Kode Iklan

Senin, 27 Mei 2013

CANDI DERES, MONUMEN MAJAPAHIT DI TIGANG JURU YANG TERSISA


    Prasasti Butak atau yang dikenal dengan nama Piagam Kudadu (tanggal 11 September 1294 M) menyebutkan tentang perjalanan Sanggramawijaya (Raden Wijaya) dengan para sahabat yang tergabung dalam sisa pasukan Kerajaan Singhasari saat mengalami pralaya (pemusnahan) mundur dan lari dikejar pasukan Jayakatwang dan  Patih Kebo Mundarang dari Kerajaan Gelang-Gelang (Daha).
    Dalam pelarian itu mereka akhirnya sampai di daerah pedalaman sebuah desa bernama Kudadu atau Pandakan. Oleh kepala Desa Kudadu yang bernama Macan Kuping para ksatria yang terdiri dari Lembu Sora, Ranggalawe, Nambi, Dangdi, Banyak Kapok, Pedang, Mahisa Pawagal, Pamandana, Gajah Pagon, Wirota dan Wirogati diterima dengan senang hati dan disuguhi buah kelapa muda. 
Konon disebutkan bahwa setelah kelapa muda dibelah untuk dimakan, telah menampakkan sebuah "keajaiban" yaitu perlambang akan adanya kemenangan dan kemegahan Raden Wijaya di kemudian  hari.
     Selanjutnya dari Desa Kudadu rombongan meneruskan perjalanan ke Kulawan, Rembang sebelum akhirnya ke Madura yaitu Sumenep (Songeneb) dengan meninggalkan Gajah Pagon yang terluka pahanya akibat hunjaman tombak musuh dan menitipkan pada kepala desa Kudadu tersebut.
Di Sumenep mereka diterima dengan sukacita dan penuh keramahan oleh Banyak Wide atau Arya Wiraraja dan istrinya. Sambutan tuan rumah terhadap tamunya yang datang dari jauh dengan perjamuan serta hidangan makanan dan minuman yang berlebihan. Selain itu banyak nasehat, petuah dan siasat politik yang diajarkan pada Sanggramawijaya guna mengalahkan pasukan Jayakatwang dari Gelang-Gelang termasuk memanfaatkan pasukan Mongol (Tartar).
Perlu diketahui Banyak Wide adalah seorang politisi dan pakar militer yang mumpuni dan menjadi andalan Kertanegara raja Singhasari. Hanya karena hasutan kaki tangan Jayakatwang di dalam istana dia lalu disingkirkan dan dibuang menjadi adipati di Sumenep.
       Sanggramawijaya sangat berterima kasih dan berjanji pada Arya Wiraraja, kelak kalau dia dapat menguasai Pulau Jawa maka wilayah kerajaaannya akan dibagi 2 yaitu wilayah barat menjadi bagiannya, dan wilayah timur yang meliputi Lamajang (Lumajang) Utara, Lamajang  Selatan dan Tigang Juru menjadi hak Arya Wiraraja. Menurut beberapa pendapat istilah Tigang Juru menyebutkan dengan juru atau 'kepala daerah'. Namun ada pendapat sederhana yang dimaksud dengan daerah "Tigang Juru" itu adalah "tiga penjuru" mata angin yaitu Bondowoso dan Situbondo di utara, Jember di selatan dan Blambangan (Banyuwangi) di sebelah timur. Dengan asumsi karena wilayah Lumajang (Lamajang) sudah memiliki nama sendiri, sedangkan penyebutan wilayah yang belum memiliki nama di sekitar Lumajang untuk lebih mudahnya mengacu pada arah mata angin. Wilayah pembagian itu hampir mirip dengan wilayah pasca pemerintahan Raja Airlangga yang dibagi dua yaitu Pangjalu dan Jenggala. Wilayah Pangjalu meliputi sebelah barat Sungai Berantas dan Jenggala di sebelah timur yaitu termasuk Gunung Semeru dan Gunung Brahma (Bromo).
    Ketika cita-cita Sanggramawijaya terwujud dengan lahirnya Kerajaan Wilwatikta (Majapahit), Ia menepati janji dengan memberikan wilayah Lumajang kepada Arya Wiraraja yang diangkat menjadi Raja Muda dengan gelar Rakryan Mantri Makapramuka.
