Kode Iklan

Selasa, 26 Februari 2013

ASAL USUL NAMA BANDE ALIT (SEBUAH FOKLORE)


            
        Bande Alit yang eksotik merupakan suatu daerah pantai pesisir yang kaya akan keindahan alamnya baik flora maupun faunanya yang terletak di Desa Andongrejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember. Bande Alit banyak menyimpan cerita misteri  yang  belum banyak terungkap mengenai sejarah dan asal usul seperti nama Bande Alit itu sendiri.
Nama Bande Alit berasal dari Bende (gong untuk menabuh gamelan) dan Alit (kecil), yang berarti Bande Alit adalah gong  kecil yang digunakan pada jaman itu untuk memanggil seseorang.
Menurut petugas Taman Nasional Meru Betiri Wilayah Ambulu, menceritakan bahwa ada seorang istri dari Wong Agung Wilis dari Kerajaan Blambangan yang hidup pada jaman VOC  (Belanda - pen) sekitar abad ke 17-an yaitu permaisuri Dewi Sukesih. Di mana Wong Agung Wilis menyuruh istrinya untuk mengungsi atau mencari perlindungan ke arah barat. 
Dewi Sukesih kemudian menuruti titah suaminya agar berusaha lolos dari kejaran tentara kompeni, dengan mengungsi ke daerah barat di luar Kerajaan Blambangan,  bersama dengan seorang abdi dalemnya bernama Abdi Kinasih, yang pada waktu itu Kerajaan Blambangan terlibat perang besar dengan VOC.  Pada akhirnya sampai terjadi pertempuran hebat yang dikenal dengan nama Perang Puputan Bayu (1771-1774).
      Dewi Sukesih yang dalam kondisi hamil bersama Abdi Kinasih lalu mengungsi melewati jalur darat melalui hutan belantara Alas Purwo Grajagan menuju daerah kulon (barat) yang masih belum terjamah dan akhirnya Sukesih melahirkan seorang putra yang diberi nama Joko Mursodo. Di kemudian hari berganti nama menjadi Pangeran Puger (Raden Mas Puger). Di mana Pangeran Puger mempunyai kakak perempuan yang bernama Sayu Wiwit yang tinggal di Kerajaan Blambangan dan ikut mengangkat senjata.   
Setelah Joko Mursodo dewasa, dia bermaksud mau mencari ayahnya yang tinggal di Blambangan. Abdi Kinasih menyarankan pada Joko Mursodo jangan mencari ayahnya, karena di daerah Blambangan masih terjadi peperangan. Dari perkataan Abdi Kinasih itu, Joko Mursodo tersinggung sampai dia berujar tidak akan memanggil nama Abdi Kinasih lagi dengan cara memukul bende ini (gong kecil) sebelum bertemu dengan ayahnya. Sampai akhirnya daerah pantai itu dinamakan Bande Alit. Kemudian Joko Mursodo meninggalkan kampung halamannya (Bande Alit) dengan meninggalkan ibunya Dewi Sukesih dan Abdi Kinasih.
Sesudah bertemu dengan ayah  dan saudaranya di Blambangan, Joko Mursodo yang juga bergelar Pangeran Puger menetap di sana sambil membantu peperangan  melawan VOC. Kemudian setelah perang usai, Joko Mursodo pulang menemui ibunya di Bande Alit. Dalam perjalanan pulang tersebut Joko Mursodo ditelan ombak yang sangat besar sampai mayatnya tidak diketemukan.
Menurut mitos dan kepercayaan masyarakat Bande Alit sampai sekarang, ada kemungkinan Joko Mursodo yang hilang itu menyatu dengan pohon besar yang ada di Pulau Nusa Barong Puger karena ada kesamaan nama yaitu “Pohon Mursodo”.
   Peninggalan yang masih ada dan berhubungan dengan Bande Alit diantaranya kuburan dari Dewi Sukesih yang terletak di belakang Kantor Resort Taman Nasional Meru Betiri Bande Alit Desa Andongrejo dan Gong Kecil yang ada di museum Pemda Jember. (Oleh : Moh. Soleh, SE - Guru SMP Islam Ambulu)


