Kode Iklan

Senin, 10 Juni 2013

SEPUTAR MITOS DALAM SEJARAH SITUS BETENG


( Berdasarkan Penuturan Juru Kunci Situs Beteng Ngabdul Gani )

        Pada tahun 1918 seorang pemuda bernama Mat Salam asal Desa Pagerwojo Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar merantau ke Jember tepatnya di Desa Semboro Kulon. Di samping Ia mondok, juga diserahi menggarap sawah dan menggembala kerbau milik majikannya yang bernama Markonah.
Pada suatu hari majikannya punya hajat untuk menikahkan anaknya, karena kekurangan kayu bakar pesuruhnya tersebut disuruh mencari kayu bakar di hutan sebelah timur. Untuk mencari kayu bakar yang kering Mat Salam agak masuk ke dalam hutan, Kemudian Ia menemukan hamparan tanah lapang yang luas sekitar 5 hektar. Di situ terdapat gundukan tanah dan puing-puing bangunan dari batu bata yang tingginya sekitar 2,5 meter dengan tebal 80 centimeter. Bangunan tersebut berbentuk sekat-sekat dan kamar-kamar.
     Di sekeliling bangunan ditumbuhi berbagai macam tanaman buah-buahan seperti pepaya jingga, jeruk bali, dan tumbuhan lain yang buahnya sudah masak dan ranum. Karena buah-buah tersebut sangat menarik hatinya serta rasa lelah dan lapar yang amat sangat Ia memetik dan makan dengan sepuas-puasnya serta mengambil lagi untuk dibawa pulang. Kemudian Ia meneruskan mencari kayu bakar dan setelah dirasa banyak lalu bergegas pulang. Namun setelah berjalan, Ia belum juga sampai di rumah seperti tidak pernah menemukan jalan pulang dan berlangsung selama tiga hari tiga malam. Ia tetap berkeliling tanpa disadari di sekitar bekas bangunan mirip benteng (beteng) tersebut. Karena merasa kelelahan yang luar biasa akibat berjalan, pemuda tersebut beristirahat dengan menaruh buah yang dibawanya dan tanpa disadari kemudian teringat akan jalan yang ia lewati ketika masuk hutan pertama kali. Akhirnya Ia pulang ke rumah tanpa membawa buah tersebut dan sampai dengan selamat tanpa tersesat lagi. Sementara keluarga di rumah sangat khawatir karena sudah beberapa hari Mat Salam belum pulang. Mereka sudah mencari dengan mengerahkan penduduk menuju hutan tapi tidak menemukannya. Itulah kisah perjalanan Mat Salam ketika menemukan bangunan berbentuk benteng yang kemudian dikenal dengan nama Situs Beteng di Desa Sidomekar Semboro.
     Pada tahun 1939 ditemukan sumur kuno oleh Harjo Suwondo. Sejak itulah kemudian para pemuka adat dan tokoh masyarakat bermusyawarah yang memutuskan bahwa setiap tanggal 1 Syuro (Jawa) diadakan upacara ritual seperti kenduri (barikan, ambengan) dan diramaikan dengan pertunjukan wayang kulit.
      Tahun 1957 Juru Kunci Situs Beteng, tokoh masyarakat dan perangkat desa mengadakan rembug desa untuk memugar bangunan yang kemudian disetujui oleh Kepala Desa Semboro dan Wedana Tanggul. Pada waktu itu Situs Beteng dipugar sesuai dengan bangunan aslinya (berbentuk benteng) dengan membangun gapura (candi bentar) dan motif kepala raksasa Kumbakarna yang selesai pada tanggal 21 Agustus 1958, kemudian diresmikan oleh pejabat Bupati Jember R.Oetomo pada tahun 1959.
Saat itu Situs Beteng menjadi obyek wisata yang cukup ramai dikunjungi dan terkenal di seantero Kabupaten Jember dan luar daerah.
Pengunjung yang datang cukup membludak apalagi pada hari-hari tertentu seperti Jum'at Kliwon, Jum'at Legi dan pada hari Minggu. Tamu yang datang tidak hanya dari Jember, tapi ada yang datang  dari Surabaya, Semarang dan Solo dengan tujuan utama nyekar (tabur bunga) pada kuburan Mbah Ngalwi Panji Seputro sebagai leluhur, untuk minta berkah selamat dan murah rejeki.
Pada hari Minggu kebanyakan pengunjung adalah para pelajar SD, SLTP dan SLTA utaemanya dari wilayah Jember dan sekitarnya.
