Kode Iklan

Senin, 01 September 2014

REKONSTRUKSI HISTORISITAS JEMBER LAMA


Oleh : Zainollah, S.Pd
(Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)


Keterangan Foto : Prasasti Congapan, Karang Bayat Sumberbarudan Situs Doplang, Kamal  

Arjasa


        Di balik ironi sebuah kemustahilan bahwa Kabupaten Jember adalah kota yang masih bingung dalam me-rekonstruksi dan me-review sejarahnya sendiri, karena sudah terlanjur dilahirkan dengan “akte yang keliru” akibat kesalahan politis administrasi. Namun masih ada harapan dan peluang untuk merevisi "akte" tersebut dengan adanya beberapa temuan arkeologi berupa sumber-sumber tertulis maupun lisan yang dapat digunakan untuk menyingkap tabir misteri kesejarahan (historisitas) Jember.
     Dalam penentuan hari lahir kota yang dilakukan dengan cara ‘instan’ dan terkesan buru-buru dalam menggunakan Staatblad Nomer 322 tanggal 1 Januari 1929 sebenarnya tidak terlalu aneh. Karena sejarah Jember sebagai suatu entitas dan merupakan aspek integral dalam jati diri masyarakat kota ini telah di-introdusir sedemikian rupa menjadi salah satu instrumen yang dilekatkan pada kepentingan politik dan ideologi utamanya pada masa kolonial. Sehingga deskripsi tentang penentuan sejarah (hari lahir) Jember tetap dibuat kabur dan hampir tidak bisa ditelusuri, dimulai dari mana dan pada masa apa. Pembiaran ini tampaknya terjadi sampai era sekarang. Kita tidak menafikan atau mengingkari tentang sebuah eksistensi yang kuat dari kolonialis Belanda di Jember. Tetapi yang jadi substansi adalah bentuk ‘pengakuan’ kita pada eksistensi kolonial tersebut dan segala produknya khususnya di Jember. Sebuah bentuk kesalahan elementer yang tidak bisa ditolerir. Bukankah dalam Preambule UUD 1945 ditegaskan bahwa essensi kemerdekaan suatu bangsa adalah menentang dan tidak memberi ruang pada  penjajahan di manapun ?
     Wacana tentang historisitas Jember yang lama diperdebatkan telah terdistribusi selama ini menjadi terbatas pada penceritaan bagaimana kota Jember terbentuk dan kekuasaan administratif Jember sebagai kabupaten didirikan. Para ahli sejarah dan budayawan lokal bahkan peneliti kolonial tidak bisa berbuat banyak dalam memberikan kontribusi untuk menyingkap tabir sejarah Jember. Meskipun disebutkan beberapa peneliti dan arkeolog Belanda telah mengadakan eksplorasi atau observasi. Sebagaimana di kota-kota lain di Jawa, para sejarawan Belanda begitu intens mengadakan sigi dengan banyak melahirkan tulisan dalam bentuk historiografi yang kemudian dijadikan bahan rujukan. Namun secara holistik tidak pernah sampai pada suatu kesimpulan yang mengungkap dan menguak sejarah dan peradaban Jember lama. Hal ini dimungkinkan karena faktor keterbatasan sumber-sumber sejarah baik lisan maupun tulisan itu sendiri. Atau Belanda lebih terfokus dan asyik menikmati kekayaan alam perkebunan yang subur dan melimpah.
Kepentingan ekonomi yang melatarbelakangi imperialisme Belanda khususnya di wilayah Java Oosthoek dibarengi juga dengan ideologi dan politik. Wilayah timur yang sangat subur sebagai sentra perkebunan dan pertanian telah lama digenggam erat oleh pemodal asing (Belanda) sehingga akhirnya lebih menyisakan tulisan sejarah kolonial. Sehingga historiografi tentang keberadaan sebuah pemerintahan kuno, baik kerajaan Hindu, Budha dan kesultanan (Islam) tidak pernah ditemukan. Namun rekam jejak pengaruh peninggalan fisik (cagar budaya) dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa masih bisa ditelusuri. Meskipun kondisinya sebagian sudah tidak berbentuk lagi karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam meng-apresiasi nilai-nilai peninggalan sejarah.