                               Keterangan  : Kuburan Dewi Sukesih di Bande Alit

Sejarah Jember, Sebuah Keniscayaan (Revisi)


Keterangan Foto : Bupati Jember "tempo doeloe" Raden Tumenggung Ario Notohadinegoro
 
      Diskursus seputar sejarah kota Jember telah menjadi bahan polemik dan perdebatan antara penulis dan teman-teman komunitas pegiat sejarah. Setidaknya kehadiran Bhattara Saptaprabhu sebagai sebuah komunitas, telah memiliki orientasi historis yang jelas untuk terus bergelut dengan fenomena masa lalu guna menyumbangkan sedikit pemikiran, menyelamatkan dan melestarikan cagar budaya di Kota Jember khususnya. Kota Jember yang masih "pulas" dalam tidur panjang sejarahnya tanpa ada yang mengusik, tampak mulai menggeliat untuk berusaha bangun guna menemukan jati dirinya yang masih  belum terang benderang.
    Komunitas Bhattara Saptaprabhu ingin mencermati lewat sebuah pengamatan, pemahaman bahkan gugatan mendalam kesejarahan, mengapa kemudian muncul nama “Jember” yang diartikan "becek". Kenapa tidak menggunakan nama "Jembar " (lapang/luas) yang berkonotasi lebih baik ?
Tentunya penamaan dan toponimi ini tak lepas dari akar sejarah dan asal mula para leluhur yang babat alas dan menetap di tanah yang dulunya merupakan sebuah sima atau tanah perdikan kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Ada kemungkinan ketika para pioner dulu menjejakkan kaki pertama kalinya telah dihadapkan pada belantara dengan rawa-rawa jenuh air. Sehingga timbul istilah 'moeras' yang punya konotasi genangan air berlumpur. Lalu mereka dengan bersusah payah membuat pemukiman di tengah-tengah 'tanah becek' dan ganasnya alam liar.
       Bila dikaitkan dengan banyaknya dusun dan desa di Jember yang diawali dengan nama yang berhubungan dengan air seperti "curah", muncullah nama Curah Nangka, Curah Lele, Curah Kates, Curah Mluwo dan lainnya, atau nama "rawa" atau rowo (Jawa) seperti Rawatamtu, Rawatengah, Rawatengu, dan lainnya. Penulis punya keyakinan bahwa nama Jember berkaitan erat dengan kondisi topografinya yang didominasi dataran rendah yang subur. Bukan penamaan karena berdasar pada temuan kitab lontar atau literatur peninggalan kolonial. Di mana kemudian pemberian sebutan Jember di-foklore-kan oleh rakyat secara temurun tanpa campur tangan dari penguasa atau kaum bangsawan maupun tokoh agama.
      Bahkan ada sebuah legenda tentang nama “Djember” yang identik dengan ranah perkebunan, sehingga  kemudian disebut sebagai “Tanah Birnie”, karena kuatnya pengaruh tokoh legendaris asal Skotlandia ini. George Birnie, Matthiasen dan Van Gennep adalah trio perintis NV. Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) pada sekitar tahun 1850-an.
      Sebagaimana cerita turun temurun dengan versi yang berbeda, George Birnie (?) menikah dengan wanita setempat yang bernama Djemilah dari etnis Madura pendatang di kawasan bagian utara. Birnie rupanya sangat menyayangi istrinya, bahkan ketika wanita itu meninggal dibuatlah kuburan yang cukup mentereng, bahkan paling megah pada jamannya. Model kuburan yang dibuat tidak menggunakan tradisi setempat seperti memakai cungkup dengan dua nisan sebagaimana kuburan Islam. Melainkan meniru bentuk kuburan bergaya Eropa dengan inskripsi huruf latin dengan  menyebutkan nama dan tahun yang dikebumikan di situ.