     Ada sebuah kejadian aneh yaitu pada tahun 1962 di mana Pak Saji seorang ulu-ulu di Penggungan Desa Klatakan Kecamatan Tanggul yang datang ke Beteng untuk mengadakan tirakatan semalam suntuk. Ia kemudian berhasil mendapatkan benda secara gaib berupa mainan anak-anak berbentuk buah-buahan dan binatang kecil seperti jambe (pinang), jeruk bali, jeruk keprok, pisang dan pepaya, belimbing, ayam jantan dan betina, belalang dan jangkrik yang semuanya terbuat dari batu item (hitam) mengkilat. Anehnya satu tahun kemudian orang tersebut menjadi gila meskipun telah di-ruwat secara besar-besaran dengan hiburan pertunjukan wayang kulit di lokasi Situs Beteng tempat penemuan.
Akhirnya istri dan saudaranya mengembalikan mainan ke tempat asalnya (di dalam Beteng) dan terjadilah keanehan lagi setelah kantong yang berisi mainan tadi ditumpahkan ke tanah, sekitar 5 menit kemudian mainan tersebut berputar dengan cepat hingga mengeluarkan bias sinar kekuningan yang menyilaukan mata. Setelah itu lenyap tanpa bekas, dan Pak Saji sembuh seperti sedia kala.
      Sejak dipugarnya Situs Beteng pada tahun 1957 tempat tersebut seperti ada wibawa serta aura mistis sehingga sering terjadi keajaiban-keajaiban serta keanehan. Misalnya seorang yang bernama Suwali menusuk-nusuk patung Kumbakarna dengan pikulan bambu. Akibatnya dia terpelanting dan berbicara meracau serta melantur kemudian sampai di rumah meninggal dunia.
Juru kunci Situs Beteng pada tahun 1963 mendapat firasat agar lokasi dibersihkan dan dicat karena akan ada rapat akbar di lokasi Beteng yang akan diadakan pada Senin Wage malam Selasa Kliwon.
      Suatu ketika sesudah adzan Magrib terjadi lagi peristiwa aneh yaitu dari jauh terdengar suara derap kaki kuda yang sangat ramai ibarat sepasukan besar dari arah barat serta bunyi suara orang bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa (kromo). Saat itu kalau dilihat dari kejauhan di lokasi Beteng kelihatan terang benderang seperti ada barisan lampu dan suara-suara gaib yang terdengar dengan jelas. Namun ketika dilihat dari dekat tidak ada kejadian apapun. Namun pada pagi harinya di lokasi Situs Beteng banyak ditemukan puntung rokok jenis cerutu yang berserakan di sekitar bangunan, kalau dikumpulkan dapat satu baskom (tompo).
    Pada waktu pasca terjadinya peristiwa Gerakan 30 September PKI yaitu pada tahun 1968 mahasiswa yang tergabung dalam KAMI/KAPPI menunggangi gerakan massa untuk mengadakan pengrusakan dan aksi vandalisme pada bangunan beteng. Tembok-tembok benteng dijebol dan dirobohkan, pohon beringin besar ditebang dan ditumbangkan. Patung Dewa Syiwa diambil dan dibuang ke Sungai Menampu. Peristiwa itu berbuntut panjang, pada kejadian berikutnya  para pelaku yang terlibat pengrusakan mengalami gangguan jiwa,
Setelah peristiwa itu Situs Beteng dijaga oleh Batalyon 515 Tanggul yang saat itu bermarkas di Loji Semboro di sebelah selatan pabrik gula sampai situasi kondusif kembali. Sejak peristiwa pengrusakan itu kegiatan rutin peringatan 1 Syuro terhenti selama 3 periode, yaitu mulai tahaun 1968 sampai dengan tahun 1970.
Kemudian pada tahun 1971 Mat Salam mendapat wangsit bahwa sudah ditanami kembali pohon beringin tempat penyadranan sebelah timur, " anakmu kamu suruh mengambil pada pohon petai cina di sana, karena ada pohon beringin yang saya tempel pada salah satu cabangnya dan terletak di sebelah timur lokasi Situs Beteng. Jangan lupa kalau malam hari harus kamu jaga agar tidak dicabut orang "
Selanjutnya Mat Salam melaporkan pada Kepala Desa Semboro dan  ditindaklanjuti dengan menugaskan seorang anggota Babinsa bernama Sersan Mursid sebagai petugas untuk membantu mengamankan dan menjaga pohon beringin dari tangan orang yang tidak bertanggung jawab.
