’, kaitannya dengan kerajaan konsentris khususnya di Jawa pada era Klasik. Seperti keberanian penulis yang mencoba meng-link up ke pembabakan era Medang Mataram dan Kahuripan tentang keberadaan beberapa prasasti tersebut.

Beberapa peristiwa penting di masa Majapahit seperti Pasadeng 1331 M dan Paregreg  1401-1403 yang menyisakan misteri besar dan polemik dikupas secara kritis. Teka-teki tentang lokasi keberadaan ibukota Blambangan ketika di Jember, tepatnya di Kedawung menjadi ulasan yang tidak pernah kering untuk dicermati, termasuk dalam buku ini. Nama Kedawung seperti di-faith acompli oleh sejarawan lokal berada di Kutha Kedawung Paleran, yang sebenarnya harus dikaji ulang kembali. Selain itu perdebatan terkait dengan eksistensi kerajaan Lamajang dan Tigang Juru yang masih dini dan dianggap belum "ber-nomenklatur" oleh penulis. Tapi sudah mendapat klaim luar biasa karena adanya 'vested interest' dengan mendistorsi fakta sejarah yang belum jelas. Menariknya, wilayah Blambangan yang sangat luas tersebut masih bisa disebut utuh dengan adanya beberapa daerah vassal yang berselisih dan terpecah-pecah dengan ketidakjelasan wilayahnya.

Selain itu, hal yang tak kalah menarik adalah hasil analisis penulis tentang peristiwa ‘pilgrim’ Rajasanegara (Hayam Wuruk) pada tarikh Sasangka Nagarawi – 1281 Saka atau 1359 Masehi, yang jatuh pada tanggal 18 September 1359 ketika raja ini menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Cakru atau Kasogatan Bajraka (identifikasi menurut Dr. Nigel Bullough). Beberapa tempat yang disinggahi di antaranya seperti Sadeng, Sarampwan, Kunir Basini, Kutha Bacok, Renes, Balung, dsb.nya. Ada juga tempat yang diidentifikasi sebagai lokasi yang kontroversi karena memiliki kesamaan nama seperti Lurah Balater yang disamakan dengan Kutha Blater. Atau Kunir Basini (Puger) yang disamakan dengan Kunir (Lumajang).
Peristiwa penting ini menunjukkan bahwa Jember bernilai strategis secara politis, ekonomi dan militer di mata pusat (Majapahit). Karena kunjungan ke tatar Sadeng ini cukup lama dengan melewati sekitar 25 titik lokasi yang berada di Kabupaten Jember. Beberapa abad kemudian seorang yang mempunyai nama samaran Ameng Layaran alias Bujangga Manik dari tatar sunda, juga ikut ‘journey’ ke wilayah Jember dan singgah di kawasan selatan Jember yang eksotik. Ia sangat tertarik dengan, Cakru, Srampon (Sarampwan), Padang Alun dan Sadeng, dll.nya sebagai daerah-daerah yang mempunyai memori historis bagi penguasa sebelumnya.

Pada bagian akhir buku dijlentrehkan juga tentang temuan-temuan arkeologi yang terkait dengan peninggalan era Majapahit atau (mungkin juga Blambangan) yang selama ini tidak pernah diekspos, karena ini merupakan hasil ekspedisi dari teman-teman Forum Komunitas BHATTARA SAPTAPRABHU. Last but not least, pada akhirnya juga mitos akan tetap menjadi bagian yang tidak pernah terpisahkan dari suatu daerah, termasuk Jember. Keragaman mitos seperti Bande Alit, Situs Beteng Semboro, Sembah Demang dan Damarwulan, dan lainnya sangat kental dan masih terpatri di sebagian masyarakat bagi yang mempercayainya.

Dengan terbit dan beredarnya buku ini, terima kasih kepada masyarakat pecinta sejarah khususnya warga Jember di manapun berada, atas atensi dan kepedulian pada sejarahnya. Juga apresiasi kepada penerbit Araska Group yang telah menerbitkan naskah ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Juga tidak lupa ucapan terima kasih dan apresiasi kepada rekan-rekan Forum Komunitas BHATTARA SAPTAPRABHU dan rekan pegiat sejarah lainnya yang ikut memberikan sumbangsih. Kepada teman-teman dan group di media khususnya FACEBOOK dan jejaring sosial yang juga turut mem-publish buku dalam status penulis.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan konten buku, penulis menyampaikan permohonan ma'af. Untuk itu, saran terutama kritik yang konstruktif sangat diharapkan. Semoga buku ini bisa menambah khazanah pengetahuan serta mengangkat nama kota Jember tercinta. Amien. (Bhattara Saptaprabhu, 2015).

