Kode Iklan

Selasa, 10 September 2013

SEJARAH DAN MENTALITAS KEKUASAAN - Bagian 1



          Oleh  :  Zainollah, S.Pd (Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)


     " Banyak hikmah yang harus kita ambil dari sejarah, karena sejarah adalah kata kunci yang harus sering didengar. Kalau tidak kita akan menjadi semakin bodoh dan akhirnya terjatuh " (Anonimus)
       ltulah kata-kata bijak yang kadang mengingatkan kita akan pentingnya sejarah. Lakon sejarah dunia sudah sering diputar, tapi kita terkadang lalai dan tidak memperhatikan.  Akhirnya peristiwa (buruk) sejarah akan menimpa dan merugikan kita semua. Entah sudah berapa banyak kejadian dan peristiwa sejarah disetel dan dipertontonkan ulang bersama dengan dinamika kehidupan, namun akhirnya kerugian besar yang kita alami.
Panggung kekuasaan (politik) pada masa lalu adalah pusaran angin sejarah yang akan membawa dampak pada kehidupan rakyat suatu negeri. Kalau pusaran angin itu membawa manfaat dan kebaikan maka rakyat akan senang dan gembira, namun sebaliknya kalau pusaran angin membawa petaka maka rakyat akan akan susah dan menderita.
     Kejadian demi kejadian dari panggung kekuasaan yang melibatkan para raja dan bangsawan, kaisar, maharaja, presiden, bupati, para baron, warlord, tuan tanah, kiai, direktur, kepala gangster sampai kepala sekolah adalah pemegang power yang bernama titah. Titah ini bersumber di kalangan para pimpinan mulai kepala suku di masa neolitik yang identik dengan primus interperes sampai masa raja-raja dengan nama sabda pandita ratu (satria pinandita) adalah kebijakan mutlak yang harus ditaati. Bila tidak, celakalah.
Seorang Don Carleone gangster dari mafia Sicilia dengan mudah mengumbar nyawa anak buahnya bila tidak sekehendak dengannya. Karena Ia punya kekuasaan absolut yang tidak bisa diganggu gugat "the king can don't wrong". Sebagaimana misal beberapa diktator Afrika seperti Joseph Mobutu Sese Seko, dan Idi Amin Dada mengeksekusi mati rakyat dan lawan politik yang tidak satu "selera" dengan mengumpankan jasadnya pada buaya Sungai Nil yang kelaparan.
     Di Perancis Raja Louis XVI yang menyebut dirinya dengan "L'etat ces Moi" (Negara adalah Saya) bersama permaisuri Maria Antoinette yang melakukan mega korupsi dan praktek hedonisme berakhir di ujung pisau gioullitine (goyting) yang memenggal lehernya di lapangan Penjara Bastille di tahun 1789. Louis XVI tidak pernah belajar dari sejarah Raja Louis sebelumya dalam kasus yang sama.
      Arogansi kekuasaan tidak hanya ditampilkan bangsa yang dianggap barbar dan biadab di masa lalu seperti Viking, Goth, Visigoth dan Vandal atau Hun maupun Tartar. Tapi juga bangsa yang santun, lemah lembut dan "beradab" seperti Jepang dan Indonesia. Seorang tokoh legendaris Jepang Miyamoto Musashi pada era 1600-an telah melakukan seni pertarungan dan duel terhormat lebih dari 60 kali dan beberapa peperangan sejak usia 13 tahun dengan kemenangan yang fantastis. Musashi menyudahi lawan-lawannya dengan elegan dan penuh percaya diri. Beberapa duel di antaranya menggunakan sebuah tongkat di samping pedang katana. Ia membuat memori sejarah kegemilangannya dengan mewariskan Kitab Lima Lingkaran yang kesohor. Dengan harapan para samurai dan ronin generasi berikutnya dapat meniru keberhasilannya. Musashi jadi sosok egosentris dengan memegang kendali hirarki kekuasaan dirinya yang kuat tanpa membawa nama keluarga, klan atau suku.