     Dengan ditanamnya kembali pohon beringin tersebut, sejak tanggal 8 Agustus 1971 peringatan rutin 1 Syuro diadkan kembali hingga sekarang. Pada tahun itu juga ada rombongan yang datang dari Surabaya ke Situs Beteng dengan bertujuan untuk meminta pusaka (mengaku dari ABRI/AL - sekarang TNI AL). Rombongan itu bukan penduduk asli Surabaya tapi ada yang dari Jogjakarta, Solo, Semarang dan Jakarta. Mereka diberitahu oleh guru pinasis (spiritual) nya yang ada di Semarang bahwa ada pusaka hebat yang ada di Semboro Beteng, Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember.
Setelah melaksanakan laku tirakat semalam suntuk, mereka mendapatkan batu permata (akik) berwarna hijau, lalu dicobalah keampuhannya. Ternyata apabila orang memegang batu itu ditembak dalam jarak 1 meter tidak tembus (kebal) dan pistolnya tidak bisa berbunyi. Apabila saat turun hujan tidak basah disekelilingnya dalam radius 2 meteran.
Tirakatan terus dijalani pada hari kedua  tengah malam, salah satu dari mereka melihat ada barang berada di permukaan tanah yang mengeluarkan sinar merah kehijau-hijauan. Kemudian sinar itu hilang dan berubah wujud menjadi pusaka yang berupa pedang kangkam pamor kencana. Yang lainnya juga melihat cemeti (pecut), bendera merah putih, keris nagasasra, bokor kencana dan sebuah peti besar.
      Karena mereka menginginkan semua yang dilihatnya dan batu yang didapat dibiarkan begitu saja maka apa yang telah mereka dapatkan sia-sia belaka karena batu akik itu kemudian raib tanpa bekas.
Setelah sampai 15 hari, pada malam Jum'at Legi tirakatan mereka dihentikan karena sudah tidak kuat lagi dan keesokan harinya meminta ijin pulang karena dicari oleh atasannya.
Sejak itu sampai sekarang banyak orang yang datang dari berbagai daerah tidak hanya dari Jawa Timur, mereka datang dengan tujuan ingin mendapatkan barang antik yang terpendam di lokasi Situs Beteng. Mereka pada umumnya menjanjikan imbalan yang tinggi (lebih dari 2 milyar rupiah) apabila berhasil mendapatkan benda yang diinginkan, akan tetapi tidak satupun di antara mereka yang berhasil dan oleh juru kunci ditolak karena Situs Beteng dilindungi oleh Undang -Undang Cagar Budaya.
    Sejarah tentang keberadaan benteng yang berada di Dusun Sidomekar Desa Semboro (sekarang Kecamatan Semboro), menurut cerita Eyang Meru, seorang keturunan sisa pelarian laskar Majapahit pada abad XIV yang datang ke lokasi sekitar tahun 1961 pukul 20.00 malam. Ia mengatakan bahwa Situs Beteng ada kaitannya dengan Kerajaan Majapahit di Trowulan Mojokerto. Kala itu Raja Kertabhumi (Brawijaya V) mempunyai permaisuri dari negeri Champa yang telah memeluk agama Islam bernama Ratu Dwarawati. Maksud dari ayah Sang Puteri menghadiahkan anaknya pada RajaMajapahit adalah untuk menyebarkan agama Islam pada rakyat dan rajanya. Karena Prabu Brawijaya mempunyai banyak selir, salah satunya ada yang paling disayangi oleh Sang Prabu, yaitu puteri Cina yang kecantikannya melebihi permaisuri.
        Puteri tersebut mempunyai nama asli Dewi Khian dan setelah dewasa diganti namanya menjadi Aryati Sekar Wangi yang kala itu hamil 5 bulan. Sedangkan Permaisuri sendiri tidak dapat mempengaruhi Prabu Brawijaya untuk masuk Islam. Apa yang menjadi kendala sesungguhnya dari Sang Prabu tidak mau Islam ? Seorang pejabat istana bernama Demang Kliwon yang sudah memeluk Islam mengetahui dan beranggapan bahwa Sang Prabu tidak mau masuk agama baru itu karena dipengaruhi oleh Aryati Sekar Wangi yang menganut agama Budha. Sebenarnya Prabu Brawijaya tetap pada pendiriannya yang kokoh dengan tetap menganut kepercayaan warisan nenek moyangnya yaitu agama Syiwa-Budha. Bukan karena akibat hasutan dari Puteri Cina. Kejadian itu diberitahukan pada Puteri Champa bahwa Sang Prabu mempunyai selir yang kecantikannya melebihi Puteri Champa. Mendengar hal tersebut Puteri Champa meminta kepada Sang Prabu agar dipulangkan secara baik-baik ke negerinya.