    Sedangkan monumen (fisik materiil) berupa bangunan peninggalan kolonial Belanda, kalah dengan monumen “ mental-spirituil “ atau fakta mental (mental facts) yang ditinggalkan. Fakta mental bertalian dengan prilaku, perasaan batin, kerohanian yang mendasari suatu karya cipta. Kalau kita cermati bagaimana warisan tradisi kompeni ini masih tetap lekat pada stakehoulders komunitas perkebunan hingga sekarang. Seperti penggunaan istilah-istilah serta tata etika yang terkait dengan afdeling yang masih kental dan berbau feodalistik. Meskipun tidak bisa kita pungkiri itu bagian dari warisan budaya dan sejarah yang menunjukkan kecirikhasan Jember dibanding daerah lainnya.
     Sementara itu proses penjajahan Belanda yang panjang dengan tujuan mengeksploitasi sumber daya alam khususnya di Jember hampir tidak pernah mengalami hambatan dan rintangan dari rakyat. Kecuali perlawanan rakyat dalam perang kemerdekaan (revolusi fisik) tahun 1945-1949 dalam kerangka mempertahankan kedaulatan.
     Pada masa kekuasaan kaum kolonial di Jember sebelum kedatangan para kapitalis perkebunan, tatanan masyarakat yang primordial, solid dan komunal belum terbentuk, yang diharapkan melahirkan kepemimpinan yang kuat dengan kekuasaan yang terpusat. Setidaknya memunculkan rasa egalitarian dan solidaritas dalam menghadapi penindasan bangsa asing. Namun semangat kedaerahan itu tidak tampak karena belum ada faktor pemersatu seperti persamaan nasib dan kepentingan. Rakyat kala itu hanya menjadi subordinat dari kekuasaan Kerajaan Mataram dan Blambangan saat melawan VOC yang wilayahnya termasuk Jember (Blambangan barat).
        Menurut pendapat para ahli, masyarakat Jember terbentuk secara utuh dan ‘sistemik’ akibat dibukamya lahan perkebunan pada tahun 1860-an, yang kala itu membutuhkan sumber tenaga kerja murah. Sumber tenaga kerja ini kemudian banyak didatangkan dari Pulau Madura yang daerahnya gersang namun penduduknya memiliki etos kerja sangat tinggi. Komunitas imigran Madura ini kemudian banyak mendiami Jember bagian utara yang merupakan sentra perkebunan.
   Sedangkan komunitas pendatang dari wilayah kulon (Jawa) banyak berdomisili di wilayah Jember bagian selatan. Keberadaan masyarakat di wilayah Jember selatan berasal dari daerah Mataraman, yaitu Tulungagung, Ponorogo, Trenggalek, Blitar, Kediri dan sebagian Jawa Tengah. Gelombang migrasi itu  sebagian besar karena diakibatkan  perang dan konflik yang terus menerus di daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Baik itu perang suksesi kesultanan maupun perlawanan terhadap campur tangan hegemoni Belanda maupun Inggris. Selain itu faktor terpenting adalah daya tarik Jember sebagai kota industri perkebunan yang begitu berkembang pesat.
       Di tempat baru ini dua kultur kebudayaan yang berbeda akhirnya menyatu dalam proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan yang melahirkan budaya pendhalungan. Meskipun ada pendapat bahwa peleburan dua budaya ini tidak terjadi, karena mereka tetap dengan identitas etnis masing-masing. Kecuali dalam dialek bahasa percakapan sehari-hari masih banyak ditemukan. Sehingga kekhasan Jember sebagai “kota baru” tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkebunan itu sendiri yang menyebabkan para imigran berdatangan dan kemudian bermukim.
     Sementara di daerah pesisir pantai selatan tepatnya wilayah Puger sebelumnya telah dihuni oleh masyarakat suku pendatang dari Sulawesi yaitu suku Mandar dan Bugis (Makassar) yang merupakan etnis pelaut dan kebanyakan berdiam di kawasan pelabuhan dan pesisir.