Minggu, 22 Maret 2015

PRASASTI BATU GONG RAMBIPUJI DALAM TELAAH HISTORIS





Oleh : Zainollah, S.Pd dan Bambang Sutedjo, S.Pd

(Forkom Bhattara Saptaprabhu)

     Di masa nirleka (masa sebelum adanya tulisan) daerah Jember telah didiami oleh penduduk. Hal ini terlihat dengan banyaknya situs-situs benda cagar budaya yang ditemukan di Jember seperti menhir (tiang atau tugu batu), dolmen (meja dari batu utuh), sarkofagus (kubur batu), waruga dan batu kenong. Tempat-tempat yang terdapat benda-benda era megalithik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu besar) itu adalah Situs Doplang dan Situs Klanceng di Desa Kamal Kecamatan Arjasa, Desa Tegalwaru Kecamatan Mayang, Situs Seputih, Desa Seputih Kecamatan Mayang, Situs Srino, Desa Srino di Kecamatan Sukowono, dan lainnya.
     Menurut Arkeolog M.M. Sukarto Karto Atmodjo daerah Jember merupakan daerah topographia sacra yakni daerah hunian yang memiliki tempat suci atau sakral. Dengan demikian membuktikan bahwa masyarakat Jember sejak jaman dulu memiliki kemampuan local genius yang tinggi dan selanjutnya menjadi local development (pengembangan lokal). Karenanya banyak arkeolog Belanda yang meneliti tentang jaman prasejarah di Jember seperti salah satunya Dr. W.F. Stutterheim dalam tulisannya yang berjudul “Oundheidkondige Aanteekeningen No. XLVI” dengan sub judul “de Oudste Insceriptie van Oost Java” yang meneliti Prasasti Batu Gong di bawah bukit kecil di pinggir jalan raya Kaliputih Desa dan Kecamatan Rambipuji.
    Di antara banyak situs atau prasasti yang bernama “Batu Gong” yang ditemukan diberbagai daerah di Indonesia seperti Jambi, Malang, Sumbawa, Cirebon, dan lainnya,  prasasti-prasasti dan artefak itu semuanya memang berwujud batu berbentuk gong utuh. Sedangkan yang berada di Kaliputih Rambipuji, Jember lebih menyerupai batu persegi dan pada bagian sisi berbentuk gong, namun dengan bulatan yang tidak halus karena ada kemungkinan patah atau dipotong. 
     Penamaan Batu Gong karena bagian atas batu alam yang cukup besar itu terdapat sebuah “pentol” atau bulatan yang berbentuk gong, yaitu sebuah alat musik tradisional atau orang Jawa menyebut “bende” atau “bande”.
Pendapat dari sejarawan M.M. Sukarto Karto Atmodjo Prasasti Batu Gong adalah peninggalan pada era Neolithikum (batu muda) yang banyak melahirkan kebudayaan Megalithikum (bangunan dari batu besar). Penggunaan batu itu sebagai kelengkapan dari ritual prasejarah yang kemudian diteruskan pada Masa Hindu (kerajaan Hindu). Hal ini dibuktikan karena di bagian samping terdapat sebaris tulisan dengan huru Pallawa (Pranagari) yang berbunyi “Parvvateswara” yang berarti “Raja Gunung” atau “Dewa Gunung” yang diperkirakan dari Hindu aliran Syiwa. 
     Kalau kita bandingkan dengan keterangan lain terkait pemujaan Hindu seperti pada Kerajaan Kutai yang menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja Dewa Syiwa, dan tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara" (bandingkan dengan “Parvvateswara”).
Masuknya ajaran Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang sangat besar, yaitu berakhirnya jaman prasejarah di Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan agama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab suci Wedha, dan juga munculnya kerajaan-kerajaan yang mengatur kehidupan agama pada suatu wilayah.
      Dalam suatu penelitian atas prasasti yang ditemukan di Kaliputih Rambipuji tersebut, arkeolog Dr. W.F. Stutterheim berasumsi bahwa Prasasti Batu Gong Rambipuji merupakan prasasti tertua di Jawa Timur yang diperkirakan pada abad VI Masehi. 
     Kemudian berdasarkan cerita tutur, konon keberadaan prasasti tersebut pada awalnya berada di bukit kecil (gumuk) yang menjadi areal tanaman jati di sebelah barat jalan raya jurusan Balung–Kasiyan-Puger-Kencong dan Kecamatan Lumajang.
Dahulu sekitar tahun 1968 organisasi massa KAMI dan KAPPI Jember pada saat ramainya demonstrasi menentang  G 30 S/PKI dan anasirnya, secara bersama-sama melengserkan Prasasti Batu Gong dari atas bukit dan menggulingkannya sehingga berubah posisi agak ke bawah. Kemudian massa mengubur batu prasasti itu agar tidak tampak lagi. Digulingkan dan dipendamnya Prasasti Batu Gong dengan maksud agar tidak terjadi pemujaan atau kultus ritual berlebihan yang mengarah pada kemusyrikan (menyekutukan Tuhan), di mana saat itu sentimen SARA begitu gampang tersulut.