Jepang adalah bangsa yang banyak belajar dari sejarah dan terkenal adaptif pada budaya bangsa lain yang lebih maju. Sejarah dan budaya asli mereka tetap menjadi identitas keseharian, meskipun terjadi akulturasi dengan budaya barat, namun tetap berpijak ke arah matahari terbit tempat Amaterasu Omikami, Sang Dewa. 
     Para kaisar seperti Matsuhito (Meiji Tenno) yang dianggap ber-mainset barat telah sukses mengadakan restorasi (Restorasi Meiji) dengan  membawa Jepang sebagai salah satu negara terkuat di dunia. Demikian juga Kaisar Hirohito (Tenno Heika) yang menyeret Jepang dalam kancah Perang Dunia II sehingga negaranya luluh lantak, kemudian berhasil bangkit dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun. Meski dikenal bermental fasis karena politik ekspansinya, kekuasaan bangsa Jepang yang dianggap bangsa beradab telah banyak melahirkan korban perang dan penderitaan panjang. Rasanya tidak cukup dengan mendirikan tugu peringatan korban bom atom Hiroshima - Nagasaki saja untuk menghapus luka sejarah. Tapi Jepang juga dituntut untuk menanggung biaya pampasan perang utamanya yang menjadi romusha dan yugun ianfu.
    Sedangkan panggung kekuasaan para raja Jawa di masa lalu banyak ditulis dalam batu prarasti, inskripsi, daun rontal (lontar) dalam bentuk kakawin, babad, serat atau dalam bentuk folklore dan folktale. Tentunya para bujangga dan empu (sastra) memiliki visi ke depan untuk menjadikan pelajaran dan hikmah sejarah yang dapat diambil sebagai cermin dan bahan refleksi dan evaluasi. Mpu Prapanca (Dang Acarya Nadendra) atau yang dikenal dengan nama samaran Pancaksara bertahun-tahun melakukan pengembaraan ke penjuru nusantara dan pada akhirnya "menerbitkan" karya masterpiece yang sekarang diakui UNESCO yaitu Kakawin Negarakretagama atau Desawarnana. 
Kitab ini melukiskan kebesaran Majapahit yang tata tentrem kertaraharja berdasarkan tulisan pujasastra (tulisan yang bersifat memuja raja) yang ditulisnya. Banyak sejarawan yang mengkritik sifat dan mentalitas Prapanca yang dianggap "ngathok", pakewuh dan tidak obyektif. Tulisan Prapanca berdasarkan pesanan Hayam Wuruk saja. Salah satu event sejarah kelam Majapahit yaitu Perang Bubat, tidak di-eksplanasi dalam kitab monumental itu. Karena dianggap sisi kelam dan lembaran hitam yang tabu untuk diungkap. Begitu juga ending dari sepak terjang Sang Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada yang tidak pernah dijlentrehkan dan membuat kita semua bingung. Prapanca disebut menutupi noda-noda sejarah yang bisa menurunkan derajat dan wibawa Majapahit khususnya. Kisah Perang Bubat (Sanga Turangga Paksowani) hanya sebagian saja disinggung dalam Pararaton (Katuturanira Ken Arok) yang pujangganya anonim dan kontennya banyak kontradiksi dengan Kakawin Negarakretagama.
Kisah tragis itu juga dilukiskan dalam Kidung Sundayana yang ditulis oleh seorang Dang Acarya dari Bali kala diutus ke Pakuan Pajajaran oleh Hayam Wuruk untuk meminta maaf dan mengurus para korban yang gugur. Alhasil luka sejarah itu konon dibawa sampai sekarang dalam adat kebiasaan Sunda. Di antaranya mereka emoh mengakui eksistensi orang Jawa yang dianggap identik dengan Majapahit. Misalnya dalam hal pernikahan, gadis Sunda dilarang menerima lamaran pria Jawa. Atau di Bandung dan sekitarnya di "haram" kan dan tidak ada nama jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Majapahit.