  Menurut pendapat Tri Candra dalam makalah International Conference on Urban History, di Surabaya, August 2004, mengurai bahwa proses kapitalisasi oleh perusahaan perkebunan partikelir belanda di daerah Besuki (baca Jember) merupakan suatu penanda fase pertumbuhan dan berkembangnya secara nyata Jember sebagai kota. Pada titik inilah kemudian Jember lahir sebagai kota industri perkebunan. Ia adalah sebuah kota yang lahir dari sebuah proses modernisasi kota-kota Hindia Belanda, sebagai akibat dari sistem perusahaan bebas yang dianut sebagai prinsip umum ekonomi sejak masuknya kapital besar, periode akhir abad XIX. (Candra, Tri: 2004).
  Tak Jauh beda dengan Tri Candra, Edy Burhan Arifin menjelaskan sejarah perkembangan pesat peradaban Jember sebagai wilayah industri perkebunan ditentukan oleh semakin merebaknya perusahaan swasta belanda di wilayah Jember utara dan Jember tengah.
 Semenjak wilayah Java Oosthoek diserahkan oleh raja Mataram Sri Susuhunan Pakubuwono II kepada VOC pada tahun 1743 akibat ketidakberdayaannya melawan ‘kaum pemberontak’, maka wilayah yang kaya dengan sumber daya alam ini menjadi incaran negara-negara imperialis pesaing Belanda, yaitu Inggris dan Perancis. Hingga kedua negara bertetangga di Eropa itu terlibat perang lama dan panjang. Peperangan negara Inggris-Perancis yang terjadi di tahun 1803 – 1814 itu akhirnya tetap mengukuhkan Belanda sebagai penguasa di Hindia Belanda. Wilayah Java Oosthoek kembali dikuasai Belanda sebagai daerah sapi perahan dan pemasok bahan pokok terbesar. Jember sebagai kawasan bufferzone  yang relatif tidak bergolak, tetap menjadi ajang konflik kepentingan politik di masa itu. Kepentingan penjajah VOC untuk mencaplok wilayah Kerajaan Hindu Blambangan karena sangat potensial dengan alamnya yang kaya dan memiliki pelabuhan-pelabuhan yang ramai (Panarukan dan Ulupampang) telah menimbulkan perang teramat dahsyat (Puputan Bayu 1771-1772).
  Jember adalah salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Blambangan semenjak pemerintahan Prabu Tawang Alun. Daerah Kedawung di Jember pada masa perang Puputan Bayu adalah ibukota Kerajaan Blambangan di Segitiga Emas (Golden Triangle) yaitu Lamajang (Lumajang), Kedawung (Jember) dan Kuta Lateng (Banyuwangi). Tak pelak, wilayah Jember menjadi medan pertempuran sengit antara pasukan Blambangan dibantu laskar keturunan Untung Suropati (Pasuruan) melawan VOC. Basis pertahanan pasukan Blambangan yang dipimpin Wong Agung Wilis berada di Kedawung, dan benteng yang terakhir dipertahankan oleh panglima perang Blambangan Harya Lindu Segara berada di Pulau Nusa Barong (Puger). Sebagaimana yang ditulis oleh sejawaran Dr. I Made Sudjana, MA dalam salah satu bukunya (Nagari Tawon Madu, Sejarah Poltik Blambangan Abad 18 : 2001).
    Selanjutnya Pulau Nusa Barong menjadi basis perlawanan para pejuang di wilayah selatan Jember. Muncul nama-nama tokoh perlawanan seperti Sindu Bromo, Sindu Kopo, Juragan Jani dan para “lanun” dari Bugis serta Mandar yang menunjukkan kegigihannya dalam melawan penjajah Belanda. Disebutkan bahwa bekas-bekas peralatan perang itu masih ditemukan di pulau tersebut.