Realisasi janji itu ditagih oleh Arya Wiraraja pasca terjadinya Pemberontakan Ranggalawe Adipati Tuban. Setelah gugurnya Ranggalawe Pararaton menyebutkan bahwa Arya Wiraraja pulang ke Lamajang. Dalam peristiwa ini akhirnya terjadi pemisahan wilayah Majapahit secara de jure. Meskipun secara de facto wilayah Lumajang tetap bertuan pada superioritas Majapahit. Sejak saat itu juga kedudukannya sebagai Adipati di Sumenep telah berakhir.
Selanjutnya pengganti Arya Wiraraja yaitu Pu Nambi tetap menyatakan kesetian dengan menyerahkan pajak in natura pada Majapahit di Antarwulan (Trowulan) sampai akhirnya dia dibantai dengan keluarganya (1316 M) dalam mempertahankan Benteng Pajarakan. Pu Nambi di-pralaya oleh tentara Majapahit akibat dari sebuah skenario besar Mahapati (Dyah Halayudha) tokoh culas dan licik yang menginginkan teman seperjuangan Raden Wijaya semuanya tumpas kelor.
 Ada perkiraan ditemukannya Situs Petukangan di daerah Panarukan memungkinkan peninggalan Majapahit (Lamajang), dengan nihilnya pembuktian keberadaan benteng Pu Nambi di Pajarakan (sekarang di Probolinggo).
Menurut cerita penduduk di Lumajang, pertempuran sengit antara Majapahit dengan Lamajang terjadi di daerah Bondoyudo (sekitar parit raya) dengan menelan korban banyak pada pihak Lamajang, sehingga dikaitkan dengan kemiripan dalam kisah Mahabharata yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa dalam Perang Bharatayudha.
  Daerah Lamajang dan Tigang Juru selanjutnya diintegrasikan kembali dengan Majapahit pasca gugurnya Pu Nambi. Untuk seterusnya menjadi daerah yang teramat penting bagi Majapahit karena merupakan dataran yang amat subur dan strategis, hutannya lebat dengan aneka jenis binatang yang langka, daerahnya relatif aman dari amukan letusan gunung dan gempa. Peristiwa letusan Gunung Kampud (Kelud) dan bencana di Pabanyu Pindah di masa lahirnya raja Hayam Wuruk yang memporak-porandakan Majapahit Barat, sehingga ada pemikiran untuk memindahkan pusat kerajaan ke Lamajang atau Tigang Juru. Meski akhirnya rencana itu kandas karena ada pertimbangan historis bahwa daerah Lamajang dan Tigang Juru tetap harus berada pada keturunan Pu Nambi dan Arya Wiraraja guna menghormati dua tokoh tersebut.
    Sebelum terjadinya peristiwa Perang Paregreg  pada tahun 1404-1406 antara Wikramawardhana dari Majapahit Barat dan Bhre Wirabhumi dari Majapahit Timur, wilayah Lamajang dan Tigang Juru menjadi tempat perjalanan muhibah Raja Hayam Wuruk. Bahkan raja dan kaum bangsawan dalam lawatannya  naik kereta lembu dan sering menginap, dengan diiringi pasukan pengawal yang besar dengan kuda-kuda Sumba yang gagah dan kekar. Hal itu dengan bukti didirikannya beberapa candi seperti Candi Jabung di Paiton, Candi Deres di Gumukmas dan kemungkinan bangunan suci di Situs Gondosari di Wuluhan, Situs Kranjingan dan situs-situs lainnya yang belum digali. Perjalanan panjang Prabu Hayam Wuruk dan rombongannya didampingi oleh Mpu Prapanca sebagai bujangga istana. Daerah-daerah yang dikunjungi adalah Kasogatan Bajraka, Sadeng (Puger), Kunir Basini (lembah Sungai Besini Puger), Kutha Bacok (Watu Ulo), Sarampwan, Renes (Wirowongso), Lurah Blater dan Balung. Di Kutha Bacok (Watu Ulo) Sang Prabu sangat terkesan sewaktu menikmati deburan ombak pantai yang berpendar seperti hujan kala menerpa batu karang yang berdiri kokoh.