         Semenjak itu muncullah nama “Djembir”, yaitu perpaduan kata Djemilah dan Birnie, yang kemudian berubah menjadi Djember, karena pengaruh logat dan aksen setempat. Tapi asal muasal nama Jember setelah ditelusuri tidak ada kesesuaian dengan data tahun keberadaan perusahaan dan riwayat hidup George Birnie. Mungkin ini hanya hasil dari 'othak athik mathuk' dan perekayasaan yang tidak mendasar.
     Begitu kusutnya penelusuran asal usul Kota Jember yang terdengar begitu unik  dan ganjil, meskipun tidak terdapat dalam kamus dan kosa kata bahasa Sanskrit, Jawa, dan Arab. Sehingga saya punya dugaan yang konyol, jangan-jangan nama Jember ini mungkin diadopsi dari Eropa yaitu Belanda. Karena kota-kota di negara “Kincir Angin” itu banyak menggunakan huruf “e” yang bertele-tele dan banyak huruf konsonan “r” . Misalnya seperti Kota Drenthe, Gelderland, Den Helder, Heerenveen, Westerveld, Leeuwarden, Neerijnen dan sebagainya. Tapi asumsi 'ngawur' inipun masih perlu pembuktian dan kajian komprehensif, karena munculnya toponomi suatu tempat sangat mustahil muncul bila tidak berhubungan kondisi geografis, sosial budaya masyarakatnya.
        Pada era Hindu – Buddha, masa Kerajaan Singosari ini dianggap bagian dari Lamajang (Lumajang) dan Tigang Juru yang menjadi tujuan ritual kaum bangsawan, tempat berburu dan menjadi bufferzone dengan Kerajaan Bali. Sedangkan pada masa Majapahit, kawasan Jember menjadi tempat "tetirah" dan tirthayatra  Raja Hayam Wuruk pada tahun 1359 Masehi.
Tidak tanggung-tanggung ada sekitar 25  (dua puluh lima) tempat yang menjadi persinggahan beliau. Disebutkan nama-nama Kasogatan Bajraka, Palumbon, Rabut Lawang, Balater, Kunir Basini, Sadeng, Sarampwan, Kutha Bacok, Renes, Balung, Tumbu, Habet, Galagah, Tampahing, dll.nya telah menjadi napak tilas dari raja, pembesar kerajaan (Panca ri Wilwatikta) termasuk penulis naskah Kakawin Desawarnana, Mpu Prapanca. Bahkan sebelumnya, ketika pecah Perang Sadeng (Pasadeng) di Puger, dan Ketha di Panarukan, wilayah ini diperkirakan menjadi basis pertahanan pasukan penyerang dari Majapahit. 
     Kemudian ketika terjadi perang saudara di Majapahit yaitu Perang Paregreg (1401-1406 M.)  wilayah Jember menjadi kawasan, ajang perang dan lintasan pasukan. Begitu juga saat ekspedisi Adityawarman dan Gajah Mada sewaktu menyerang Bali.
    Pada masa kolonial Belanda wilayah ini disebut dengan Java's Oosthoek yang melahirkan Jawa  Timur, di mana oleh Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1789 telah digadaikan pada VOC akibat ketidakmampuannya menghadapi perlawanan 'para pemberontak' Untung Surapati dan Trunojoyo. Selanjutnya pada masa perang Puputan Bayu (1771-1774), wilayah Jember yaitu Puger, Kedawung dan Nusa Barong menjadi basis pertahanan para pejuang kita melawan VOC.
       Kemudian ketika negeri Belanda dikuasai kaum liberal, dengan Open Door Policy, maka wilayah Jember disulap dan  dijadikan lahan perkebunan (afdeling) untuk tanaman tembakau pada awalnya, lalu kopi, kakao, karet selama puluhan tahun. Akibatnya membuat pundi-pundi gulden negeri tulip ini menumpuk, sementara rakyat banyak yang kelaparan. Pemerintah kolonial Belanda pada era Gubernur Jenderal De Graeff  pada tanggal 9 Agustus 1928 lewat Staatblad No. 322 tentang Bestuurshervorming, Decentralisastie Regentscappen Oost  Java, yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929 menetapkan wilayah afdeling ini menjadi regentschap (setingkat Kabupaten).