    Tanah Jember yang sangat subur, dengan relief yang didominasi dataran rendah yang terhampar luas sangat potensial untuk lahan perkebunan dan pertanian. Sehingga  bermunculanlah para investor asing datang ke wilayah ini atas peluang dari kebijakan “Politik Pintu Terbuka” (De Open Deur Beleid) Belanda yang diperjuangkan kaum liberalis dan humanitaris.
Pembukaan lahan perkebunan di Jember yang dimulai sekitar tahun 1800-an dan mencapai puncaknya pada masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di tahun 1860. Suatu sistem untuk mencari keuntungan besar (batig slot)  yang dicetuskan oleh Johannes van Den Bosch. Daerah baru ini kemudian telah disulap menjadi ladang “emas hijau” yang banyak memberikan kontribusi kemakmuran kaum penjajah semenjak kebangkrutan bangsa itu akibat Perang Jawa (Perang Diponegoro 1825 – 1830). Dampak dari perang akbar itu telah menguras pundi-pundi Gulden Belanda selama bertahun-tahun.
Rentang waktu penjajahan yang cukup lama dengan menjadikan Jember daerah yang “tidak bertuan” dan praktis hanya diperintah oleh para adipati yang dipilih serta tunduk pada  Belanda, menyisakan pemikiran bahwa sejarah kota itu adalah bentukan kolonial. Bukti-bukti tentang peninggalan purbakala dan masa kerajaan Hindu-Budha serta Islam hanya dianggap aksesoris saja dan tidak banyak memberikan peranan sebagai pengungkap sejarah yang sebenarnya. Memang, dibanding daerah lain Jember sangat minim monumen-monumen bersejarah. Kalaupun itu ada, peninggalan dan situs bangunan bersejarah sudah hamper rata dengan tanah, utamanya peninggalan masa kerajaan. Beberapa peninggalan cagar budaya dan sejarah yang sudah tidak berbentuk lagi adalah Situs Beteng di Sidomekar Kecamatan Semboro Tanggul, Candi Deres di Purwoasri Kecamatan Gumukmas, Situs Gondosari di Kecamatan Wuluhan, dan lain-lainnya.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan tentang peradaban Jember Lama pada era kerajaan Hindu-Budha dengan bekas bangunan candi, prasasti dan petirtaan dan benteng  di beberapa wilayah. Seperti Kerajaan Majapahit Kulon yang berpusat di Trowulan masih menyisakan beberapa tapak situs. Sedangkan Kerajaan Majapahit Wetan di Blambangan atau Lamajang tidak menyisakan situs utuh yang bisa dikenali selain berupa artefak dan sumber tertulis serta tidak tertulis (babad, prasasti, folklore dan folktale). Salah satu  keterangan tentang keberadaan sebuah kerajaan di Jember pernah ditulis oleh beberapa ahli sejarah. 
Menurut Drs. Dasuki Nur, seorang sejarawan Banyuwangi (Lintasan Sejarah Blambangan, 2002 : 12). Kerajaan Blambangan di masa munculnya Raja Mas Kembar (Prabu Mas Tanpo Uno) setelah menetap lama di Bali telah menggugah kembali semangat rakyat Blambangan yang hampir padam. Sebelum penyerangan pasukan Mataram terakhir ia lebih berhati-hati dalam menyusun siasat. Kali ini Mas Kembar berpikir dan bersiasat lebih strategis praktis. Dipindahkannyalah pusat pemerintahannya ke Kedawung (Jember), dan bergelar Pangeran Kedawung. Kejadian ini sekitar tahun 1651 – 1655 (C.Lekkerkerker).  
Disebutkan juga dalam kisah Babad Tawang Alun (anonim), Bahwa dalam perjalanan tahun ke tahun kekuasaannya nampak kehidupan rakyatnya bertambah baik. Muncullah kemudian generasi-generasi dari Pangeram Kedawung yaitu dengan putera sulungnya Raden Mas Tawang Alun (1645 – 1691), Mas Wila, Mas Ayu Tanjung Sekar, Mas Ayu Melok dan Mas Ayu Gringsing Retna.