    Dalam salah satu pupuh Kitab Negarakretagama atau Desawarnana (1365 M) juga dilukiskan dengan panjang dan apik bagaimana serunya perburuan raja dengan para prajurit dan bangsawan di hutan kawasan timur di daerah Palumbon yang kaya dengan aneka jenis binatang. Bahkan Pancaksara (Mpu Prapanca) atau yang dikenal sebagai Dang Acarya Nadendra pengarang kitab, melukiskan juga salah satu kisah perburuan tersebut yang membawa banyak korban di kalangan prajurit akibat diseruduk celeng, ditanduk rusa dan banteng atau dikejar harimau dan binatang buas lain, dalam perburuan di hutan Nandawa
Apa yang ditulis pujangga Mpu Prapanca  sangat relevan dengan keadaan kawasan hutan di wilayah Majapahit bagian timur. Sedangkan beberapa bangunan berupa candi dan petirthaan yang sebagian masih tersisa tersebut terkait dengan perjalanan raja sebagai monumen kebesaran Majapahit untuk dikenang.
     Keberadaan Candi Deres menyisakan sedikit bangunan yang masih tegak dengan reruntuhan batu bata besar khas Majapahit di sekitarnya, membuat penulis dan komunitas Bhattara Saptaprabhu sangat prihatin. Candi yang mungkin sudah runtuh bila tidak ditopang dan dicengkeram oleh pohon kepuh (sterculia foetida) serta ditumbuhi pohon apak panggang (ficus reptan) dan wuni (antidesma bunius) itu masih menampilkan kewibawaannya sebagai sebuah bekas tempat ritual pendharmaan.
Pelataran candi seluas lebih kurang 5000 m2 yang ditemukan sekitar tahun 80-an telah dipenuhi rumput liar dan dijadikan lahan tegalan oleh keluarga juru kunci. Tak jarang kadang beberapa ekor ular berbisa melintas di areal sekitar candi yang berangin sepoi-sepoi dan berhawa sejuk yang membuat kita sangat betah berlama-lama tinggal di sana.
Sungguh suatu bangunan yang luar biasa meski hanya tinggal puing-puing. Kehebatan bangunan berbatu bata merah dengan mutu pembakaran tinggi dan kualitas tanah liat pilihanlah yang membuatnya bertahan hingga lebih dari enam ratus tahun.
     Di daerah Jember dan Lumajang yang masuk wilayah Majapahit timur maupun di Banyuwangi dan sekitarnya, tidak banyak peninggalan Majapahit yang utuh. Semuanya sudah tergerus, terkubur lahan tegalan, pekarangan dan persawahan penduduk dan sangat muskil untuk menggali kembali. Rendahnya kesadaran masyarakat serta ketidaktahuan pada pentingnya cagar budaya yang diatur dalam Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang selama ini tidak pernah disosialisasikan. Peninggalan berupa candi dan sejenisnya yang dianggap sebagai sarana memuja dewa, tempat bersemayam mahluk halus, sinkretis, bid'ah dan khurafat, menjadikan bangunan itu sasaran amuk massa khususnya pada tahun 1966 - 1968. Situasi politik saat itu yang rentan terhadap sentimen agama, ras dan golongan akibat peristiwa G 30 S/PKI telah menjadikan kelompok yang tergabung dalam  KAMI/KAPPI melakukan perusakan peninggalan cagar budaya di Jember dan sekitarnya.
Selain itu maraknya pencurian di areal situs yang berburu harta karun, artefak, benda-benda pusaka dan selanjutnya dijual ke kolektor barang antik. Mereka tidak berpikir bagaimana kelak generasi muda yang akan datang mencari bukti kebesaran nenek moyang di masa lalu. Selain manfaat untuk kegiatan para ilmuwan mengadakan riset sejarah, juga sebagai monumen kekayaan bangsa dan penghargaan terhadap karya budaya pendahulu kita. 

