Kode Iklan

Rabu, 08 Januari 2014

SEJARAH DAN MENTALITAS KEKUASAAN - Bagian 2

Oleh  :  Zainollah, S.Pd (Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)

     Sejarah berjalan menurut alur peristiwa, dan telah banyak merekam kejadian luar biasa dari setiap roda perputarannya. Terkadang kita mau mengambil hikmah dan menjadikan bahan evaluasi serta refleksi dari setiap moment penting dari sejarah tersebut. Namun adakalanya kita melupakan dan menganggap suatu peristiwa sejarah tidak akan memberikan pelajaran berharga pada kita. Suatu hal yang fatal bilamana kita punya pandangan naif dan tidak pernah menghargai setiap episode dari kejadian masa lampau. Terlepas apakah kita atau seseorang tahu tentang perjalanan sejarah suatu bangsa, keluarga atau sejarah kita sendiri.
Peradaban bangsa yang besar selalu melewati rentang waktu panjang perjalanan sejarah, bilamana bangsa tersebut menjadikan sejarah sebagai guru yang paling baik guna menata rakyatnya ke depan. Kalau pemimpin tidak cerdas dalam menyikapi sejarah bangsanya akan berdampak pada kemajuan dan perkembangan negara. Di sini yang mempunyai peran sentral dan signifikan adalah para pemimpin. Karena pemimpin adalah pelaku sejarah. Bukan berarti mereka harus punya pemikiran set-back atau mundur ke belakang.
     Pemimpin kini yang melakukan tindakan kontraproduktif seperti korupsi, kleptokrasi atau otokrasi, tirani dan diktator adalah mereka yang melepaskan diri dari bayang-bayang sejarah. Umumnya sejarah gemilang atau kejayaan suatu bangsa.
     Suatu contoh sederhana adalah ketika pecah Perang Dunia II (1939 -1945), kala itu Der Fuhrer (Adolf Hitler) dari Jerman sangat berambisi untuk menaklukkan Rusia yang merupakan benteng terakhir di front utara. Ia punya keyakinan bahwa dengan sekali gebrak, akan membuat Rusia bertekuk lutut.  Hitler sangat overestimate dengan kemampuan tempur tentaranya yang loyal, militan dan profesional. Jerman sangat mengandalkan pasukan Nazi Warren SS berseragam coklat dan kemampuan pasukan polisi khusus dalam setiap operasi rahasia yaitu Gestapo (Geheime Staatpolizei). Pasukan ini sangat kejam dan ganas serta merupakan mesin perang terbaik di dunia. Kemampuan pasukan Jerman lewat strategi blitzkrieg (perang kilat) yang mengandalkan Lutwaffe (AU Jerman) terbukti dapat melibas pasukan sekutu di front barat yang membuat Perancis dan negara-negara Benelux (Belgia, Nederland dan Luxemburg) menyerah dan melarikan diri. Bahkan Belanda yang kala itu jadi superkolonialis di Indonesia tidak berkutik dan merelakan Ratu Wilhelmina menjadi seorang pelarian ke luar negeri. 
     Hitler sebenarnya sudah diingatkan oleh para jenderalnya bahwa dengan menyerang Rusia sama halnya dengan bunuh diri bila tanpa persiapan yang matang. Karena Rusia punya pertahanan alam berupa padang dan bukit-bukit salju yang sesekali dibentengi 'peluru' dari hembusan kencang badai salju yang menerbangkan bongkahan-bongkahan es.
     Andaikata Hitler mempercayai "rekaman" peristiwa sejarah kala Napoleon Bonaparte (1769-1821) dari Perancis, yang ngelurug dengan kekuatan  tentaranya yang besar ke Rusia. Di mana kemudian tentara Perancis yang amat terlatih dan kesohor di berbagai front Eropa tersebut semuanya nyaris tewas dan sebagian kecil yang lolos dari medan perang bersalju dengan cuaca ekstrim dan gempuran bola-bola serta badai es. Mungkin sejarah akan menulis lain jika Hitler tidak grusa-grusu dan penuh perhitungan dalam persiapan perangnya melawan pasukan Rusia.