     Lalu di era Mataram Islam penulisan sejarah oleh para bujangga lebih transparan dan terkesan apa adanya. Panembahan Senopati yang menjadi raja petama disebut sebagai raja gung binatara, sakti mandraguna dan mempunyai kemampuan berinteraksi dengan Kanjeng Ratu Kidul penguasa pantai selatan. Ia dikenal sebagai sosok kharismatis dan penuh wibawa. Meskipun disebutkan pernah membenturkan kepala Ki Ageng Mangir sampai hancur pada "watu gilang" yang menjadi dampar (tempat duduk) Senopati karena dianggap rival politik sekaligus berkeinginan menjadi menantunya. Kemudian pengganti Senopati adalah cucunya yaitu Raden Mas Rangsang atau yang dikenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613 - 1645) dan dikenal sebagai figur negarawan sejati berwatak tegas dan anti kolonial. Di balik sosoknya yang dicintai rakyat dan ditakuti VOC, Sultan Agung diceritakan pernah mengeksekusi mati Dipati Ukur (panglima perang) Mataram dari Sunda bersama ribuan pasukan Sunda dan rakyatnya gara-gara terjadi salah perhitungan yang mengakibatkan Tumenggung Baurekso panglima perangnya gugur dalam penyerbuan ke Batavia pada tahun 1628.
     Di belahan dunia lain, para penguasa yang banyak belajar dari sejarah dan meraih sukses dan kemenangan adalah Sultan Saladin (Salahuddin Al-Ayyubi) dari Dinasti Fatimiyyah Mesir. Ia menaklukkan kaum crussader yang agresif ambisius dari Eropa dalam Perang Salib akbar yang dipimpin para baron, Kesatria Templar (Knight Templar) dan Raja Richard Lionheart (Inggris), Frederic Barbarosa (Jerman) serta Philips Augustus (Perancis). Ia mencermati kisah sejarah perang pada masa Rasulullah SAW dengan menggembleng para pemuda untuk berjihad. Di antaranya mewajibkan Sirah Nabawiyah menjadi doktrin utama untuk menggugah semangat pada jihadist. Sehingga pada akhirnya Salahuddin Al-Ayyubi dapat menguasai Kota Yerussalem kembali dengan gemilang.
      Beberapa abad kemudian seorang sultan dari Turki Saljuk Usmani, Muhammad Al-Fatih (Mehmed II) meraih sukses dengan merebut Kota Konstantinopel (Byzantium) pada tahun 1453. Jatuhnya ibukota Romawi Timur itu tidak luput dari "pengamatan sejarah" Sang Sultan yang kala itu masih berusia 21 tahun.
Muhammad Al-Fatih banyak menimba ilmu sejarah dan strategi perang dari para ulama dan panglima masa itu. Ia banyak mempelajari strategi militer dari para sahabat Nabi SAW, seperti Khalid bin Walid dari Thariq bin Ziad termasuk dari Salahuddin Al-Ayyubi dalam menghadapi kaum non muslim.
Diceritakan dalam sejarah bahwa pasukan Mehmed II adalah sebaik-baik pasukan dan pemimpinnya adalah sebaik-baik pemimpin. Sehingga kemudian benteng Byzantium yang bediri kokoh dengan pertahanan ekstra ketat itu akhirnya dapat dijebol oleh pasukan muslim. Trik yang digunakan hampir mirip dengan penaklukan Spanyol oleh Thariq bin Ziad atau penaklukan kota Yerussalem oleh Salahuddin Al-Ayyubi. Dalam konteks inilah para pemimpin besar banyak memperoleh inspirasi sejarah, sebagaimana jargon yang sering diucapkan oleh Pemimpin Besar Revolusi Ir. Soekarno, "janganlah sekali-kali meninggalkan sejarah" (dalam pidato "Jasmerah"). Bersambung
   

0 komentar:

Posting Komentar