      Selain itu berkembang juga cerita mitos di balik misteri Prasasti Batu Gong berasal dari beberapa orang sesepuh yang tinggal di sekitar wilayah Jatian Dusun Kaliputih. Di kala Prasasti Batu Gong masih berada di atas bukit, pada setiap hari Kamis Kliwon dan malam Jum’at Legi seringkali terdengar bunyi gong atau bende yang dipukul berulang-ulang. Sehingga kemudian Batu Gong menjadi tempat pemujaan oleh orang-orang tertentu. Tidak heran kalau terkadang ditemukan upo rampe atau sesaji yang diletakkan di sana sebagai praktek pemujaan.
   Batu ini terbuat dari bahan batu kali (andesit) yang keras dan didapatkan di daerah itu. Pada awalnya keberadaan prasasti ini di bukit kecil di sebelah barat jalan raya, kemudian untuk mendapatkan bentuk asli dari batu ini maka kemudian digali dengan kedalaman lebih dari satu meter pada sekeliling batu.
    Pada bulan Desember 1933 Dr. W.F. Stutterheim, seorang arkeolog yang banyak melakukan penelitian arkeologi di Indonesia, melakukan sigi tentang kekunoan (oudheidkundig) di lokasi Prasasti Batu Gong ini dan berhasil membaca aksara di Prasasti Batu Gong ini.
  Menurut hasil penelitian Dr. Willem F. Stutterheim, diduga tonjolan pada prasasti sebagai Lingga. Kajian arkeologis dan perbandingan aksara yang dilakukan Dr. W.F. Stutterheim menyatakan keberadaan batu gong berasal dari masa sebelum Majapahit lahir. Diperkirakan asal zaman keberadaan Prasasti Batu Gong lebih tua dari Kerajaan Majapahit. Tonjolan dalam batu itu, oleh Dr. W.F. Stutterheim, ditafsirkan sebagai sisa kerucut yang awalnya adalah sebuah Lingga (pasangan dari Yoni menurut mitos Hindu Syiwa) yang dipotong seperti memotong nasi tumpeng.
      Huruf yang terdapat di Prasasti Batu Gong mempunyai kesamaan dengan Prasasti Dinoyo (tahun 760 Masehi) di Malang yang merupakan peninggalan Kerajaan Kanjuruhan pada masa Raja Gajayana yang berasal dari Abad ke-8 Masehi. Hurufnya juga tidak berbeda dengan Prasasti peninggalan Raja Sanjaya dari Mataram Lama yaitu Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi. Prasasti Batu Gong Jatian-Rambipuji mempunyai kelas yang sama dengan prasasti selain peninggalan Kerajaan Tarumanegara seperti Prasasti Yupa pada masa Kerajaan Kutai (Raja Mulawarman) di tepi Sungai Mahakam, Muarakaman Kalimantan Timur. Juga tidak berbeda dengan Prasasti Toek Mas dan Prasasti Mentyasih di Jawa Tengah yang berasal pada sekitar tahun 650 Masehi era Mataram Lama.
Dengan keterangan di atas, Prasasti Batu Gong Jatian-Rambipuji diperkirakan berasal dari antara tahun 650-732 Masehi.
      Keterangan tentang siapa yang membikin atau meletakkan batu tersebut di lokasi ini masih menjadi misteri. Belum ada sumber yang komprehensif dan valid tentang asal-usul Batu Gong.  Baik dalam literatur lama yang sudah dipublisir oleh para ahli, khususnya para sejarawan Belanda yang banyak melakukan kajian dan penelitian.
    Seorang arkeolog lain berkebangsaan India, Himanshu Bhusan Sarkar, mengatakan bahwa Prasasti Batu Gong berasal dari abad V Masehi yang kronois dengan prasasti-prasasti peninggalan Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara di Bogor Jawa Barat. Prasasti yang dimaksud Himanshu Bhusan Sarkar kemungkinan adalah Prasasti Ciaruteun yang terdapat gambar tapak kaki Raja Purnawarman. Karena prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara cukup banyak diantaranya Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Tugu, Prasasti Batutulis, Prasasti Koleangkak, Prasasti Jambu, dan Muara Cianten. Hal itu berdasarkan pada bentuk atau tipe tulisan yang ditinjau dari segi paleografi (bentuk aksara kuno) ada kemiripan dengan prasasti dimaksud.
       Prasasti Batu Gong berukuran panjang 218 cm, lebar 180 cm dengan tinggi 120 cm. Dengan penemuan Prasasti Batu Gong menunjukkan bahwa pada abad V atau VII Masehi di sekitar tempat ini sudah terdapat pemukiman (settlement) yang relatif ramai.
Ada dugaan kuat sebuah masyarakat Hindu awal sudah terlahir di Dusun Kaliputih Rambipuji dan nama (toponimi) Rambipuji kemungkinan terkait erat dengan upacara ritual atau pemujaan atau pujian pada para dewa sehubungan dengan adanya prasasti tersebut.