      Pada waktu itu Sang Puteri dihadiahkan pada Sang Prabu secara baik-baik, sehingga Baginda amat terkejut dengan permintaannya. Nanti bila seandainya Sang Puteri Champa dikembalikan, maka akan berakibat bencana besar akan melanda Kerajaan Majapahit. Kemungkinan akan terjadi perang besar yang akan menyebabkan kerajaan menjadi lemah dan akhirnya hancur lembur,
Untuk menghindari ancaman bencana itu maka Sang Prabu mengusir selir yang bernama Dewi K Khian (Aryati Sekar Wangi) ke Sriwijaya (Palembang) dan dititipkan pada ipar Sang Prabu yang bernama Arya Damar.
      Sesampainya di Palembang Aryati Sekar Wangi melahirkan anak laki-laki yang bernama Raden Patah (Panembahan Jimbun). Untuk menghindari kecurigaan, selir tersebut dikawinkan dengan kerabat Kerajaan Sriwijaya yang kemudian dikaruniai seorang putera bernama Raden Khusin. Setelah menginjak dewasa dua saudara lelaki tunggal ibu itu merantau ke Jawa dengan tujuan menuntut ilmu agama Islam. Keduanya  menuju ke Pesantren Ampeldenta di Surabaya untuk berguru kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Setelah selesai berguru Raden Khusin berangkat mengabdi ke istana Majapahit. Sedangkan Raden Patah membuka lahan baru (babat alas) untuk pemukiman di daerah Tegalwangi (Demak).
Sebenarnya tujuan Raden Patah ke tanah Jawa adalah untuk membalas dendam karena ibunya dibuang, meskipun Ia tahu Prabu Brawijaya adalah ayah kandungnya sendiri.
    Akhirnya Raden Patah menghimpun kekuatan di Demak dengan dibantu para wali, Ia akhirnya mengadakan serangan besar-besaran ke istana Majapahit. Di antara panglima perang tentara Kerajaan Majapahit terdapat seorang senapati bernama Raden Khusin yang tidak lain adalah adiknya sendiri. Dalam perang tersebut Raden Patah mendapatkan kemenangan yang gemilang, sedangkan Sang Prabu berhasil meloloskan diri dengan pasukan yang tersisa ke sebelah timur Gunung Semeru yaitu Pegunungan Tengger.
Gerakan pelarian Prabu Kertabhumi ke Tengger diketahui oleh Raden Patah, sehingga diadakan pengejaran. Sebelum pasukan Raden Patah dating menyerang, Sang Prabu dapat meloloskan ke wilayah timur melalui perjalanan jauh dan panjang. Sisa pasukan Majapahit itu akhirnya sampai di daerah Jember (Semboro) dan membuat benteng pertahanan yang amat kuat dengan bahan batu bata merah. Kemudian Sang Raja mendirikan kota kecil yang diberi nama Kutho Kedawung, yang sekarang berada di Desa Paleran Kecamatan Umbulsari.
     Tempat pergerakan Prabu Brawijaya V lama kelamaan diketahui oleh telik sandi pasukan Raden Patah. Kemudian pasukan Majapahit yang tinggal sedikit diserang secara membabi buta sehingga Sang Raja menyerah kalah dan memeluk agama Islam.
Prabu Brawijaya mengetahui bahwa yang menyerang dirinya adalah Raden Patah anak kandungnya sendiri. Sehingga kemudian Ia memberi titah (perintah) agar para panglima dan pengawalnya mengemas dan membereskan peralatan perang untuk disimpan. Semua perintahnya dipatuhi oleh panglima dan pasukannya, kecuali dua orang abdi kesayangannya yang bernama Sabda Palon dan Naya Genggong.