       Tanggal penetapan inilah yang dijadikan acuan sebagai hari lahir Kota Jember. Dalam Staatsblad 322 tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di wilayah Propinsi Jawa Timur dengan menunjuk Regentschap Djember sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri. Secara resmi ketentuan tersebut diterbitkan oleh Sekretaris Umum Pemerintah Hindia Belanda (De Algemeene Scretaris) G.R. Erdbrink pada tanggal 21 Agustus 1928.
Berdasarkan Staatsblad 322 tersebut, diperoleh data bahwa Kabupaten Jember menjadi kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atas 2 hal yaitu :
      1.  Pertimbangan yuridis konstitusional, dengan menunjuk pada Indische Staatsgeling (IS) yaitu  suatu Undang-Undang Pokok yang berlaku bagi negara jajahan Hindia Belanda khususnya Pasal 112 Ayat pertama. 
     2. Pertimbangan politis sosiologis, yaitu dengan mendengarkan persidangan  antara Pemerintah Hindia Belanda dalam menentukan kebijaksanaannya, memanfaatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Hal ini dapat dibuktikan dari 33 anggota persidangan yang diketuai oleh Bupati waktu itu R.T. Ario Notohadinegoro, 24 orang di antaranya adalah orang-orang pribumi.
     Yang unik adalah Pemerintahan Regentschap Djember dibebani hutang-hutang berikut bunganya sepanjang menyangkut tanggungan Regentschaap Djember.
      Dari konten Staatsblad 322 yang dibuat penjajah tersebut telah dijelaskan secara eksplisit bahwa Belanda secara terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling  telah melecehkan kita dengan memberlakukan sebagai daerah jajahan sesuai  ketentuan Indische Staatsgeling (IS), yaitu Undang-Undang Pokok (Tanah Jajahan) pada Pasal 112, Ayat 1.
Lebih-lebih lagi, sebagai warga Jember harga diri kita telah dijatuhkan karena keharusan membayar hutang-hutang beserta bunganya yang sudah jelas dirampok dan dijarah dari bumi Jember dengan penderitaan panjang.
 Menurut analisa penulis, ketetapan yang dituangkan dalam Staatsblad 322 berdasarkan Indische Staatgeling (IS) ini seharusnya sudah gugur secara hukum ketatanegaraan dengan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan ketika beleid penjajah ini di-regulasikan pada tanggal 6 Agustus 1928, maka 2 (bulan) kemudian kita mengumandangkan “persatuan Indonesia” lewat Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Ini artinya Staatsblad 322 sudah mulai “sekarat” dan kehilangan wibawanya.
       Apalagi ketika kemerdekaan (declaration of independence) Indonesia dideklarasikan tanggal 17 Agustus 1945 disertai dengan pernyataan penentangan dan penghapusan penjajahan lewat Preambule (Mukaddimah) UUD 1945. Tentunya dengan implikasi Staatsblad 322 itu telah cacat secara hukum dan seharusnya tidak berlaku lagi saat itu juga.