      

     Prasasti Batu Gong merupakan kekayaan benda Cagar Budaya yang dimiliki Kabupaten Jember yang sekarang dalam posisi ex-situ tapi masih berada di areal tanaman jati milik Perhutani. Prasasti ini sudah selayaknya dilindungi dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab karena merupakan saksi dan salah satu sumber penting guna menyingkap tabir historis Kabupaten Jember yang masih kabur. Prasasti mempunyai nilai sejarah yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam khazanah ilmu pengetahuan sampai kapanpun.
     Di antara bermacam sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dianggap sumber terpenting karena mampu memberikan kronologi suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat suatu prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.
Meskipun prasasti berarti "pujian", tidak semua prasasti mengandung puji-pujian (kepada raja). Karena sebagian besar prasasti diketahui memuat keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah menjadi sima atau daerah perdikan. Sima adalah tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa kepada masyarakat yang dianggap berjasa. Karena itu keberadaan tanah sima dilindungi oleh kerajaan kala itu.
     Mengacu pada pengertian prasasti yang menandai berakhirnya masa prasejarah suatu bangsa, karena masa prasejarah suatu bangsa tidak sama, ada yang sangat singkat dan langsung menapak masa sejarah. Namun adakalanya mengalami masa prasejarah yang sangat lama dan panjang. Torehan dan tapak-tapak prasejarah masyarakat Jawa diperkirakan masuk sejarah pada tahun 500 Anno Domini (Masehi). Lebih belakangan dari masayarakat Kalimantan (timur) dengan torehan pada Prasasti Yupa (400 AD). Meskipun data itu berdasar pada temuan prasasti yang selama ini dijadikan acuan oleh para sejarawan. Dalam dunia ilmu sejarah keberadaan prasasti adalah sebuah penanda yang paling mutlak dan sumber komfrehensif.
      Di Jawa Timur abad keemasan prasasti antara abad ke 8 sampai 14 masehi dengan sumber pembuatan oleh kerajaan-keraaan Hindu-Budha dan Islam. Prasasti-prasasti itu tersebar luas dan diwariskan oleh Kerajaan Medang (Dinasti Isyana), Kahuripan, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak dan Mataram. Persebaran prasasti itu hampir secara merata di setiap kota dan kabupaten.
     Dari hasil analisis, kajian dan telaah pegiat sejarah Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu, dapat diambil asumsi dan kesimpulan bahwa keberadaan Prasasti Batu Gong Rambipuji sebagaimana yang diungkap tiga orang pakar arkeolog yaitu Dr. W.F. Stutterheim, M.M. Sukarto Karto Atmojo dan Himanshu Bhusan Sarkar terdapat kesimpulan yang hampir sama. Meski pengungkapan dan hasil analisa para pakar tidak banyak diekspose mengingat sumber-sumber itu masih sulit untuk didapatkan.
Dengan ini penulis memperkuat hasil analisisis interpretatif bahwa Prasasti Batu Gong diperkirakan sangat terkait dengan : 