Dari informasi di atas, tidak pernah disebutkan tentang lokasi dan keberadaan bekas-bekas peninggalan situs keraton di Kedawung Jember. Karena di Jember ada beberapa nama tempat yang bernama Kedawung. Praktis hingga kini keberadaan situs peninggalannya tidak pernah ditemukan, kecuali nama Prabu Tawang Alun telah diabadikan pada sebuah terminal yang berada di Kecamatan Rambipuji.
       Agaknya kita kembali harus memeras otak dan mandi keringat untuk menyingkap semua berbagai sumber sejarah. Penulis dari tim Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu dengan segala keterbatasan pengetahuan dan referensi lebih banyak berpedoman pada buku babon Negarakretagama (Desawarnana) dan Pararaton serta beberapa Babad yang terpisah (parsial). Sumber-sumber tertulis boleh dikata tidak ada yang mengungkap kegiatan pembangunan candi dan penulisan prasasti yang berada di Jember.
     Pada era Kerajaan Majapahit (tahun 1331 Masehi) di daerah Sadeng (sekarang diperkirakan Dusun Sadengan-Grenden Puger) telah ada masyarakat dengan sistem pemerintahan berupa sebuah kadipaten atau kerajaan kecil. Wilayah yang disebut Sadeng itu pernah "memberontak" pada Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1351), yang kemudian ditumpas oleh Ra Kembar dan Gajah Mada bersamaan dengan pemberontakan Keta di Panarukan (Situbondo). Peristiwa itupun kesulitan untuk disingkap fakta sejarahnya  karena tidak ditemukan bekas-bekas peninggalan sejarah di sana.
     Kemudian dalam pupuh 22 kitab Kakawin Nagarakretagama disebutkan bahwa beberapa daerah di Jember telah mendapat kunjungan Prabu Hayam Wuruk dalam lawatannya (tirtayatra) ke wilayah Lamajang (Lumajang) dan Tigang Juru.
Dengan begitu ternyata sangat banyak di wilayah Jember tempat-tempat yang disinggahi oleh Raja Majapahit, sehingga ada kesimpulan bahwa penguasa itu punya perhatian dan ketertarikan luar biasa pada alam di kawasan Jember.
Wilayah Jember tampaknya telah dijadikan semacam tempat tetirah dari Sang Prabu untuk menenangkan diri dari berbagai masalah pelik yang melanda pusat. Persoalan kegagalan mendapatkan calon permaisuri Dewi Citraresmi Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pajajaran yang lampus (bunuh diri) pada peristiwa Perang Bubat di tahun saka Sanga Turangga Paksowani (1353 Masehi) membuatnya depresi. Sehingga atas saran dan masukan dari dewan Bhattara Saptaprabhu atau Pahom Narendra, Hayam Wuruk dianjurkan melakukan perjalanan "tamasya" sembari melaksanakan ritual dengan puja puji kepada para dewa.
Sangat memungkinkan kemudian bila di tempat itu dibangun beberapa pesanggrahan, petirtaan dan percandian di wilayah yang didatangi. Tujuan dibangunnya tempat berupa candi, petirtaan dan sebagainya sebagai wujud penghormatan raja Majapahit kepada para leluhurnya.
Alam kawasan Jember yang eksotis karena didukung oleh iklim tropis basah menyebabkan daerah ini mempunyai hutan lebat dan pemandangan indah.  Keadaan topografinya yang tidak terlalu ekstrim memudahkan perjalanan berkuda atau kereta pada masa itu.
Beberapa tempat di daerah Jember telah menunjukkan keberadaan situs bersejarah yang masih menjadi misteri serta legenda dan cerita rakyat (folklore dan folktale). Misalnya keberadaan Situs Gondosari di Tamansari (Wuluhan), penemuan artefak (manik-manik, gerabah, dll) serta tulang belulang di Dusun Ampel Krajan Desa Ampel Kecamatan Wuluhan. Lalu penampakan struktur batu bata kuno yang tertimbun tanah dan diperkirakan dari masa Kerajaan Majapahit di Sungai Mayang Kecamatan Mayang, serta bekas bangunan perkampungan di Kuto Kedawung, Desa Paleran Kecamatan Umbulsari. Penemuan di Kecamatan Mayang  itu kemungkinan berhubungan dengan perjalanan tirtayatra Raja Hayam Wuruk. Seperti halnya Situs Kuto Kedawung yang berhubungan erat dengan Situs Beteng di Sidomekar Semboro, yang diperkirakan peninggalan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) raja terakhir Majapahit yang melarikan diri dari serbuan tentara Demak.