     Dua orang abdi yang terkenal punya kelebihan dan sakti mandraguna itu tidak mau tunduk pada musuhnya dan tidak mau masuk Islam. Ia lalu berkata “ Saya dan adik saya lebih baik berpisah dengan Sang Prabu Brawijaya V daripada memeluk agama Islam, karena saya adalah Danhyang (Penunggu) Tanah Jawa, biarlah adik aya Naya Genggong ke Bali dan Saya (Sabdo Palon) ke Madura “
        Berdasarkan kisah sejarah tersebut, di sekitar lokasi Situs Beteng banyak ditemukan beberapa peralatan (artefak) benda-benda kuno dan pusaka di antaranya :
  1. Pada tahun 1956 Bapak Sukadi menemukan tombak pusaka di lokasi Situs Beteng dalam keadaan  berdiri tegak membentuk sudut 45 derajat  
  2. Pada tahun 1958 Bapak Mat Salam mendapatkan keris pusaka luk sembilan di atas dapur yang masih menyala setelah peringatan 1 Syuro 
  3. Pada tanggal 26 Mei 1961 ditemukan batu lumpang di areal sawah Bumisara dengan  ukuran besar, jarak dari lokasi Situs Beteng sekitar 500 meter yaitu di sebelah selatan Puskesmas Sidomekar Semboro 
  4. Pada tanggal 5 Juli 1991 ditemukan batu lumpang ukuran besar, jarak dari lokasi Situs Beteng sekitar 100 meter
  5. Tanggal 2 Agustus 1991 ditemukan lagi 2 buah batu pipisan dan 1 buah batu gunjik di  pekarangan rumah Bapak Sarino, jarak dengan lokasi Situs Beteng sekitar 300 meter
  6. Tanggal 23 Desember 1994 didapatkan lagi sebuah batu pipisan dan batu gunjik di  gumuk tegalan Bapak Saminto, jarak dengan lokasi Situs Beteng 80 meter
  7. Pada tahun 1995 ditemukan sebuah batu akik (batu mulia) berwarna merah di lokasi   Situs Beteng.
Selain itu banyak juga ditemukan pecahan-pecahan keramik, kendi terakota khas Majapahit dan mata uang logam Cina di dalam areal Situs Beteng dan lokasi sekitarnya.
      Akhirnya keberadaan lokasi Situs Beteng diketahui oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) pada tahun 1988 dan dilindungi keberadaannya dengan mengeluarkan peraturan yang isinya :
“  Barang siapa yang mengambil, memindahkan, merusak, mengotori peninggalan sejarah setelah ada perbaikan-perbaikan ini akan menerima hukuman pidana  (Monumen Ordonansi STB. 238 Th.1931. Instruksi Mendagri Tanggal 5 Pebruari 1960 Nomor 65/1/7/1960. Pangkopkamtib Tanggal 8 Januari 1973 Instruksi Nomor 002/Kopkam/I/1973 “
         Kemudian pada tahun 1992 dikeluarkan peraturan baru yang isinya adalah :
  Berdasarkan UUD RI Nomor 5 Tahun 1992 Pasal 15 dan PP Nomor 10 Tahun 1993, maka setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya situs dan lingkungannya “.
       Selain itu perlindungan terhadap benda-benda cagar budaya yang kian terancam kelestariannya maka pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya.  

(Disusun oleh : Zainollah, S.Pd dan Tim BHATTARA SAPTAPRABHU, tanggal 7 Juni 2013)



         
             
                       
                       Keterangan :     Atas      :  Foto Bapak Ngabdul Gani (juru kunci Situs Beteng)
                                                 Tengah   : Foto tembok rumah dari batu bata Situs Beteng
                                                 Bawah   :  Foto sumur kuno yang di-plester baru

Lakon Sejarah Hari Jadi JEMBER : Bhattara GUGAT !

     (Keterangan Gambar : Buruh tembakau dalam "Djember Tempo Doeloe")

     Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, sebuah keniscayaan bila sejarah hari jadi Kabupaten Jember di-revisi dan ditinjau ulang kembali. Sejarah hari lahir kota tembakau yang dikeluarkan Gubernur Jenderal De Graeff tersebut, sudah tidak relevan lagi dengan semangat nasionalisme dan patriotisme yang kita gelorakan.
Bagaimana tidak, Jember yang cukup kaya dengan peninggalan cagar budaya mulai dari Tanggul sampai Silo,dengan mudahnya menerima Bestuurshervorming Decentralisastie Regentschappen  Oost Java, warisan kolonial. Sebuah "akte kelahiran" produk penjajah yang digunakan dengan memanipulasi usia kota yang sebenarnya sudah sangat tua.
     Bagi penulis, apa yang dilakukan pemerintah kabupaten dan DPRD kala itu merupakan bentuk pelecehan pada sejarah dengan meng-alienasi dan mengabaikan sumber-sumber historis yang lebih signifikan. Secara sarkastis dapat disebut bahwa penetapan hari lahir Kabupaten Jember adalah tidak sah karena merupakan "anak haram" yang diadopsi dari bangsa asing (Belanda). Sebab bangsa itu selama 350 tahun telah membuat kita miskin, menderita dan terbelakang. Penggunaan Staatblad dengan tidak langsung telah memberikan pengakuan secara de facto dan de jure pada penjajahan Belanda atas wilayah Jember khususnya.