      Kemudian beberapa tahun berikutnya Republik Indonesia masuk pada era penting yaitu Pengakuan Kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 yang dilaksanakan di dua tempat yaitu di Den Haag dan di Jakarta. Di Jakarta naskah pengakuan kedaulatan ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan putera mahkota Kerajaan Belanda AHJ. Lovink. Maka sebagai konsekuensinya penjajahan Belanda sudah berakhir di Indonesia, dan secara otomatis pula segala produk perundang-undangan dan segala tetek bengeknya sudah selesai. Termasuk pemberlakuan Staatsblad 322 waktu itu juga.
       Kesimpulannya Staatsblad 322 sudah “dihabisi” tiga kali sejak tahun 1928 (Sumpah Pemuda), 1945 (Proklamasai Kemerdekaan) dan 1949 (Pengakuan Kedaulatan). Namun hebatnya, kesaktian dan kekeramatan Staatsblad 322 betul-betul telah jadi mitos yang sulit dibongkar dan dihilangkan.
       Memang sangat disesalkan karena satu-satunya kota di Nusantara yang mengakomodir sejarah kotanya dari warisan penjajah hanyalah Jember. Tentunya dengan dalih Staatsblad 322 secara de facto dan de jure telah menyebutkan wilayah tersebut berupa kabupaten (Regentschap). Terlepas itu sudah menjadi suratan sejarah Jember yang ditakdirkan menjadi bagian dari penjajahan Belanda. Dalam hal ini sejarah Jember sangat kontradiktif dengan sejarah kabupaten atau kota-kota di Jawa Timur yang rata-rata muncul pada era pra-Majapahit. Padahal banyak sekali peninggalan sejarah kuno di “Kota Suwar-Suwir” ini yang bisa dijadikan "tatenger". Misalnya Prasasti Congapan yang ditemukan di Desa Karang Bayat Kecamatan Sumberbaru yang berangka tahun 1088 (Tlah sanak pangilanku - tahun saka). Prasasti ini bisa dijadikan rekam jejak untuk melandaskan sejarah keberadaan kota tembakau ini. Ada juga reruntuhan Candi Deres di Desa Purwo Asri Kecamatan Gumukmas, yang merupakan peninggalan masa Majaphit.
     Selain itu situs bersejarah bekas reruntuhan bangunan suci Majapahit di Desa Tamansari Kecamatan Wuluhan dan Mayang. Selain itu ratusan situs Megalithik yang tersebar di beberapa tempat dan sebagian masih bias diselamatkan adalah Situs Batu Gong di Rambipuji, Situs Doplang di Kamal Arjasa, Situs Simo di Sukowono, dll.nya
       Dengan cukup banyaknya peninggalan sejarah,  penulis merasa kecewa karena para budayawan dan sejarawan yang notabene para pakar terkesan diam dan pasrah, tidak berusaha mencari sisik melik  serta membongkar akar sejarah Jember. Apa salahnya kalau mereka mencoba menelaah dan menafsir Kitab Pararaton, Desawarnana (Nagarakretagama), Prasasti Congapan dan Prasasti Mula Malurung, serta Prasasti Butak yang banyak terkait dengan belahan Jawa bagian timur ? Bukankah masih banyak hal-hal yang masih tersirat dan missing link dari kitab dan prasasti tersebut ?
Atau dengan membentuk pilot project dan  tim untuk menelusur sejarah Jember. Termasuk memburu data dan sumber-sumber sejarah di Eropa khususnya Belanda. Penulis punya keyakinan bahwa besar kemungkinan tentang keberadaan babad atau serat yang terkait dengan Jember. Karena ribuan naskah kuno telah diangkut sejak masa penjajahan ke Belanda khususnya. Kalau memang nanti ditemukan sumber sejarah kuno yang berhubungan dengan Jember, tidak ada salahnya kalau kemudian di-review, di-re-interpretasi dan di-revisi atau diganti. Why not ?
.
(Oleh : Zainollah, S.Pd dan Heru Santoso, S.Pd)