  • Kerajaan Kanjuruhan di Malang, di mana Prasasti Dinoyo yang bertahun 760 yang  dibuat pada masa Dewasimha (bukan Rani Shima dari Holing) karena ada kemiripan dengan  bentuk Yoni – Lingga. Sehingga di Jember sudah terbentuk komunitas masyarakat  Hindu Syiwa.
  • Kerajaan Bhumi Mataram (Mataram Lama) di dataran tinggi Dieng, di mana Rakai  (Yang Dipertuan) Sanjaya (Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya) telah  menorehkan Prasasti Canggal tahun 732 Masehi dengan bentuk type dan tahun. Ada kemungkinan sama dengan peninggalan Prasasti Batu Gong. Analisa ini karena pada masa Kerajaan Mataram Lama (Dinasti Sanjaya) banyak ditemukan prasasti : Canggal, Toek Mas, Sojomerto, Hampran, Mentyasih, Turun Hyang A-B, Kalasan dan Kelurak, dll. Pada masa itu raja-raja Mataram Lama baik Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya meluaskan pengaruhnya sampai ke Jawa Timur. Tulisan “Parvvateswara” yang berarti Dewa Gunung adalah bentuk pemujaan terhadap Dewa Syiwa dengan symbol Gunung Mahameru di India. 
  • Analisis ke tiga adalah Prasasti Batu Gong berhubungan dengan Raja Kediri Kameswara I (1180 – 1190) atau disebut Panji Asmarabangun yang meletakkan prasasti di lereng Gunung Semeru (sebagai Mahameru) yaitu Prasasti Ranu Kumbolo. Prasasti ini menunjukkan kegiatan raja dalam mengadakan perjalanan lawatan suci (tirtayatra) ke wilayah timur. Prasasti yang dibuat tersebut mengindikasikan bahwa Raja Kameswara I mempunyai perhatian khusus pada Lumajang dan kawasan timur.
      Sementara keberadaan beberapa prasasti dan percandian di Jember berada pada ketinggian yaitu bukit Kaliputih Rambipuji (Prasasti Batu Gong), lereng gunung Argopuro (Prasasti Congapan) dan Percandian Dewi Rengganis di Gunung Argopuro) yang sekarang masih ada jejak-jejak arkeologi di sana.
Menurut guru besar arkeologi dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Agus Aris Munandar, mengatakan bahwa keberadaan prasasti dan candi di atas gunung semakin menunjukkan bukti-bukti pemujaan nenek moyang terhadap gunung.





Manusia jaman dulu mempunyai kepercayaan bahwa roh-roh bersemayam di tempat ketinggian.
Sejarawan dari Universitas Gajah Mada, Dr. Sri Margana mengatakan, ritual-ritual di tempat ketinggian dan gunung berapi itu adalah kebiasaan masyarakat lama sudah sangat akrab dengan alam. Ketika teknologi belum berkembang, manusia lebih peduli dengan alam, lebih pandai membaca tanda-tanda alam dan sadar dengan gejala-gejala dan bahaya.
      Situs Batu Gong adalah fakta suatu peristiwa sejarah yang cukup penting di Jember pada masa lalu, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja. Apa yang telah diwariskan para leluhur meskipun hanya berupa seonggok batu andesit, tapi bisa mengungkap suatu kejadian penting.
Tugas kita selaku pegiat sejarah adalah menjaga dan melestarikan tinggalan tersebut serta menelaah dan mengkaji untuk ilmu pengetahuan yang akan berguna bagi generasi mendatang.