Itulah yang terjadi kemudian dan dialami pasukan Jerman ketika mengerahkan balatentaranya yang luar biasa ke Rusia. Jenderal Georgy Konstantinovich Zhukov menyambut tentara Jerman dengan mengerahkan pasukan Ilya Starinov (cikal bakal pasukan khusus Spetnaz) yang merupakan pasukan khusus Rusia yang dilengkapi sekop sebagai alat  mengubur diri dan berkamuflase dengan medan es. Sementara itu yang banyak berperan sebagai senjata pertahanan adalah dinginnya cuaca dan gempuran badai salju yang menerbangkan bongkahan-bongkahan es. Senjata alam itu menyebabkan puluhan ribu pasukan Nazi Jerman luluh lantak dan sebagian yang tersisa.
Adolf Hitler sebagai pimpinan yang jumawa dan arogan, tidak mau dikritik, seorang diktator yang tiran dan sosok psikopat gila perang akhirnya mengalami hari-hari terakhir menyedihkan akibat kekalahan demi kekalahan yang dialami dalam menghadapi tentara sekutu.
      Suatu pembelajaran sejarah yang amat berharga dan biasanya dicatat agar dibuka kembali atau minimal diingat oleh para pemimpin dunia, atau oleh kita sendiri. Karena dengan kita tidak mau belajar sejarah atau anak didik dijauhkan dari sejarah (karena minimnya guru IPS yang berpengetahuan sejarah) maka kerugian itu yang akan menimpa.
    Dulu pada era Hindu-Budha peristiwa penting biasanya ditorehkan pada batu (prasasti), lempengan logam atau di daun rontal (lontar) sebelum kertas ditemukan oleh orang Cina dan Arab. Kelemahannya adalah tulisan sejarah di masa itu cenderung subyektif dan berbentuk tulisan pujasastra (bentuk pujian pada raja) seperti Kakawin Negarakertagama yang digubah Mpu Prapanca. Kalau pujangga menulis tidak sekehendak dan searah dengan titah raja maka jiwanya akan menjadi milik sang penguasa tersebut.
Hampir semua tulisan prasasti di Nusantara mulai dari Yupa di Muara Kaman peninggalan Sri Mulawarman, Prasasti Ciaruteun di Tarumanegara dan lainnya mencerminkan pesanan dari istana. Meskipun ada beberapa pujangga yang mem-balelo dan harus menerima hukuman mati, itupun jumlahnya tidak banyak.
    Pada masa Kerajaan Kediri adalah puncak kejayaan sastra Jawa Kuno dan banyak melahirkan kitab kakawin dan para pujangga. Hampir semuanya menuliskan tentang kebaikan dan kebesaran para raja, serta kemegahan istana.
Era kejayaan Sri Aji Jayabaya (1135 - 1157) dengan gelar panjangnya Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa, yang merupakan raja terbesar Kediri telah melahirkan beberapa karya sastra terkenal. Semuanya bersifat pujasastra, dan di antara pujangga yang terkenal adalah Mpu Panuluh, Mpu Sedah dan Mpu Dharmaja dan Mpu Tanakung.
     Beberapa karya susastra yang muncul di antaraya Kakawin Bharatayudha digubah oleh Mpu Sedah dan dilanjutkan oleh Mpu Panuluh, kemudian Kakawin Hariwangsa, Wrettasancaya dan Gatotakacasraya.
Kitab Bharatayudha yang mengisahkan perang saudara (civil war) antara klan Pandawa dan Kurawa yang masih marga dan satu trah dari tokoh wayang Pandu Dewanata. Kitab ini merupakan epos paling legendaris yang dinukil dari karya pujangga India Resi Wiyasa (Viyasa). Penulisan itu konon tersendat-sendat karena sang pengarang (Mpu Sedah) terlibat skandal asmara segitiga antara Sri Aji Jayabaya, Mpu Sedah dan istrinya.
Hingga pada akhirnya Mpu Sedah dihukum mati oleh Jayabaya dengan alasan telah mengumbar aib raja dan istana. Padahal hukuman mati pada Mpu Sedah tidak lain sebagai dalih atau justifikasi pada tindakan raja yang "merampas" istri Sang Prabu yang terkenal kecantikannya. Alhasil, penulisan Kakawin Bharatayudha dilanjutkan oleh pujangga istana yang lebih slow yaitu Mpu Panuluh sampai selesai.