     Jember sebagaimana yang termaktub dalam Staatblad Nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928, adalah wilayah hamparan lahan pertanian dan perkebunan yang amat subur. Pada masa Mataram (Susuhunan Pakubuwono IV) termasuk dalam wilayah Java's Oosthoek (Malang, Probolinggo, Lumajang, Besuki (Situbondo-Bondowoso) dan Blambangan). Kabupaten Jember sebelumnya termasuk dalam afdeling Bondowoso (Gewestelijk Besoeki), yang kemudian ditetapkan sebagai wilayah setingkat kabupaten (regentschap).
    Kemajuan perusahaan perkebunan di Jember masa itu  dikelola secara profesional dengan tenaga kerja melimpah dan mudah dieksploitasi serta lahan yang subur membuat Belanda banyak mengeruk keuntungan. Salah seorang pemilik perusahaan perkebunan tempo doeloe yang banyak dikenang dan dikagumi kalangan persil (perkebunan) adalah George Birnie. Birnie adalah keturunan Belanda - Scotlandia dan  big bos perusahaan perkebunan NV. Landbauw Maaschappij Out Djember yang memulai usahanya sekitar tahun 1850 bersama dengan Matthiasen dan Van Gennep. Perkebunan milik Birnie mempunyai buruh sekitar satu juta-an dengan lokasi berada Jember Utara dan lereng Pegunungan Hyang - Argopuro. Birnie disebutkan  menikah dengan wanita lokal suku Madura bernama Djemilah yang kuburannnya terletak di tengah sawah jalan raya Jember - Maesan (Bondowoso).
     Namun kemudian kehebatan serta kebesaran George Birnie merasuk menjadi mainset dan "Birnie memory" pada sebagian masyarakat. Menurut seorang pengamat bola, nama Birnie telah diabadikan sebagai trade mark dan spirit organisasi sepak bola di Jember (PERSID) beserta komunitas supporternya. Istilah Bernie kemudian di-up to date menjadi " Berni ", yang artinya "Jember Berani" dan sekarang begitu akrab serta menyatu dengan insan sepakbola Jember.
     Sehingga tak pelak lagi pengaruh Hindia Belanda dalam perkebunan khususnya tembakau telah melahirkan afdeling class tersendiri dengan tipologi khusus serta menciptakan elan (semangat bergelora/kreativitas) sebagian masyarakat Jember. Sehingga lambang kabupatenpun menggunakan daun tembakau. Di samping itu mentalitas warisan kolonial yang sangat feodal masih tersisa di kalangan tertentu seperti penjuraan (penghormatan berlebihan) antara atasan bawahan dengan model hubungan master-servant. Karakter semacam itu seharusnya sudah harus terkikis habis sekarang.
     Kuatnya pengaruh hegemoni kolonial bukan hanya pada wilayah Jember Utara saja, sebelumnya di  masa Sultan Agung Hanyukrokusumo (1613 - 1645) dan era sesudahnya, perhatian Mataram sangat besar pada wilayah Jember Selatan khususnya Puger. Karena wilayah ini kaya akan hasil laut dan sarang burung. Selain itu Puger dengan Pulau Nusa Barong merupakan daerah yang sangat strategis untuk kepentingan pertahanan (militer).
     Ketika pecah huru-hara Blambangan melawan VOC, hubungan antara Puger dan Blambangan sangat erat dan saling bahu membahu dalam pertempuran. Bangsawan Puger seperti  Raden Mas Puger membantu Blambangan dalam kancah perang besar melawan penjajah. Kemudian dilanjutkan oleh perlawanan Sindhu Bromo di Pulau Nusa Barong yang menjadi pemimpin kaum ekstrimis (versi penjajah) dan para lanun dari Bugis untuk mengganggu kepentingan VOC.
     Sejarah kemudian membuktikan bahwa Belanda yang khawatir akan terjadinya pemberontakan para pejuang Puger, kemudian menguasai dan menjadikannya wilayah pemerintahan (Gewestelijk Poeger) yang meliputi Jember dan Bondowoso sekitar tahun 1792 - 1847 (Leiden : E.J. Brill, 1963). Kesimpulannya kalau dibanding Staatblad, pemerintahan Kabupaten Puger terlebih dahulu ada dibanding Jember.