 
 Keterangan Foto  :  Candi Deres,  monumenal era kebesaran Majapahit masa Hayam Wuruk yang  
 tersisa di Desa  Purwo Asri, Gumukmas  Kabupaten Jember.




Jumat, 01 Februari 2013

Menguak Peradaban Yang Hilang


      Peradaban (civilization) adalah  ukuran  suatu bangsa dalam mencapai kesempurnaan akal pikiran, budi dan daya sebagai bentuk reaksi terhadap adanya tantangan alam. Setiap bangsa tidak sama dalam mencapai taraf dan tahapan peradabannya. Kondisi geografis, pola pikir dan karakter sangat menentukan peradaban, termasuk interaksi dengan bangsa lain. Peradaban dan kebudayaan akan terus berkembang seiring makin kompleksnya tantangan kehidupan yang dihadapi manusia. 
Kemajuan teknologi adalah bagian peradaban sebagai wujud terciptanya kemampuan mengadaptasi manusia dengan kebutuhan.
       Namun peradaban tidak selalu berbanding lurus atau identik dengan kemajuan dan kemahiran teknologi, bahkan kadang sebaliknya. Ada kecenderungan semakin maju suatu bangsa makin tenggelamlah peradaannya. Peradaban negara-negara seperti Mesir, Yunani, Irak, dan lainnya yang sangat adiluhung pada masa-masa sebelum Nabi Isa lahir (tahun Masehi) kini hanya teronggok berupa Piramida, Sphinx, Obelisk, Parthenon dan Colosseum.  Kehebatan nenek moyang mereka dalam membangun sebuah Piramida tidak bisa dibandingkan dengan pembangunan Menara WTC atau bangunan modern lainnya. Karena essensi dan substansinya sudah berbeda. Susunan ribuan kubik batu di mana sebuah batu hanya bisa bergeser bila ditarik dengan tenaga 15.000 orang atau sama dengan 1000 ekor kuda benar-benar pekerjaan yang sangat fantastis dan menakjubkan.
      Di bumi pertiwi keajaiban itu bisa dilihat pada bangunan Candi Borobudur, Candi Prambanan dan candi-candi lain yang pembuatannya begitu indah dan mempesona. Seorang Gunadharma sebagai seorang arsitek mampu menerjemahkan gagasan dari Samarottungga dalam mencipta, rasa dan karsa sebuah Bhumisambarabudara. Luar biasa, bagaimana mungkin sebuah batu kali dipotong dengan rapi, simetris dengan bekas "sayatan" seperti pisau tajam yang mengiris roti. Teknologi metalurgi macam apa yang digunakan para ponggawa Wangsa Syailendera dalam memahat, mengiris, memotong kerasnya batu-batu kali itu lalu kemudian merekatkan satu sama lain. Para empu pada masa itu telah mampu membuat baja sejenis karbon dengan kualitas lebih baik dari bahan baja pedang katana dari Jepang. Bahkan mungkin hanya bisa ditandingi oleh pedang pasukan muslim dalam Perang Salib dari baja dengan teknologi nano sekitar 500 tahun kemudian. Konon para pande besi juga telah menciptakan keris dahsyat dari batu meteor hanya berdasarkan wangsit dan laku tirakat. Maka lalu lahirlah karya masterpiece seperti keris Mpu Gandring, Kiai Condong Campur, Kiai Sangkelat dan Kiai Nagasasra-Sabuk Inten.  
        Kebudayaan kita dengan kemampuan menciptakan candi dari batu kali yang kokoh dengan keahlian metalurgi sejak abad ke-5 berkembang makin sempurna. Namun seiring makin jauhnya manusia dari essensi peradaban utamanya pada peng-agung-an mahakarya mereka kemampuan itu sudah tidak dimiliki oleh generasi berikutnya. Andaikata para arsitek modern membuat dan "mengolah" batu menjadi candi maka kita yakin hasilnya tidak akan se-estetis candi-candi masa lampau. Belum lagi aura dan wibawa bangunan itu hanya kelihatan seperti "benda mati" yang abstrak. Benarlah kalau kita menyebutya sebagai peradaban yang hilang (lost civilization). Zainollah, S.Pd - Koordinator Forum Bhattara Saptaprabhu