      Pada kurun waktu jauh sebelum Raden Tetep (nama kecil Hayam Wuruk) mengadakan journey, ada beberapa bukti “penampakan” lain dari hasil lelampah para raja di Tanah Jawa. Di antaranya berupa prasasti berbentuk alat musik gong yang ditemukan di areal tanaman jati (jatian) Dusun Kaliputih Rambipuji. Semula batu itu diduga merupakan salah satu peninggalan manusia prasejarah sebagai wahana ritual. Kemudian penggunaannya dilanjutkan pada masa Hindu oleh penguasa atau raja yang datang ke sana. Ada torehan lima huruf Pallawa pada batu yang berbunyi Parvvateswara, yang artinya “Dewa Gunung” kronois dengan era Kerajaan Kanjuruhan di Malang atau Mataram Lama di Pegunungan Dieng yaitu berkisar tahun 650 – 750 Masehi.
Pada tahun 1933 Dr. W.F. Stutterheim, seorang ahli purbakala Belanda yang getol mengamati situs kuno di Jember melakukan observasi arkeologis terhadap keberadaan batu tersebut. Hasilnya, aksara tersebut bisa dibaca sekaligus diketahui kekunoan (oudheidkundig) dari batu andesit. Sayang informasi dari pakar asing tersebut tidak banyak membantu sejarawan lokal untuk menguak lebih detail tabir di belakangnya.
Selain itu ditemukan juga prasasti di daerah lereng Gunung Argopuro, tepatnya di Dusun Congapan Desa Karang Bayat Kecamatan Sumberbaru. Prasasti yang diperkirakan lebih belakangan dari Situs Batu Gong itu ber-candrasengkala 1088. Tulisan Pallawa berbungi Tlah Sanak Pangilanku, yang menunjukkan angka tahun. Menurut penulis kemungkinan merupakan peninggalan dari penguasa yang sezaman dengan Kerajaan Kediri dari Dinasti Isyana (keturunan Mpu Sindok) pada masa Raja Samarawijaya (Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa) yang hampir kronois dengan Prasasti Ranu Kumbala di tepi telaga Gunung Semeru. Ketika penulis melacak jejak keberadaan situs tersebut yang berada di lereng gunung dengan jalan terjal berbatu, besar kemungkinan merupakan tempat tirtayatra. Prasasti Congapan diperkirakan tetenger dari tempat pemujaan (ritual) terhadap Dewa Syiwa yang memuja Dewa Gunung (dilambangkan dengan Mahameru di India). Dengan asumsi banyaknya tempat pemujaan dan candi yang dibangun pada ketinggian (lereng gunung). Termasuk bekas peninggalan candi/pura kuno di lereng Gunung Argopuro (Situs Dewi Rengganis dan Candi Kedaton) yang masih misterius dan percandian di daerah Kecamatan Tiris (Probolinggo).
        Merunut jauh ke belakang sebelum lahirnya kerajaan-kerajaan Hindu - Budha di Jawa Timur, kawasan Jember telah dihuni oleh nenek moyang dan penduduk asli yang  hidup dengan berburu dan meramu (bercocok tanam). Kehidupan food gathering dan food producing dengan pola kehidupan nomaden dan sedenter  yang dibuktikan dengan ditemukannya banyak artefak, ekofak di daerah Jember dan Bondowoso. Alat-alat yang digunakan manusia purba tersebut sebagian masih tersimpan, namun banyak yang beredar di tangan para kolektor barang antik.