    Meskipun karya sastra pada masa klasik bertendensi istana sentris yang memuja kebesaran raja, istana dan "konten"-nya, namun ada catatan bahwa sikap kritis dan obyektif dari para pemilik pena, pemahat dan pujangga selalu ada meskipun jumlahnya tidak banyak. Dan resikonya an sich akan berakhir di tangan para algojo istana karena sikap para pujangga itu dianggap tabu, pamali dan mem-balelo pada kekuasaan.
      Masa sesudahnya yaitu Kerajaan Singosari diwarnai dengan perebutan tahta antara keluarga kerajaan. Raja pertama Ken Arok harus menebus dengan nyawanya ketika anak dari Tunggul Ametung yaitu Anusapati membunuhnya dengan menggunakan tangan orang lain. Anusapati juga harus merasakan tikaman keris Mpu Gandring oleh saudara tirinya Rangga Tohjaya dalam arena sabung ayam yang dirancang. Kemudian Tohjayapun juga harus mati di tangan keturunan Anusapati yaitu Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
Intrik dan huru hara berlanjut terus sampai dengan raja terakhir Kertanegara yang tewas dibunuh besannya sendiri yaitu Jayakatwang dari Gelang-Gelang (Kadiri) dalam sebuah ritual agama Tantrayana.
     Panggung politik kekuasaan sistem monarchi di Indonesia telah membawa kesan dan kenangan sejarah gemilang di samping sejarah suramnya. Majapahit adalah potret sejarah kejayaan kerajaan yang sukses dengan wilayah taklukan sampai luar negeri. Wawasan nusantara dan mitreka satata yang dikonsep Gajah Mada dengan dukungan Bhattara Saptaprabhu sukses menjadikannya negara nasional dengan ke-Bhinnekaaan-nya. Sejarah suramnya adalah peristiwa penumpasan para kraman yang merupakan tokoh founding father Majapahit seperti Ranggalawe, Nambi, Lembu Sora, Juru Demung dan Gajah Biru. Kemudian peristiwa terbunuhnya raja kedua yaitu Jayanegara oleh tabib istana Rakyan Tanca dari kelompok Dharmaputera Winehsuka.
Peristiwa Perang Bubat atau Sanga Turangga Paksowani (1359 Masehi) merupakan lembaran paling kelam yang dianggap kesalahan fundamental dari pandangan politik Mahapatih Gajah Mada. Setelah peristiwa itu Majapahit makin ringkih karena dilanda prahara Perang Paregrek yang berkepanjangan. Sampai kemudian ada penetrasi pengaruh agama Islam yang pada akhirnya menghancurkan kekuasaan Majapahit.
     Ketika Islam menguasai sendi-sendi kekuasaan politik, ekonomi dan sosial budaya lewat peran Walisongo dengan tegaknya Kerajaan Demak Bintoro, praktek intrik dan kasak kusuk politik di istana tetap menjadi virus yang sulit dibasmi. Suksesi pergantian tahta sepeninggal Raden Patah atau Sultan Alam Akbar Al- Fatah tidak berjalan mulus. Pati Unus yang gugur dalam perang langsung digantikan Trenggana yang sebelumnya menyingkirkan pesaing dan kerabat sendiri yaitu Pangeran Sekar Sedalepen. Tindakan Sultan Trenggana yang memanfaatkan Pangeran Prawata untuk membunuh Sekar Sedalepen membuat puteranya dendam dan akhirnya memberontak yaitu Arya Panangsang. Demak pada akhirnya runtuh karena para bangsawan dan keluarga istana saling libas dalam areana perebutan tahta.
     Kelanjutan Kerajaan Demak dipindah ke wilayah selatan dengan nama Pajang oleh Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya yang merupakan menantu Sultan Trenggana. Riwayat kerajaan ini tidak berlangsung lama karena kembali terjadi pertumbahan darah antara Arya Pangiri dan Sutawijaya serta Pangeran Benawa.