(Oleh : Zainollah, S.Pd & BHATTARA SAPTAPRABHU)

Keterangan Foto  : Kaki candi yang masih kokoh meski dililit akar pohon, koordinator Forkom  Bhattara Saptaprabhu dan beberapa anggota lagi bersantai dan berdiskusi di  lokasi Candi Deres.
 
 
         

Kamis, 23 Mei 2013

SITUS BETENG , WARISAN MAJAPAHIT YANG TERGERUS


    Keprihatinan kami sebagai pecinta dan penyelamat cagar budaya khususnya yang ada di Jember makin mendalam tatkala berada di Situs Beteng yang berlokasi di Dusun Beteng Desa Sidomekar Kecamatan Semboro. Apa yang semula tergambar di benak kami tentang keberadaan sebuah benteng utuh yang berdiri kokoh, tidak sesuai harapan. Karena bekas beteng (benteng) yang diperkirakan dibuat pada masa akhir kebesaran Majapahit sekitar tahun 1477 itu kini sudah hampir sirna. Tinggal pondasi batu bata merah besar yang menjadi ciri khas bangunan era Majapahit dan beberapa lagi yang sudah tidak utuh dan masih berserakan di sekitar benteng. Berdasarkan penelitian pada awal ditemukannya bekas bangunan, panjang benteng itu diperkirakan antara 6- 8 kilometer ke arah timur dan selatan. Pada bangunan utama (semacam bangsal atau paseban) ditemukan bekas beberapa ruang  (kamar) dengan ketebalan batu bata besar sekitar 80 centimeter. Semula bangunan itu terhubung sampai ke daerah Kuto Kedawung Desa Paleran Kecamatan Umbulsari. Mengingat banyaknya ditemukan fondasi batu bata yang terpendam serta keberadaan 6 buah sumur kuno yang di sekitar bangunan benteng.
    Di Situs Kuto Kedawung Paleran yang menjadi bagian dari beteng keberadaan bangunan sudah tidak tampak lagi karena tertutup oleh persawahan milik penduduk. Struktur batu bata sudah dirusak oleh tangan-tangan jahil dan secara perlahan mulai raib tidak ketemu rimbanya.
Tidak mustahil bila bekas bangunan itu adalah benteng pertahanan yang melingkari "kota baru" yang dibuat dalam rangka mempertahankan diri dari serangan musuh. Ketebalan batu bata serta beberapa artefak yang berhubugan dengan kepentingan militer dan keberadaan beberapa buah sumur sebagai sarana logistik menunjukkan indikasi yang tidak bisa dipungkiri. 
   Pohon beringin besar yang biasanya selalu tumbuh berdampingan dengan bekas bangunan bersejarah, tampak menghiasi pelataran dekat tempat penyadranan (ritual) benteng. Sehingga pohon yang disebut asoka atau bramastana itu sempat membingungkan pengunjung benteng karena mendominasi di lokasi tersebut. Pohon itu bisa-bisa dianggap obyek utama karena tidak tampaknya onggokan bekas bangunan beteng yang sebenarnya. Apa yang kelihatan hanya beberapa tinggalan berupa artefak seperti beberapa alu dan lesung batu yang digunakan untuk meracik obat-obatan untuk prajurit yang terluka dalam pertempuran. Beberapa lumpang, batu pipisan, batu gunjik, kalung manik-manik, pahoman (pedupaan) dan serpihan batu andesit dan terakota. Keberadaan pedang kangkam pamor kencana peninggalaan Prabu Brawijaya V (Bhraa Kertabhumi ?) yang sering diberitakan itu tidak tampak kelihatan.
Konon menurut juru kunci benteng Ngabdul Gani, pedang itu telah moksa (lenyap secara gaib). Pusaka yang ada sekarang hanya berupa keris pusaka Kiai Omyang yang masih dipegang olehnya dan ditunjukkan pada kami. Selain itu peninggalan penting lainnya adalah berupa sumur kuno dengan di-plengseng susunan batu merah era Majapahit meskipun pada bibir sumur di-plester semen untuk menjaga kekuatannya. Berdasarkan buku tamu yang dipegang juru kunci, bekas peninggalan bersejarah itu lebih banyak dimanfaatkan untuk ritual para peziarah yang datang untuk sambung do'a, bernadzar, mengambil air sumur dan daun pohon beringin untuk tujuan ngalap berkah. Hanya beberapa gelintir yang mengadakan sigi untuk penelitian sejarah.