        Munculnya peradaban Jember Lama diperkirakan pada era Palaeolitik (Batu Tua), kemudian pada masa Neolitik (Batu Muda) dengan peninggalan masa perundagian yang berciri khas ciptaan bangunan Megalitik yaitu bangunan yang terbuat dari batu-batu besar. Bangunan Megalitik berupa menhir, dolmen, sarkofagus, waruga, peti kubur dan punden berundak-undak. Benda-benda ini ternyata banyak terdapat di Situs Seputih, Sumber Jeding, Desa Seputih Kecamatan Mayang berupa sarkofagus. Di daerah Situs Doplang di Desa Kamal dan Desa Klanceng Kecamatan Arjasa ditemukan benda berupa menhir, dolmen dan batu kenong . Di Dusun Srimo Kecamatan Sukowono didapatkan juga benda-benda era Megalitik yang masih tetap terpelihara.
        Selanjutnya dalam arsip penelitian kolonial disebutkan juga tentang penemuan tulang belulang manusia prasejarah yang diperkirakan nenek moyang Homo Austro-Melanesoid di Goa Sodong, Gunung Watangan Kecamatan Puger yang digali pada tahun 1935. Manusia Goa Sodong diperkirakan hidup sekitar 700.000 tahun lalu.
Temuan ini semakin menguatkan tentang fakta sosial (social fact) keberadaan peradaban Jember Lama yang sudah ada sejak masa nirleka (sebelum ditemukan tulisan). Serta menegaskan tentang pendapat bahwa tempat tinggal manusia prasejarah adalah di tepi pantai, goa-goa, dan lembah sungai. Di daerah pantai domisili manusia prasejarah banyak menempati ceruk-ceruk bukit kapur (karst) atau liang-liang goa yang terbentuk dari batu gamping akibat terjadinya pengangkatan tektonik dan vulkanik sejak masa Miosen.
     Teknik penguburan di Gua Sodong identik dengan budaya Sampung-Pacitan dan pesisir selatan yang menjadi hunian manusia prasejarahi. Selain itu banyak kesamaan dengan penemuan arkeologi di daerah pesisir selatan Pulau Jawa utamanya di Gunung Kidul Jogjakarta yang sudah di-ekskavasi yaitu di daerah Song Bentar dan Song Blendrong (Kompas – Melacak Manusia Purba Gunung Kidul, 2009). Di dua tempat tersebut ditemukan alat-alat seperti batu giling, beliung persegi, mata panah, tulang, peralatan batu, tanduk dan serut kerang. Kemiripan lainnya dengan penemuan arkeologi di Goa Lawa, Pegunungan Sewu yang berada di kawasan pegunungan pantai selatan.
       Namun sayang sekali penelitian dan ekskavasi di Goa Sodong tidak pernah dilanjutkan sejak peneliti Belanda menemukan jejak-jejak prasejarah tersebut. Temuan itu  diabadikan dalam rekam kamera foto yang dibukukan dalam “Hybride, Voetsporen Aan De Kim : Vijftien jaar als Amateur-Natuuronderzoeker in de Tropen, Batavia-Centrum : N.V.G KOLFF & Co, 1938. Dengan demikian sudah saatnya pemerintah daerah mengambil sikap proaktif untuk menindaklanjuti adanya temuan-temuan arkeolog agar sejarah yang melatarbelakangi Jember tersingkap sedikit demi sedikit.

Keterangan Foto : Situs Gondosari, Tamansari Wuluhan yang telah berubah jadi kolam. Konon di dasar kolam masih bisa dijumpai umpak bekas candi, artefak, dll. Sisa batu bata besar khas Majapahit sudah berserakan di sekitar Situs dan sebagian besar sudah lenyap dijarah.

2 komentar:

  1. Admin mending adain penelitian sejarah situs ,catatan mengenai kota Jember .
    Semua data riset dijadikan buku bukti sejarah kota Jember .
    " Babad Jember "

    BalasHapus
  2. Terimakasih banyak :)) Sangat membantu saya mengerjakan tugas sekolah !!

    BalasHapus