Sutawijaya akhirnya menang dan memindahkan keraton ke kawasan hutan Mentaok di wilayah Kotagede Jogjakarta dengan nama Mataram.
Mataram mencapai puncak keemasan pada masa Sultan Agung Hanyukrokusumo dengan wilayah yang cukup luas, sehingga mengancam hegemoni VOC yang bercokol di Indonesia. Tak pelak Sultan Agungpun ambil ancang-ancag untuk merebut wilayah Jawa Barat dan loji di Batavia yang dikuasai Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen. Batavia diserang dua kali lewat pasukan darat dan laut pada tahun 1628 dan tahun 1629, semua serangan gagal meski menewaskan J.P.Coen dan beberapa panglima Mataram.
Usaha Sultan Agung membesarkan Mataram rupanya tidak diteruskan oleh puteranya Amangkurat I atau Sunan Mas. Karena Amangkurat I adalah raja yang lembek, tidak punya integritas, tiran dan otoriter serta doyan foya-foya. Pada masa pemerintahannya sering terjadi pembantaian terhadap lawan politik dan siapapun yang tidak disukai atau dianggap menghalangi jalannya.
    Seperti peristiwa terbunuhnya Pangeran Pekik dari Surabaya yang merupakan ayah mertuanya sendiri telah memperburuk hubungan antara Amangkurat I dengan putera mahkota yaitu Adipati Anom. Pangeran Pekik dibantai karena dianggap akan mengadakan makar dengan para bangsawan dan ulama. Catatan sejarah dan babad menyebut tidak lebih dari 5000 - 6000 orang ulama dibantai dengan kejam di alun-alun kerajaan oleh pasukan istana.
Rijklof van Goens yang diutus VOC kepada Amangkurat I, dibuat geleng-geleng kepala melihat “kemampuan” raja dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Ia mengatakan, sebagaimana dikutip Onghokham dan MC Ricklefs: “Sistem pemerintahan semacam ini tidak pernah terbayangkan di Belanda, …orang-orang tua dibunuh untuk melowongkan tempat-tempat bagi mereka yang muda”.
Amangkurat I sempat mengungkapkan kepada van Goens bahwa ia harus melakukan segala macam cara untuk menjaga kestabilan kerajaan, termasuk dengan membantai lawan-lawan politiknya, atau mereka yang dicurigai akan mengganggu keamanan. Amangkurat I pun mengungkapkan bahwa rakyat tidak mempunyai hak untuk mendapatkan kemakmuran. Karena itu, dia tidak perlu mengindahkan kemakmuran mereka, sebab, kekuasaannya akan terancam kalau rakyatnya makmur dan pintar (Burger, 1962: 80).
     Peristiwa sejarah perjalanan kerajaan yang bercorak Islam baik itu Demak, Pajang, Mataram dan  lain-lainya menyisakan permasalahan suksesi yang rumit dan absusd. Campur tangan kaum penjajah makin memperburuk hal itu dengan diterapkannya devide et impera ke dalam istana. Sehingga sejarah pergantian kekuasaan di Indonesia selalu berdarah-darah termasuk di era demokrasi.
Kekuasaan kolonial yang panjang telah merusak tatanan ekonomi dan sosial sosial budaya masyarakat serta pembusukan politik hingga kekuasaan beralih pada tangan kaum pribumi.
Pergerakan kebangsaan telah banyak menanamkan kesadaran atas perlunya penguatan jati diri bangsa agar berkpribadian kuat, termasuk belajar dari kegagalan masa lalu,
     Presiden Soekarno yang memulai pemerintahan era republik (1945 - 1965) pada awalnya diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat. Setidaknya sejajar dengan negara-negara barat yang menggunakan model pemerintahan demokrasi. Meskipun telah direcoki oleh intrik-intrik kekuasan dan pemberontakan hingga berakhir dengan pemerintahan yang tidak stabil.
Gaya pemerintahan ala Amerika Serikat lewat Demokrasi Liberal (1950 - 1959) berujung pada ketidakpuasan daerah terhadap pusat. Hal itu memberi peluang terjadinya disintegrasi dan gerakan sparatisme utamanya di kalangan milter. Muncul pemberontakan silih berganti dan memakan watu lama dan biaya besar untuk memadamkan.
Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintahan kembali terjebak pada jalan yang salah yaitu Demokrasi Terpimpin (1959 - 1965) dan berimplikasi menjadi sistem autokrasi dan kekuasaan tunggal di tangan Presiden Soekarno. Muncul mitos pendewaan (kultus individu) pada Soekarno yang membawa pada pengangkatan "Presiden Seumur Hidup". Selanjutnya riwayat Soekarno berakhir setelah peristiwa G 30 S/PKI lewat progres report dalam Sidang Istimewa MPRS yang mengakhiri kekuasaannya.
   Pada masa Orde Baru (1966 - 1998) di bawah kekuasaan Presiden Soeharto yang mendapat julukan "The Smiling General " dan merupakan pemimpin, diktator dan korup di mana kekuasaan hampir mutlak pada satu tangan. Sedangkan lembaga tinggi dan tertinggi negara dikendalikan dengan sokongan ABRI (TNI -pen). Kekuasaan orde Baru telah melahirkan ketidakterjaminan kehidupan berdemokrasi, kebobrokan ekonomi yang melahirkan konglomerasi, debirokratisasi serta hutang luar negeri yang bertumpuk. Rakyat mengalami kemiskinan panjang dan tidak kunjung menikmati hasil kekayaan dan hutang dari lembaga donor dunia semisal IGGI (Inter Gouvermental Group on Indonesia) ataupun IMF (International Monetary Fund). Karena hasil kekayaan negara dan hasil hutang luar negeri banyak dinikmati para pengusaha dan penguasa, lembaga-lembaga negara termasuk kalangan istana.
Kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul  menurut aturan UUD 1945 yang digembar-gemborkan pada awal pemerintahan hanyalah jargon usang. Ada pemeo dan istilah waktu itu, batukpun kalau keliru bisa masuk Kodim atapun Koramil.
Kehidupan pers utamanya media cetak yang dianggap bersuara vokal dan obyektif diancam dibredel dan diberangus. Peran tentara dan intelejen di berbagai bidang ditingkatkan untuk tujuan refresif. Ancaman kepada siapa saja yang bersifat kritis dan tidak seirama pada pemerintah adalah subversif dan bisa dikenakan pasal karet peninggalan kolonial hatzaai artikelen. Sudah banyak para tokoh yang masuk penjara tanpa hak-hak kemanusiaan dan keadilan hukum. Para aktivis ditangkap, dibunuh dan dihilangkan. Dunia kampus dan mahasiswa yang berpotensi melahirkan para aktivis ditelikung dengan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan doktrinasi yang bersifat Orbais. Para rektor, birokrasi, guru dan PNS diberi indoktrinasi faham sempit monoloyalitas dan diarahkan pada kekuatan partai tunggal penguasa (Golkar). Stigma PKI bagi para eks tapol dan keluarganya yang tanpa proses pengadilan komprehensif menjadi momok berkepanjangan dan mendarah daging hingga kini. Para pembangkang akan dicap gerakan ekstrimis kiri dan ekstrimis kanan, seperti tokoh-tokoh yang tergabung dalam Petisi 50 (HR. Dharsono, SK.,Trimoerti, H.J. Princen, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santosa, Azis Saleh, Soeyitno Soekirno, Slamet Bratanata, dll)  sangat getol mengkritik pola pemerintahan Presiden Soeharto, hingga kemudian dijebloskan ke jeruji besi.
  Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.[rujukan Wikipedia]
      Sejarah politik pemeritahan kita telah teruji lewat perjalanan panjang dengan segala resiko dan akibat yang ditinggalkan utamanya terkait dengan hak-hak rakyat. Pengingkaran hak-hak dan suara rakyat utamanya kawula alit akan berakibat terkikisnya kekuasaan. Sebagaimana pepatah Yunani mengatakan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) telah banyak terbukti.
Proses perjalanan sejarah yang selalu berliku dan menyisakan kenangan baik dan buruk setidaknya dijadikan momentum bagi para pemimpin politik kita agar selalu belajar dari sejarah. (HABIS)