      Bila demikian halnya telah terjadi kontradiksi dan ambigu dalam penggunaan sumber sejarah antara Kabupaten Jember dan Kecamatan Puger kalau sama-sama berdasarkan pada beleid kolonial. Dengan asumsi itu seharusnya pemerintah mengacu pada sumber literatur kolonial yang terlebih dahulu ada yaitu Kabupaten Puger (Regentschaap Poeger).
Sehingga untuk menghindari tumpang tindih, penggunaan Staatblad Kabupaten Jember seharusnya di-delete  dan diganti dengan "dokumen kolonial " Kabupaten Puger, ansich tidak termasuk Bondowoso.
Tapi seharusnya dua dokumen Belanda tersebut tidak digunakan dan tetap mengacu pada bukti-bukti manuskrip atau inskripsi kuno asli kita misalnya Prasasti Congapan yang ditemukan di Dusun Congapan, Karang Bayat (Sumberbaru) dengan candrasengkala " tlah sanak pangilanku" (1088 Saka) kemudian Prasasti Batu Gong di Dusun Kaliputih Rambipuji  bertuliskan "Parvvateswara" (Dewa Gunung) yang diperkirakan antara tahun 650-732 M, semasa dengan Kerajaan Mataram Kuno di Dieng, Jawa Tengah.
     Prasasti Butak yang bertahun 1294 pada masa pemerintahan Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) bisa dijadikan patokan hari lahirnya Jember. Piagam penghargaan R. Wijaya yang diberikan pada Macan Kuping sebagai Kepala Desa Kudadu atas jasa-jasanya itu secara implisit menyebut wilayah Jember dengan Tigang Juru (Jember, Situbondo-Bondowoso dan Banyuwangi/Blambangan). Sehubungan lokasi Jember lebih dekat dengan Lumajang (Lamajang) sebagaimana dimaksud dalam Piagam Kudadu telah diberikan kepada Aria Wiraraja yaitu meliputi Lamajang Utara, Lamajang Selatan dan Tigang Juru. Maka cukup valid bila Tigang Juru dimulai dari Jember ke timur, sehingga secara otomatis Kabupaten Jember berhak menggunakan ulang tahunnya yang dimulai tahun 1294, bersamaan dengan tahun dikeluarkan prasasti tersebut. Namun tidak diketahui secara pasti tanggal berapa Prasasti Butak ditulis, hal ini bisa disikapi dengan memberi tatenger permulaan tanggal dan bulan yaitu 1 Januari.
     Apa yang disebutkan dalam Kudadu Agreement, yaitu dibagikannya wilayah Tigang Juru kepada Arya Wiraraja (Banyak Wide), semenjak itu tlatah Lamajang dan Tigang Juru secara berkelanjutan diperintah oleh Aria Wiraraja sebagai Adipati (Bupati). Kemudian pada masa Hayam Wuruk daerah Majapahit Timur atau yang dikenal dengan nama Kedhaton Wetan atau Brang Wetanan dikuasai oleh puteranya dari garwo ampil (selir) yaitu Bhre Wirabhumi. Tokoh ini dikenal sebagai figur raja yang digadang-gadang menggantikan Hayam Wuruk, namun tertahan oleh saingannya yaitu Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) yang menyebabkan terjadinya Perang Paregrek.
     Wirabhumi selanjutnya menurunkan raja-raja Blambangan sampai dengan abad ke-17 yang melahirkan peristiwa heroik Puputan Bayu (18 Desember 1771) di bawah pimpinan Mas Rempeg Jagapati, Mas Ayu Wiwit dan Baswi melawan VOC (website : Osingkertajarasa).
      Ketokohan Aria Wiraraja menjadi mascot sejarah dan klaim atas figur sentralnya di wilayah 'Tapal Kuda' yang dulu bernama Tigang Juru dan Sumenep (Madura). Bagaimana tidak, karena di Sumenep Banyak Wide telah menjadi founding father berdirinya kabupaten di ujung timur Madura itu sejak masa Raja Kertanegara (1272 - 1292).
Dalam Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1255 M, Kertanegara sebagai putera mahkota (Nararya Murdhaja) memerintah di suatu daerah di bawah bimbingan sang ayah, Wisnuwardhana (Marwati Djoened Poesponegoro, 1992 :339).