    Kami berdiskusi dengan tim ketika mengamati tempat penyadranan, yaitu seandainya diadakan ekskavasi (penggalian) yang melibatkan arkeolog tidak menutup kemungkinan adanya terowongan dan ruang bawah tanah atau labyrint yang menghubungkan benteng dengan hutan sekitar atau sungai. Lorong tersebut sebagai jalan rahasia untuk menyelamatkan raja dan keluarganya bila terjadi situasi darurat atau bila benteng terkepung dan diduduki musuh. Kemungkinan hal itu ada kemiripan dengan ruang bawah tanah Situs Kedaton dan Sumur Upas yang ada di Trowulan Mojokerto. Dengan asumsi bila benar itu bangunan benteng, tak akan lepas dari keberadaan ruang bawah tanah, terowongan, penjara bawah tanah, gudang senjata dan sebagainya. Bangunan benteng yang dibangun dengan bata merah dan direkatkan dengan cara digosokkan, berhubungan dengan bangunan kuno yang ada di Desa Paleran Umbulsari yang sekarang sudah tidak tampak akibat dijadikan persawahan penduduk.
    Menurut Ngabdul Gani, situs beteng yang ditemukan tahun 1939 dengan ketinggian 2,5 meter itu mengalami pengrusakan parah dan aksi vandalisme tahun 1968 pasca peristiwa Gestapu (G30S/PKI  1965) oleh massa mahasiswa yang mengatasnamakan KAMI/KAPPI. Kalau itu memang benar  mahasiswa yang notabene kaum intelektual, mengapa benda bersejarah yang secara otomatis tempat mereka mengadakan penelitian dirusak ? Atau mengapa masyarakat juga menjadikan benteng yang "melongo" itu menjadi sasaran amuk ?
    Kalau hanya pelampiasan karena marah dan jengkel pada ulah kaum komunis pada saat konflik sektarian, tidaklah pada tempatnya mengganyang bangunan tersebut. Tindakan anarkhis mereka tidak sepatutnya dialamatkan pada bangunan yang didirikan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) saat dikejar-kejar tentara Raden Patah dari Kerajaan Demak itu .
Sebenarnya konflik antara Raden Patah dengan Brawijaya bukan perang agama, tapi terkait dengan suksesi dan hegemoni kekuasaan politik. Sebagaimana telah menjadi semacam kelaziman di tiap kerajaan, intrik politik, perang dan pembunuhan sudah biasa terjadi. Dalam peristiwa ontran-ontran Kerajaan Demak yang Islam melawan Majapahit yang Syiwa-Budha, justru di pihak Majapahit dipimpin beberapa senapati dan panglima perang beragama Islam. Di antaranya adalah Raden Kusen murid dari Raden Rahmat (Sunan Ampeldenta) yang merupakan adik kandung Raden Patah (Panembahan Jimbun - Sultan Demak). Peristiwa tersebut menghadapkan kakak-adik Raden Patah versus Raden Kusen di medan perang. Raden Patah sendiri merupakan keturunan dari Brawijaya V dengan puteri Aria Damar dari Palembang.
     Peristiwa pengrusakan pada Situs Beteng pada tahun 1968 berlanjut hingga sekarang. Meskipun pengrusakan sekarang tidak pada skala masif dan aksi vandalisme, namun bongkahan batu bata kualitas tinggi itu pelan-pelan raib digondol maling, atau dibawa orang untuk berbagai keperluan serta berada di tangan para kolektor.
Sangat disayangkan sekali perhatian Pemkab Jember dalam hal ini Dinas Kebudayan dan Pariwisata atau instansi terkait, karena tidak ada tindakan konkrit dalam menyelamatkan Situs Beteng dan situs-situs lainnya seperti Candi Deres, Situs Kutho Kedawung dan Situs Gondosari. Semuanya adalah situs-situs bernilai penting peninggalan Kerajaan Majapahit yang ada di Jember. Hingga kini keberadaan semua situs itu nyaris sirna, tergerus "tangan-tangan jahil" bahkan ada yang sudah terkubur seperti Situs Kutho Kedawung di Paleran dan Situs Gondosari di Tamansari Wuluhan.
      Sebagai komunitas pecinta sejarah, Bhattara Saptaprabhu telah mengadakan bhakti sosial guna menjaga dan menyelamatkan situs kuno yang dilindungi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya tersebut. Di antaranya adalah dengan mengumpulka batu bata yang berserakan dan benda-benda lainnya, serta memasang papan nama (nambor/banner) dan denah bangunan. Karena tanggung jawab pelestarian warisan nenek moyang itu ada pada generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
(Oleh : Zainollah, S.Pd dan Tim Bhattara Saptaprabhu)