     Tak pelak, Banyak Wide kemudian "dibuang" ke wilayah ujung timur Madura akibat sikap kritisnya terhadap Raja Singosari tersebut. Sejak itu pula Ia menjadi Adipati Sumenep pertama, dalam Prasasti Mula Malurung, Aria Wiraraja juga disebut sebagai cikal bakal lahirnya Kabupaten Lumajang. Maka tidak heran kemudian terjadi perebutan "hegemoni" ketokohan Aria Wiraraja sebagai orang yang "mbaurekso" antara Lumajang dan Sumenep. Bahkan sejarah kota Banyuwangi (Blambangan), Jember maupun Tigang Juru (daerah Tapal Kuda) tidak bisa dipisahkan dari ketokohan Aria Wiraraja. Karena bagaimanapun klaim sejarah daerah tersebut tetap melandaskan pada sumber-sumber historiografi yang sama.
Sumber-sumber yang digunakan seperti Prasasti Butak, Prasasti Mula Malurung, Pararaton, Negarakretagama dan Kidung Harsya Wijaya adalah bahan rujukan yang sama-sama digunakan oleh  kabupaten yang ada di sekitar tapal kuda.
     Pada galibnya sejarah hari jadi kota-kota kabupaten yang ada di Nusantara khususnya di Jawa meng-akomodir dari sejarah pra maupun masa kolonial. Banyak yang melandaskan pada penemuan prasasti dan inskripsi seperti Lumajang (Prasasti Mula Malurung-1255 M), Nganjuk (Prasasti Anjukladang-937 M), Malang/Malangkuceswara (Prasasti Ukirnegara-1198) dan Sumenep (Kitab Pararaton -1269) dan peristiwa sejarah seperti Banyuwangi (Puputan Bayu, 18 Desember 1771). Hari lahir Kota Banyuwangi yang disatukan dengan Blambangan merujuk pada peristiwa heroik Puputan Bayu di masa VOC (Belanda) yang sangat dramatis dan membawa emosi kita bagai diaduk-aduk sehingga pada akhirnya menumbuhkan jiwa  patriotisme.
      Namun yang menjadi masalah adalah penetapan sejarah hari jadi Kabupaten Jember, karena terjadi  kesulitan untuk menentukan kapan wilayah ini ada dan kapan namanya tercetus. Berdasarkan kajian toponimi, daerah ini tidak pernah secara tegas disebutkan dalam kitab-kitab rontal, keropak, prasasti atau sumber-sumber inskripsi kuno pada era kerajaan Hindu-Budha maupun kerajaan Islam.
Mungkin inilah yang menyebabkan para pengambil keputusan hari lahir Jember merasa absurd dalam mencari akar sejarah Jember, sehingga mencari jalan pintas dan instan dengan berpedoman pada Staatblad warisan kolonial.
     Sehingga pada akhirnya, kita tidak mendapatkan kesan dan kebanggaan apa-apa selain sikap menyayangkan dan skeptis kepada pengambil keputusan yang gegabah dalam menetapkan hari lahir Kabupaten Jember. Sangat disesalkan sekali para akademisi, sejarawan dan budayawan yang punya akses serta peran dalam menetapkan hari jadi tidak mengoptimalkan upaya dan pemikirannya.
      Toponimi Jember masih mengacu pada folklore atau cerita rakyat ataupun folktale (dongeng) yang menimbulkan perdebatan berkepanjangan. Pemunculan istilah jember, jembar maupun jembret sangat kental dengan budaya pendhalungan Jawa-Madura. Masing-masing menginterpretasikan sendiri sesuai kehendak mereka dan akhirnya diterima sebagai nama yang diakui bersama sampai sekarang. Sehingga kemudian nama Jember (Djember) akhirnya disebutkan secara formal dalam administrasi Hindia Belanda pada sekitar abad ke-18 dan otomatis termasuk kabupaten termuda di Pulau Jawa, dibanding kabupaten lain yang rata-rata berusia lama (selain kabupaten hasil pemekaran).
     Menurut penulis, penetapan hari jadi Kabupaten yang tergesa-gesa serta tidak melalui telaah dan penelitian ilmiah secara mendalam, telah menyebabkan pendustaan bahkan  pembohongan sejarah terhadap publik.
Bagi penulis dan teman-teman dari Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu, yang sangat intens dan concern melakukan telaah dan studi kesejarahan meminta agar pemerintah kabupaten meninjau kembali keputusan yang dikeluarkan terkait dengan hari ulang tahun kabupaten tercinta ini.
(Oleh : Zainollah, S.Pd & Tim Bhattara Saptaprabhu)  



(Keterangan Gambar : Masjid lama di pusat kota Jember)